BandungBergerak.idDidiagnosis penyakit mental bukanlah akhir dari kehidupan. Nabilah berusaha menjalaninya bersma dukungan keluarga. Kehidupan barunya sebagai ibu kian menguatkan hatinya.

Kenangan di masa lalu, ketika sosok papah pergi untuk selamanya, menjadi cerita yang akan diingat oleh Nabilah (24 tahun) dan keluarganya. Momen indah bersama sosok papah tersimpan rapi di memori anak kedua dari ketiga bersaudara ini. Namun juga penerimaan kepergiannya membutuhkan waktu lebih lama dari perkiraan.

Tahun 2023, Nabilah menyadari ada hal yang berbeda dari dirinya. Dia mencari tahu beberapa informasi tentang kesehatan mental yang tersedia di internet. Ada beberapa temuan yang menurutnya sesuai dengan apa yang dialami.

Namun dia tidak ingin mendiagnosa diri sendiri, dengan dukungan sang suami ia memutuskan untuk menemui dokter.

“Aku mendinglah ya, punya mamah, punya suami yang istilahnya open minded ‘oh ada ya keterbelakangan mental itu’. (Mereka) support untuk ke dokter,” cerita Nabilah saat ditemui di rumahnya, 18 April 2024.

Nabilah menemui dua kehidupan baru sekaligus, didiagnosa borderline personality disorder (DPD) atau gangguan kepribadian saat mengandung anak di usianya yang masih masih muda. Beberapa pikiran kurang baik kerap menyapa Nabilah dalam tenangnya. Termasuk di saat bersama anaknya.

Kelahiran putra pertamanya itu seperti pengingat baginya untuk bisa mengenal dirinya sendiri dan tidak menurunkan sakit mental yang ia alami pada anaknya. “Aku jadi lebih kalem sejak ada dia (anak), lebih bisa ngelerai semuanya dengan main sama anak,” ucapnya sambil memperhatikan aktivitas anaknya.

Penyakit mental masih sering disalahartikan di tengah masyarakat. Cap buruk atau stigma dikaitkan pada mereka yang didiagnosa sakit secara psikis. Namun, kesadaran individu akan gangguan kesehatan mental relatif lebih baik hari ini.

Foto pernikahan Nabilah. Didiagnosa gangguan kepribadian, Nabilah mendapat dukungan suami. (Foto: Virliy Putricantika/BandungBergerak.id)

Borderline personality disorder merupakan salah satu dari sekian banyak masalah kesehatan mental. Gangguan  kepribadian ini tak jarang dikaitkan dengan bipolar. Situs kesehatan Halodoc menjelaskan, orang dengan borderline personality disorder biasanya memiliki pola pikir yang tidak stabil. Ketidakstabilan ini kemudian membuat mereka sulit untuk mengatur emosi.

“Mereka (orang BPD) akan berusaha keras untuk tidak diabaikan oleh sekitar, dengan apa pun caranya. Inilah salah satu perbedaannya dibandingkan dengan bipolar,” terang Halodoc, diakses Sabtu, 25 Mei 2024.

Tim Promkes RSST - RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten di laman menjelaskan, kesulitan mengendalikan emosi mengganggu kehidupan sehari-hari orang BPD. “Diperkirakan 1 hingga 4 persen orang di dunia mengidap penyakit ini,” sebut Tim Promkes RSST - RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten, diakses dari laman resmi Sabtu, 25 Mei 2024..

Umumnya, gejala borderline personality disorder muncul pada masa remaja akhir atau dewasa muda, dan lebih sering dialami oleh wanita. Penanganan BPD dapat dilakukan oleh dokter dengan berbagai terapi medis.

Nabilah menjalani kehidupan sehari-hari, termasuk menjemur pakaian. (Foto: Virliy Putricantika/BandungBergerak.id)

Sementara itu, gangguan bipolar pada penduduk pria dan wanita di Indonesia persentasenya berimbang di angka 0,33 persen. Namun, beban lebih cenderung dirasakan perempuan, belum lagi masa postpartum yang perlu ditangani dengan baik sejak masa kehamilan. Penerimaan dari diri sendiri dan dukungan keluarga menjadi penguat.

Our World in Data mengatakan, kesehatan mental yang buruk mempengaruhi kesejahteraan, kemampuan untuk bekerja, dan hubungan dengan teman, keluarga, dan masyarakat secara umum.

“Diperkirakan 1 dari 3 wanita dan 1 dari 5 pria akan mengalami depresi berat dalam hidupnya. Kondisi lain, seperti skizofrenia dan gangguan bipolar, lebih jarang terjadi namun masih berdampak besar pada kehidupan masyarakat," tulis Our World in Data dalam laporannya.

Tak dipungkiri ada banyak penyintas kesehatan mental di luar sana yang masih berjuang sendirian dan mendapatkan stigma dari lingkungannya. Kenyataannya, sakit mental tidak memiliki perbedaan dengan penyakit fisik.

*Foto dan Teks: Virliya Putricantika

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//