Jalan Mundur Demokrasi
Wanggi Hoed berjalan kaki mundur menuju Aksi Kamisan Bandung di Gedung Sate. Rezim silih berganti, tak ada penuntasan kasus-kasus Hak Asasi Manusia.
Wanggi Hoed berjalan kaki mundur menuju Aksi Kamisan Bandung di Gedung Sate. Rezim silih berganti, tak ada penuntasan kasus-kasus Hak Asasi Manusia.
BandungBergerak.id - “Orang silih berganti, tapi Aksi Kamisan tetap berdiri,” ucap Wanggi Hoed, seniman pantomim yang melakukan aksi jalan kaki mundur sejauh dua kilometer dari Gedung Indonesia Menggugat, Jalan Perintis Kemerdekaan, ke Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Bandung, untuk memperingati 17 Tahun Aksi Kamisan, Kamis, 18 Januari 2024.
Aksi Kamisan pertama kali digelar di Jakarta, 18 Januari 2007 oleh keluarga korban pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM). Mereka berdiri berpayung hitam di depan istana negara menuntut pertanggungjawaban negara menuntasakan kasus pelanggaran-pelanggaran HAM. Namun sampai sekarang setelah 17 tahun, tuntutan itu tak kunjung dipenuhi.
Aksi Kamisan menjalar ke berbagai kota, salah satunya ke Bandung yang rutin setiap hari melakukan Aksi Kamisan Bandung di depan Gedung Sate. Aksi ini terbuka untuk siapa pun yang peduli pada penegakan hak asasi manusia.
Mengenakan span hitam panjang dan syal kain tenun, ia berjalan mundur dengan risiko berbenturan. Wajahnya yang berpupur putih khas pantomim tampak jenaka sekaligus kosong. Butuh 50 menit bagi Wanggi untuk mencapai Gedung Sate, bergabung dengan kawan-kawan Aksi Kamisan Bandung.
Aksi jalan mundur Wanggi Hoed amat sarat simbol, menunjukkan kemunduran demokrasi dan keadilan di Indonesia saat ini. Selama perjalanan, benturan dengan kendaraan yang terparkir di tepi jalan dan kadang sesekali menabrak sekelompok orang di tepi jalanan menjadi metafora nyata dari rintangan yang dihadapi dalam mencapai keadilan.
Wanggi sesekali berhenti di persimpangan jalan dan juga lampu merah, menunjukkan poster bertuliskan ‘’17 Tahun Aksi Kamisan. 18 Januari 2007 - 18 Januari 2024. Salam Juang!” kepada pengguna jalan. Ia kadang berdiri di tengah-tengah zebra cross, berhadapan dengan pengendara yang tengah menunggu lampu lalu lintas berubah menjadi hijau.
Sorot matanya menusuk, memberikan pesan tanpa kata kepada mereka yang menatapnya dari balik setir kendaraan. Seolah mengajak untuk merenung, Wanggi Hoed menciptakan momen keheningan yang terasa menggema di tengah kesibukan lalu lintas.
“Saya mencoba untuk memahami angka 17 tersebut. Saat ini, 17 tahun aksi kamisan sampai saat ini masih belum ada jalan untuk mencapai perwujudan keluarga korban,” ucap Wanggi, setibanya di depan Gedung Sate.
Setiap Kamis sore pukul 16.00 dengan pakaian serba hitam dan payung hitam, para keluarga korban berkumpul di depan Istana Negara untuk memperingati para korban pembunuhan pada 1965-1966, serta penculikan aktivis pada 1998 di Indonesia. Tragedi Semanggi, Trisakti, Tragedi 13-15 Mei 1998, Peristiwa Tanjung Priok, Peristiwa Talangsari 1989, dan tragedi HAM lainnya menjadi sorotan utama, memperkuat tuntutan mereka untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut.
Selama 17 tahun lamanya, peserta Aksi Kamisan bertemu dengan Presiden Indonesia Joko Widodo pada Aksi Kamisan ke-540 pada 31 Mei 2018 untuk kali pertamanya. Kala itu, Presiden Jokowi mengundang peserta untuk masuk ke Istana Kepresidenan pada 31 Mei 2018.
Berdasarkan catatan KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) pada 31 Mei 2018, kedatangan Presiden Joko Widodo ke Aksi Kamisan di 2018 lalu menimbulkan pertanyaan bagi mereka, sebab Aksi Kamisan yang kala itu sudah berjalan selama 11 tahun dengan ratusan surat yang dikirimkan kepada Presiden Indonesia, termasuk di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, tidak pernah satu pun di antaranya mendapatkan respons.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca lebih lanjut tulisan-tulisan Fitri Amanda, atau artikel-artikel lain tentang Aksi Kamisan Bandung
COMMENTS