CERITA DARI BANDUNG BARAT #6: Bersama Z di Bawah Langit Cisarua
Z seorang penyintas bipolar. Bergelut dengan stigma masyarakat dan gagapnya layanan kesehatan mental.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah18 Oktober 2022
BandungBergerak.id - Z – bukan nama sebenarnya – didiagnosa menderita bipolar sejak 2019. Sejak itu, kesehatan mental menjadi fokus perhatiannya. Di satu sisi ia harus berdamai dengan diri sendiri. Tetapi di sisi lain hak-hak distabilitas mental harus diperjuangkan di tengah masih kuatnya stigma masyarakat pada orang dengan gangguan kesehatan mental.
Z tinggal di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat. Ia masih berstatus mahasiswa. Awalnya ia mengaku depresi dan psikotik sebelum didiagnosa bipolar.
Menurut laman alodokter, bipolar adalah gangguan mental yang ditandai dengan perubahan yang drastis pada suasana hati. Penderita gangguan ini bisa merasa sangat bahagia kemudian berubah menjadi sangat sedih.
Laman khusus kesehatan tersebut juga merilis data World Health Organization (WHO) pada 2017 ada sekitar 45 juta orang di seluruh dunia yang menderita gangguan bipolar. Gangguan ini merupakan salah satu penyebab utama cacat dan kematian akibat bunuh diri di seluruh dunia.
"Awalnya saya tidak diagnosis bipolar. Awalnya depresi dan psikotik, setelah diagnosis itu memang ada rasa malu, dan khawatir pada hinaan dan bully-an," kata Z saat ditemui, Minggu (16/10/2022).
Hari itu saya menemui Z di halaman Rumah Sakit Jiwa Provisi Jawa Barat yang beratapkan langit biru. Suasananya terasa tenteram dan sejuk. Perlu waktu lama bagi Z untuk menerima vonis bipolar dari psikiater. Butuh usaha keras baginya untuk berterus terang mengenai status yang tak mengenakkan itu.
"Saya itu butuh waktu lama untuk berterus terang, apalagi ke keluarga, karena kan (pemahaman) kesehatan mental kita belum merata," kata Z.
Edukasi tentang kesehatan mental di Indonesia belum paripurna. Kesehatan jiwa masih dipandang sebagai aib atau stigma. Ini terjadi di lingkungan masyarakat maupun pendidikan.
Z merasa isu kesehatan mental lebih sering direspons cemoohan. Kebetulan Z lahir dari keluarga yang kolot. Kesehatan mental bahkan dianggap tabu yang memalukan keluarga.
"Saya lahir dari keluarga yang bukan open-minded dan berpendidikan pada kesehatan mental. Saya waktu itu takut pada stigma di lingkungan, apalagi di keluarga," tutur Z.
Kentalnya stigma membuat penyintas kesehatan mental mendapat perlakuan tidak setara. Mereka kerap kurang menerima dukungan dari lingkungan.
"Karena engga sedikit yang mencemooh dan menganggap sebagai tren, padahal kami itu hanya butuh support, kami itu hanya ingin setara," ungkapnya.
Suatu hari, Z mengikuti kelas di kampusnya. Kuliah diberikan dosen yang telah bergelar doktor. Sang dosen menyinggung masalah kesehatan mental, bahwa para penyintas bipolar hanya mengikuti trend K-Pop, boyband Korea Selatan.
Seperti diketahui, kasus kesehatan mental menjadi salah satu isu yang banyak dihadapi kalangan pesohor Korea Selatan. Tidak sedikit artis Korea Selatan yang mengakhiri hidupnya karena menghadapi masalah kesehatan mental.
Z heran mengapa seorang dosen yang bergelar doktor punya pandangan sempit soal kesehatan mental. Ini menandakan bahwa lingkup akademik yang terdiri dari orang-orang berpendidikan pun belum bisa melepaskan stigma pada kesehatan mental.
"Di ruang civitas akademik kok bisa bilang orang yang beset-beset silet ke tangan karena dia sedang cemas dibilang kokorean," tutur Z.
Penyintas yang Bertahan dan Berjuang
Z sampai saat ini bertahan dengan gangguan bipolar yang dialaminya. Tidak mudah melakoninya. Membuka diri pada keluarga dinilai sebagai salah satu jalan keluar.
"Akhirnya saya mulai terbuka. Karena kata psikiater saya, memang berlaku apatis itu salah, tapi kalau itu untuk kebaikan kamu sangatlah perlu," katanya.
Z akhirnya terbuka pada ibu dan bapaknya, saudara, dan juga sahabatnya. Sikap terbuka ini tidaklah mudah. Ia harus siap menghadapi pandangan berbeda dari orang-orang.
"Banyak orang-orang yang menilai beda, menganggap saya terma mental dan berbahaya. Padahal bipolar itu cuman gangguan mood, justru yang berbahaya itu penyintas, karena dia menyakiti dirinya sendiri," katanya.
Z tidak lagi menjalani fase hidup yang tertutup. Ia tidak mungkin mengurung diri dalam kamar dan tak melakukan apa-apa.
Sedikit-sedikit keluarganya mulai terbuka. Seorang kakaknya mulai mau memahami kondisi yang dialami Z.
Membuka diri dan menerima keadaan sebagai jalan untuk kembali produktif. Tanpa penerimaan diri membuat penyintas tidak produktif, kegiatan sehari-harinya menjadi terganggu. Apalagi Z masih kuliah.
"Setelah terbuka dan cuek, untuk berlaku cuek itu gak mudah loh. Tapi saya lakukan untuk diri sendiri, kebaikan sendiri, kembali produktif," katanya.
Dari sikap terbuka ini, ada sisi positif yang bisa dipetik. Di antaranya, ada teman yang peduli, menanyakan, dan memperhatikan keadaannya.
Walau begitu, Z harus berlapang dada pada orang-orang yang berpandangan berbeda pada penyintas gangguan jiwa. Tidak mudah memang menghadapi rundungan. Terlebih saat suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja.
"Saat di fase depresi, ada juga yang mendukung, ada juga yang bilang, seperti nada meremehkan," ujarnya.
Saat ini Z aktif di salah satu komunitas para penyintas distabilitas mental. Di sana mereka saling menguatkan satu sama lain. Z terus belajar dan menimba pengalaman dari rekan sejalan.
Di komunitas ini pula Z berani menyuarakan tentang pentingnya kesehatan mental yang paripurna.
“Kita itu seperti marah pada angin, karena gimana lagi, kami itu penyintas, dan memang saat ini yang sangat memahami hanya sesama penyintas," katanya.
Baca Juga: CERITA DARI BANDUNG BARAT #3: Para Perajin Wayang Golek dari Bojong Koneng
CERITA DARI BANDUNG BARAT #4: Perlawanan Antikolonial di Balik Manisnya Wajit Cililin
CERITA DARI BANDUNG BARAT #5: 26 Tahun Ukar Karmita di Jalur Perlintasan Kereta
Celotehan Tokoh Publik
Langit Cisarua masih cerah. Angin dari pegunungan utara tetap sejuk. Z tidak menutupi kegeramannya pada beberapa tokoh publik yang turut melemparkan stigma negatif pada penyandang gangguan kesehatan mental.
Pernyataan mereka tersebar luas di media sosial. Menurutnya, hal tersebut justru tidak memberikan edukasi kesehatan mental yang baik.
"Kita tahu, banyak yang bunuh diri akibat bullying. Akibat (edukasi) kesehatan mental yang engga merata terus kenapa public figure tersebut malah memperkuat stigma negatif di masyarakat," katanya.
Z juga menyayangkan sikap pemuka agama yang hanya menjelaskan dosa-dosa bunuh diri. Padahal orang-orang yang bunuh diri pasti mengetahui konsekuensi dan dosa-dosanya. Mereka membutuhkan dukungan dan motivasi agar tidak melakukan tindakan bunuh diri.
Pendidikan kesehatan mental yang tidak merata itu pun sangat disayangkan oleh Z. Begitu juga dengan terbatasnya akses pada layanan-layanan kesehatan mental.
Z berharap ada kesetaraan bagi penyintas. Pemerintah seharusnya melakukan edukasi tentang pentingnya merawat kesehatan mental, selain menyiapkan layanan-layanan yang mudah diakses.
"Karena edukasi kesehatan mental yang tidak baik, banyak teman-teman kita yang berkeliaran di jalan, itu karena kesehatan mental yang tidak baik," katanya.
Masih banyaknya kasus pemasungan pada pasien skizofrenia menjadi bukti belum meratanya pemahaman terkait kesehatan mental dan belum meratanya akses layanan kesehatan mental.
"Berharap pemerintah lebih peduli, pada para penyintas," tutupnya.
Saya pun mengakhiri pertemuan singkat dengan Z, meninggalkannya di bawah langit cerah dan udara sejuk Cisarua. Harapan Z adalah doa semua disabilitas mental yang berjuang dan bergelut dengan dirinya sendiri. Semoga kehidupan mereka semakin cerah dan sejuk.