Pedagang Pasar Baru Berharap Bansos PPKM Darurat
Pasar Baru ditutup, membuat ribuan pedagang dan karyawan menganggur. Pengusaha hotel dan restoran minta pemerintah serius redam Covid-19.
Penulis Iman Herdiana8 Juli 2021
BandungBergerak.id - PPKM Darurat yang diterapkan di Kota Bandung memberikan pukulan telak untuk kesekian kalinya bagi para pedagang di Pasar Baru Trade Center, Kota Bandung, di masa pandemi Covid-19 yang berkepanjangan ini. Para pedagang berharap Pemerintah Kota Bandung memberikan kompensasi atau bansos PPKM Darurat.
“Pasar Baru kan ditutup. Otomatis ribuan pedagang dan karyawan menganggur, tidak punya penghasilan. (Ini) Berdampak pada kehidupan terutama karyawan yang mengandalkan upah harian,” kata Iwan Suhermawan, Ketua Himpunan Pedagang Pasar Baru (HP2B) Kota Bandung, saat dihubungi via telepon.
Seperti diketahui, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM Darurat sudah berjalan sejak 3 Juli 2021. Kebijakan pembatasan sosial ini diterapkan untuk mengerem laju penularan Covid-19 yang baru-baru ini melonjak.
Kebijakan tersebut mengharuskan mal-mal, termasuk pusat perbelanjaan seperti Pasar Baru, tutup. Iwan Suhermawan mengatakan, saat ini jumlah ruang dagang yang bertahan di Pasar Baru sebanyak 4.200 ruang dagang, jumlah ini telah berkurang 50 persen sejak diterjang pagebluk setahun lalu.
“Sekarang total tutup kecuali pangan (pasar tradisional) yang jumlahnya 5 persen,” ujar Iwan.
Selama tutup, selain tidak punya penghasilan, para pedagang Pasar Baru juga masih harus membayar pengeluaran rutin, seperti membayar listrik kepada pengelola. Untuk itu, Iwan berharap Pemkot Bandung memperhatikan kesulitan pedagang Pasar Baru.
“Idealnya pemda bisa memberikan bansos kepada pedagang ataupun karyawan yang nganggur selama PPKM Darurat, bisa bansos uang atau dalam bentuk sembako,” katanya.
Selama ini, menurutnya bantuan tersebut tidak pernah sampai ke para pedagang atau karyawan Pasar Baru. Iwan juga berharap pengelola menggratiskan biasa listrik selama pandemi.
“Karena berat untuk pedagang harus mempertahankan hidup yang sulit, apalagi harus dibebani kewajiab-kewajiban. Di satu sisi kan ini (PPKM Darurat) kita menuruti anjuran pemerintah. Yang jelas kita kesulitan dan belum pulih dengan pandemi sejak tahun lalu,” paparnya.
Baca Juga: Jebol Larangan Mudik dan Wisata di Pantai Pangandaran
Pasar Palasari: Razia Buku Kiri, Kebakaran, dan Mimpi Revitalisasi
Pengusaha Hotel dan Restoran Pasrah
Hantaman telak pagebluk dirasakan para pengusaha hotel dan restoran. Saat ini mereka pasrah sambil berharap dan berdoa agar pandemi Covid-19 berakhir yang entah kapan, di tengah ledakan kasus yang terjadi sekarang ini.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Herman Muchtar mengatakan, banyak pengusaha hotel dan restoran yang terkapar alias gulung tikar. Hal ini tak lepas dari kurang ketatnya kebijakan pembatasan sosial yang dilakukan pemerintah maupun kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan, termasuk kepatuhan para pengusaha hotel dan restoran sendiri, sejak awal-awal pandemi.
“Kalau terjadi seperti sekarang mau apa lagi? Pulihnya ekonomi tergantung pandemi,” ujar Herman Muchtar.
Pemerintah maupun masyarakat mau tidak mau harus mentaati PPKM Darurat yang sekarang dijalankan. PPKM Darurat harus dijalankan serius dan konsisten, jika ingin pandemi terkendali, dan ekonomi bisa jalan kembali. “PPKM Darurat harus diperketat, ga ada cerita,” tukasnya.
Ia pun mengimbau kepada hotel dan restoran di Jawa Barat untuk tetap sabar taat aturan. Jika ada hotel dan restoran yang melanggar PPKM Darurat, ia sudah meminta untuk menerapkan sanksi tegas. Walaupun dengan taat aturan, pihak hotel dan restoran harus mengorbankan banyak hal, mulai kehilangan penghasilan.
Di sisi lain operasional mereka harus dibayar, seperti listrik, makan, gaji karyawan, dan lain-lain. Banyak pengusaha hotel dan restoran terpaksa utang untuk menutupi biaya operasional.
PHRI Jabar mencatat jumlah hotel dan restoran di Jabar sebanyak 3.000 unit yang semuanya terdampak pagebluk. Dari jumlah itu, per Juni 2020 terdapat 500 hotel dan restoran yang gulung tikar. Sementara tahun ini, total yang tutup terdiri dari 560 hotel dan 240 restoran atau rumah makan.
Ada beberapa hotel yang dijadikan tempat pemulihan atau isolasi mandiri, misalnya Grand Asrilia di Bandung yang bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, kemudian hotel-hotel di daerah yang bekerja dengan pemerintah daerah, seperti di Purwakarta dan Karawang.
Selain itu, terdapat hotel yang bekerja dengan BUMN-BUMN untuk menyediakan layanan isolasi mandiri. Ada pula pihak hotel sendiri yang membuka layanan isolasi mandiri bagi karyawannya yang terpapar Covid-19.
Herman Muchtar mengatakan, hotel yang bekerja sama dengan pemerintah dan BUMN cukup mendapat pemasukan. Karena mereka mendapat bayaran dari penyediaan layanan isolasi mandiri. Tapi hanya sedikit hotel yang mampu menjalin kerja sama tersebut. Sisanya lebih banyak yang kehilangan tamu.
“Rata-rata okupansinya di bawah 10 persen, bahkan banyak yang nol persen. Untuk BEP kan minimal okupansi 45 persen,” ujar Herman Muchtar.