Suwardi Suryaningrat: Antara Sarekat Islam Bandung dan Comite Boemi Poetra
Suwardi Suryaningrat memegang kendali Sarekat Islam Bandung kurang dari satu tahun. Ia memilih melanjutkan perjuangan bersama Comite Boemi Poetra.
Hafidz Azhar
Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung
26 Maret 2021
BandungBergerak.id - Riwayat Suwardi Suryaningrat sebagai ketua Sarekat Islam (SI) Bandung memang terbilang sangat singkat. Kurang dari satu tahun ia memegang kendali akibat kesibukan di Comite Boemi Poetra.
Dalam Comite yang dipimpin oleh Tjipto Mangoenkoesoemo itu, Suwardi membuktikan bahwa dirinya merupakan tokoh yang sangat berpengaruh bagi pergerakan kaum Pribumi. Namanya masuk ke dalam daftar orang paling diwaspadai oleh pihak kolonial Belanda. Terutama setelah tulisannya yang berjudul, “Als ik eens Nederlander was (Seandainya aku orang Belanda)”, menghebohkan dan membuat kekhawatiran di kalangan para penguasa waktu itu.
Irna Hadi Soewito menyebut bahwa Suwardi sudah lebih dulu mengundurkan diri sebagai ketua Sarekat Islam Bandung sebelum berkiprah bersama Comite Boemi Poetra. Dari keterangan ini dapat dipastikan, pengunduran diri Suwardi terjadi pada pertengahan tahun 1913, beberapa bulan setelah SI afdeeling Bandung terbentuk pada bulan Desember 1912. Comite Boemi Poetra sendiri berdiri pada bulan Juli tahun 1913, menjelang Peringatan 100 Tahun Kemerdekaan Belanda yang berlangsung di bulan November.
Dalam Het Jaar 1913: in zijn Beteekenis voor Indische Beweging tercatat bahwa keterlibatan Suwardi dalam Comite Boemi Poetra dianggap sudah terbebas dari kepengurusan Sarekat Islam. Di situ tercantum nama Suwardi sebagai ex-voorzitter van de afdeeling Bandoeng van de Sarekat Islam (mantan ketua Sarekat Islam cabang Bandung), sekaligus menunjukkan namanya sebagai sekretaris Comite Boemi Poetra dengan Tjipto Mangoenkoesoemo sebagai ketuanya.
Baca Juga: Riwayat Awal Sarekat Islam Bandung
Selain Suwardi, dua pimpinan SI Bandung lainnya yakni, Abdoel Moeis dan A. Wignyadisastra juga terlibat dalam aksi Comite Boemi Poetra. Dalam Comite tersebut, Wignyadisastra diberikan mandat sebagai bendahara, adapun Abdoel Moeis hanya sekadar anggota yang ikut menyebarkan selebaran-selebaran. Tidak seperti Suwardi, Abdoel Moeis dan Wignyadisastra masih aktif dalam kepengurusan Sarekat Islam Bandung dan disinyalir mengikuti berbagai kongres besar Sarekat Islam di masa-masa selanjutnya.
Comite Boemi Poetra dibentuk untuk mengorganisir opini yang muncul dari kaum Pribumi. Sebuah dokumen yang menghimpun tulisan-tulisan Suwardi, Tjipto, dan Douwes Dekker menyebutkan bahwa perkumpulan ini bertujuan untuk memanfaatkan momen yang menarik perhatian umum. Antara lain dengan cara melontarkan kritik yang berasal dari masyarakat, terutama tentang kebijakan Pemerintah Hindia Belanda mengenai rancangan dewan penjajahan yang umumnya tidak pantas untuk diterima kalangan Pribumi (Onze Verbanning: Publicatie der Officiëele Bescheiden, toegelicht met Verslagen en Commentaren, betrekking hebbende op de Gouvernements-Besluiten van den 18en Augustus 1913). Hal ini jelas-jelas diorganisisasi berdasarkan kesadaran kaum Pribumi yang mengamati langsung ketimpangan di tanahnya sendiri, sebagaimana ketimpangan Perayaan 100 Tahun Kemerdekaan Belanda yang melibatkan banyak rakyat Hindia yang tidak ada sangkut pautnya dengan acara itu.
Empat bulan sebelum hari peringatan 100 Tahun Kemerdekaan Belanda, artikel dengan judul “Als ik eens Nederlander was” yang ditulis Suwardi telah tersebar dan dianggap oleh Pemerintah Kolonial sebagai bentuk pemberontakan. Dari kejadian ini, Suwardi akhirnya terjerat delik pers dan dibawa ke hadapan majelis pengadilan untuk dipersidangkan.
Meski menjadi incaran, Suwardi masih perlu menuliskan unek-uneknya terhadap Pemerintah, lantaran belum puas dengan kebijakan perayaan yang mengikutsertakan rakyat Pribumi itu. Tulisan yang berjudul, Vrijheidsherdenking en Vrijheidsberooving (Memoedji Kemerdikaan dan Merampas Kemerdikaan), ditulis setelah “Als ik eens Nederlander was” tersebar dengan menggunakan bahasa Belanda dan Bahasa Melayu, yang isinya suatu penegasan Suwardi agar kaum Pribumi menolak Perayaan 100 Tahun Kemerdekaan Belanda.
“Bolehkah perajaan November diteroeskan? Tida, bilang tida, hai, Indiers! Dan kalau kalau soeara kamoe tiada didengarkan, kerna kita ta mempoenjai hak akan toeroet toeroet dalam pembitjaraan negri kita, ja, kalau begitoe…Ah, djangan, lebih baik kamoe menjebutkan sjoekoer, jang kamoe soedah melawan perhinaan pada dirimoe (Mijmeringen van Indie?rs over Hollands feestvierdij in de kolonie)"
Selain Suwardi, Douwes Dekker dan Tjipto Mangoengkoesoemo juga ikut melontarkan opininya. Tulisan Douwes Dekker yang berjudul, Wij don niet mee (Kami Tidak Ikut), misalnya, ditujukan kepada para pembesar dewan Hindia Belanda. Sedangkan Tjipto meneruskan opini Suwardi yang ditulis sebelumnya. Yang menarik, pada awal tulisan Tjipto berjudul, Wegen (Menimbang) terdapat kutipan pantun anak di Tatar Sunda berupa kritik terhadap golongan penguasa. Hal itu ditulisnya sebagai berikut:
“Ajang ajang goeng (Berjalan lamban dan berkerumun),
Goeng goongna rame (Goong nyaring bunyinya);
Menak Ki Bastanoe (Menak Ki Bastanoe)
Noe djadi Wadana (Yang menjadi Wedana).
Naha mana kitoe? (Kenapa kamu begitu?)
Toekang olo-olo, (Bersikap manja)
Loba anoe giroek (Banyak yang membenci),
Roeket ka koempeni (Dekat dengan kumpeni).
Niat hajang pangkat (Niatnya ingin jabatan),
Katon kagorengan (Malah mendapat keburukan);
Ngantos toewan besar (Menunggu tuan besar),
Sareng kandjeng dalem (Bersama kanjeng dalem)”
Masa singkat Suwardi dalam pergerakan Sarekat Islam Bandung memang tidak terekam secara jelas. Catatan Takashi Shiraisi terkait penjelasan Suwardi ketika masih di dalam SI Bandung telah memberikan sedikit gambaran mengenai sikap ex-voorzitter itu selama ia menjabat sebagai ketua. Menurutnya, Suwardi cenderung bersikap oposisi terhadap Pimpinan Pusat Sarekat Islam, meski waktu itu kondisi SI belum sebanyak masa-masa setelahnya.
Kiprah Suwardi dalam SI Bandung bukan hanya mendapat hambatan di kala ia berada dalam pergerakan Comite Boemi Poetra. Pada saat bersamaan ia pun masuk sebagai jajaran penting dalam pergerakan Indische Partij, sejak sebelum ia bergerak dalam SI Bandung. Hal ini mengindikasikan jika beban pada diri Suwardi betul-betul harus dihilangkan.
Boleh jadi, pilihan Suwardi adalah berhenti sebagai ketua SI Bandung, lalu melanjutkan perjuangannya bersama Comite Boemi Poetra yang kemudian mengubah namanya menjadi salah satu orang paling berpengaruh di Hindia Belanda pada awal abad ke-20.