CERITA DARI BANDUNG BARAT #4: Perlawanan Antikolonial di Balik Manisnya Wajit Cililin
Penjualan wajit Cililin sempat mendapat penentangan dari golongan menak dan pemerintah Hindia Belanda. Mereka beralasan bahwa beras ketan adalah makanan elite.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah21 Juli 2022
BandungBergerak.id - Matahari seperti sedang marah di langit Batujajar, Kabupaten Bandung Barat, Selasa (19/07/22). Suhu panas udara bercampur dengan asap kendaraan lalu lalang, ada mobil truk dengan para supir dan kendek yang berjuang untuk anak istri, angkot berhenti lama menunggu penumpang, elf atau minibus penumpangnya sampai meluber ke atap kendaraan.
Belum lagi puluhan pengendara motor yang berhamburan di jalanan membuat Jalan Batujajar arah ke Cililin macet, apalagi ketika jam pulang bekerja, semuanya tumpah ke jalan. Semua orang sudah pada tahu di sepanjang Cimareme sampai Batujajar banyak berdiri pabrik industri dengan ribuan pekerja.
Tujuan saya saat itu yakni berkunjung ke Cililin, dengan maksud ingin mengetahui bagaimana sejarah oleh-oleh khasnya: wajit Cililin. Hal yang melatarbelakangi kunjungan ini karena kampus saya di UIN SGD Bandung masih dalam suasana pandemi, kuliah daring waktu itu mata kuliah Sejarah Dunia. Ketika sang dosen mengabsen nama dan asal para mahasiswanya, kebetulan ada kawan sekelas saya yang asli orang Cililin. Lalu dengan nada bercanda, dosen berkata, “Atuh orang Cililin mah, kedah nyandak wajit pami kadieu.”
Lalu teman yang asal Cililin itu datang ke Cibiru [tempat kampus UIN SGD Bandung berdiri] membawa Wajit, dan saya bertanya, “Jadi ti iraha euy, aya Wajit di Cililin?” Dia tidak menjawab, mungkin kawan saya itu juga belum sempat mencari tahu.
Akhirnya saya memutuskan untuk pergi sendirian ke Cililin dengan motor tua yang saya miliki, di bawah terik panasnya matahari.
Tibalah saya di sebuah toko wajit dengan papan nama cukup pudar namun masih terbaca: “WAJIT ASLI: Wajit Angleng, Dodol Kacang, Ladu HJ. SITI ROMLAH, Jalan Raya Radio No 1, Desa Cililin, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat”.
Mengigit Manisnya Sejarah Wajit Cililin
Saya disambut baik oleh seorang laki-laki yang murah senyuman, rambut berwarna putih. Setelah saya mengenalkan diri, kami mengobrol tentang wajit. Badan saya sudah bau matahari, keringat bercucuran karena suhu cuaca yang panas, tetapi mendengarkan beliau menjelaskan sejarah wajit Cililin membuat saya kembali segar seperti mengigit manisnya kuliner tradisional ini.
Beliau adalah Syamsul Maarif (44), alumni Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran (Unpad) angkatan 1997, merupakan generasi keempat yang melanjutkan usaha Wajit Asli Cililin Cap Potret Haji Siti Romlah. Bahkan skripsi Syamsul mengangkat sejarah wajit.
“Dari dulu masyarakat Cililin selalu identik dengan wajit, bahkan semacam ada tuntutan kalau orang Cililin ke mana-mana selalu ditanya, ‘mana wajitnya?’. Jadi Wajit Cililin lebih terkenal daripada Cililinnya, yang melambungkan nama Cililin justru produk wajitnya ternyata,” ujar Syamsul.
Sayangnya identitas ini tidak disambut gayung oleh pihak terkait yang ada di Cililin. Padahal wajit ini sangat mengangkat nama Cililin. “Wajit Cililin pertama kali dibuat oleh orang Cililin, Ibu Uti dan dibantu oleh saudaranya Ibu Juita,” sambungnya, bersemangat.
Menurut Syamsul, Cililin merupakan daerah Agraris yang memiliki banyak sawah, ada yang pengarap, ada juga yang punya sawah sendiri. Hampir 60-80 persen masyarakat Cililin bekerja sebagai petani.
Terciptanya wajit diilhami budaya agraris tersebut. Masing-masing warga biasanya memiliki atau mengolah beberapa petak sawah yang satu atau dua petak di antaranya ditanami berass ketan.
Lama kelamaan beras kentan dari para pemilik sawah itu menumpuk. Warga sempat kebingungan mengolah beras ketan tersebut. Uti dan Juita kemudian mengolah beras ketan menjadi wajid. Mereka memanfaatkan hasil agrarian lainnya yang ada di sekitaran Cililin dan Gununghalu, yaitu gula aren, gula putih, dan kelapa.
“Oleh Ibu Uti dan Juita membuat makanan yang bahan utama kelapa, ketan, dan gula aren. Yang mungkin di tempat lain juga ada jauh 1916 mungkin, tapi belum dikenal sebagai wajit,” tutur Syamsul.
Makanan buatan Uti dan Juita mendapat respons positif warga: enak, banyak masyarakat Cililin yang menyukainya.
“Wajit pada saat itu, saya kategorikan sunat. Di tempat orang yang ngadain pesta pernikahan dan perayaan biasanya suka ada yang pesen by-order ke Ibu Uti dan Juita di tahun 1916 sebelum 1936,” terangnya.
Baca Juga: CERITA DARI BANDUNG BARAT #1: Para Pemuda Perawat Tradisi di Kampung Pojok
CERITA DARI BANDUNG BARAT #2 : Baju Pemberian Eril untuk Perintis Kebaikan di Batujajar
CERITA DARI BANDUNG BARAT #3: Para Perajin Wayang Golek dari Bojong Koneng
Awal Mula Muncul Nama Wajit
Orang Cililin – yang memesan makanan manis ke Uti dan Juita – awalnya menyebut kuliner ini “ketan digulaan”. Istilah wajit muncul di sebuah pesta yang di sana ada orang Jawa yang mencicipi “ketan digulaan” sambil bergumam, “Kalau di daerah saya, ini namanya wajik”.
Sembari membetulkan rambut gondrongnya yang menutup telinga, Syamsul Maarif menjelaskan bahwa istilah wajik melebur di masyarakat Cililin sehingga lahirlah istilah wajit. “Ada pelafalan bahasa yang berbeda dan akhirnya dikenallah wajit,” terangnya.
Jadi, nama wajit awalnya memang muncul di Cililin. Wajit didefinisikan sebagai penganan khas tradisional yang dibuat dari beras kentan, parutan kelapa, gula aren atau gula putih yang dibungkus dari daun jagung.
“Yang jelas wajit Cililin memang asli Cililin namun makanan seperti wajit bukan hanya di Cililin,” jelasnya.
Wajit Menyebar Luas
Berkat penjualan by-order, ekonomi Uti dan Juita meningkat. Tahun 1936, penjualan wajit dipasarkan ke masyarakat luas dengan inisiasi dari Irah, anak Uti. Pemasaran dilakukan dengan cara dijual dengan warung, diedarkan ke warung-warung sampai ke Bandung.
Penjualan lebih luas wajit Cililin sempat mendapat penentangan dari golongan menak dan pemerintah Hindia Belanda. Mereka beralasan bahwa beras ketan adalah makanan elite, bukan konsumsi umum atau rakyat jelata.
“Tapi Ibu Irah keukeuh dan melawan pemerintahan Hindia Belanda. Tapi justru dari yang dilarang jadi banyak yang suka, termasuk suka dipesen sama pemerintahan,” sambungnya.
Berkat bisnis wajit itu pula, pada tahun 1950-an Irah bisa berangkat haji ke Tanah Suci. Dalam kurun 50-an, menunaikan ibadah haji tidak cukup dalam waktu sebulan. Selama Irah ke Mekkah, kakaknya, Rum, ikut berjualan. Ketika Irah pulang dari Mekkah, nama wajitnya mempunyai merek “Wajit Asli Cililin Cap Potret Haji Siti Romlah” yang bertahan sampai sekarang. Dan Rum punya merek “Wajit Cililin Pusaka”.
Wajit Cililin terus berjaya. Dalam kurun 1950-1990-an, hampir 90 persen para pedagang wajit di Cililin bisa naik haji ke Arab Saudi. Di antara para pedagang wajit, Wajit Ibu Siti Romlah-lah yang paling konsisten. Bahkan perlawanan Irah terhadap larangan tidak boleh berjualan wajit oleh pemerintah Hindia Belanda membuat rezim Orde Baru memberikan penghargaan Upakarti.
Bukan Sekadar Nilai Ekonomi
Syamsul Maarif menjelaskan hari ini banyak yang menjual wajit hanya sekedar memikirkan nilai ekonomi saja. Padahal esensi wajit itu tidak sekedar memikirkan ekonomi.
“Boleh menyebut itu sebagai Wajit Cililin, tapi yang asli yang datang ke Cililin. Orang dulu bikin wajit banyak upacaranya, misalnya hawu harus dinyalain jam berapa, budaya itu selalu dipakai dan menghilang ketika nilai ekonomi menyerbu,” tuur Syamsul.
Menentukan rasa buah untuk wajit pun harus sesuai dengan perhitungan musim. Artinya, wajit rasa buah-buahan dari dulu sudah diproduksi.
“Wajit rasa duren dari dulu juga sudah ada, cuma kita harus menunggu dulu sampai musim duren itu datang,” katanya.
Tak terasa, obrolan saya dengan Syamsul sudah menjelang senja. Sejarah wajit kian dibuat hambar oleh zamannya. “Semoga wajit bisa diperhatikan lebih soalnya mengangkat nama geografis Cililin,” harapnya.
Saya lalu pamit, kembali mengitari Jalan Raya Cililin menuju pulang.