• Cerita
  • CERITA DARI BANDUNG BARAT #5: 26 Tahun Ukar Karmita di Jalur Perlintasan Kereta

CERITA DARI BANDUNG BARAT #5: 26 Tahun Ukar Karmita di Jalur Perlintasan Kereta

Ukar Karmita usianya sudah 70 tahun. Separuh usia hidupnya dihabiskan di perlintasan kereta api. Menjaga keselamatan warga yang melintas.

Ukar Karmita (70) menjaga palang pintu perlintasan sebidang kereta api di Kampung Babakan Tegalaja, Desa Tanimulya Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat, Senin (26/9/2022). (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak.id)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah1 Oktober 2022


BandungBergerak.idDua puluh enam tahun bukan waktu yang sebentar bagi Ukar Karmita (70) menjadi penjaga palang pintu perlintasan sebidang kereta api yang membelah Kampung Babakan Tegalaja, RT 01 RW 04, Desa Tanimulya Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat. Jumlah ucapan terima kasih sama banyaknya dengan cacian. Kematian pun terasa begitu dekat.

Ukar tahu persis kapan ia memulai bekerja serta tanggal berapa ia mengawali kerja menjadi penjaga palang pintu kereta api. Walaupun usianya kini sudah 70 tahun. “Dinten Senin, kaping 17 taun 96, (hari Senin, tanggal 17 tahun 1996),” kata Ukar saat ditemui, Senin (26/9/2022).

Tahun-tahun tersebut menjadi titi mangsa pemekaran Bandung Barat menjadi Kabupaten Bandung Barat. Awalnya wilayah ini bagian dari Kabupaten Bandung. Ukar tahu persis momen pemisahan wilayah ini.

Tak terasa seperempat usianya telah dihabiskan untuk menjaga palang pintu perlintasan sebidang kereta api. Ukar sebenarnya ingin berhenti dari pekerjaan sukarelawan ini, namun masyarakat sudah terlanjur mencintainya. Ia pun berusaha tabah menjalaninya.

Kebutuhan Masyarakat

Di posnya yang lebih mirip gubuk, Ukar Karmita memakai baju berwarna hijau bertuliskan Limnas. Ia mengenang awal mula menjadi penjaga perlintasan kereta api, seorang pemuda menganti posisinya untuk sementara.

Di sela-sela Ukar bercerita, pemuda itu sibuk menganyunkan tangannya seraya berteriak, “Terus, terus...” kepada sopir truk yang melaju dari arah Cihaliwung ke arah Kampung Tegalaja, Desa Tanimulya. Sang sopir memberikan uang receh kepada si pemuda. Jumlahnya tak seberapa.

“Sabenerna mah saha anu daek teu pira receh (sebetulnya, siapa yang mau hanya receh),” kata Ukar. Suaranya masih lantang terdengar.

Kalau saja saat itu Ukar tidak disuruh oleh tokoh setempat, tentunya ia tidak akan menjadi penjaga palang pintu perlintasan kereta api.

Tahun 1996, perlintasan kereta api di Kampung Babakan Tegalaja belum ada penjaganya. Padahal jalan ini menjadi akses utama warga. Sehingga ada risiko tinggi tersambar kereta api. Karena itu warga berinisiatif membentuk pos penjagaan palang pintu perlintasan kereta api. Perlintasan ini harus dijaga selama 24 jam.

Tahun tersebut seingat Ukar Kampung Babakan Tegalaja sudah cukup padat penduduk. Kampung ini menjadi lebih padat lagi dengan munculnya megaproyek Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) Bandung Jakarta.

Ukar pun dipercaya menjaga perlintasan kereta api. Selama bertugas, ia bergiliran dengan tiga kawannya. Mereka ditunjuk atas seizin PT Kereta Api Indonesia dan aparat kepolisian.

Tentu pekerjaan ini penuh dengan risiko. Perlintasan kereta api menjadi tanggung jawab Ukar dan kawan-kawan selama 24 jam. Di sisi lain, Ukar juga harus membiayai istri dan dua anaknya.

“Selama 26 tahun, dua puluh opat jam da kudu aya nu ngajagaan,” katanya.

Ukar membagi waktu kerja dengan anaknya mulai pagi hingga malam hari. Pukul 06.00 kereta api yang biasa melintas adalah jurusan Puwarkarta-Padalarang. Jadwalnya berlangsung sampai malam.

Baca Juga: CERITA DARI BANDUNG BARAT #1: Para Pemuda Perawat Tradisi di Kampung Pojok
CERITA DARI BANDUNG BARAT #3: Para Perajin Wayang Golek dari Bojong Koneng
CERITA DARI BANDUNG BARAT #4: Perlawanan Antikolonial di Balik Manisnya Wajit Cililin

Diajak Berkelahi, Orang Bunuh Diri

Lelaki yang kini dikaruniai 4 cucu itu mengalami dan menyaksikan langsung berbagai persitiwa yang terjadi di perlintasan kereta api. Berbagai karakter manusia ia temui di atas rel kereta.

“Suka ada yang ngotot, maksa mau menyeberang padahal kereta mau lewat. Ngabahayakeun nyawana, geus disalametkeun kadon ngomong kasar jeung nantang gelut,“ cerita Ukar Karmita.

Ukar sudah biasa menghadapi caci maki, tantangan berkelahi, hingga ancaman-ancaman lainnya dari pengguna jalan. Semua itu ia hadapi dengan ketegaran seorang bijak demi menyelamatkan nyawa-nyawa yang mau melintas di jalur kereta.

Suatu waktu usaha Ukar sudah berusaha mencegah orang yang ngotot mau menyeberang jalur kereta. Tetapi usaha Ukar bobol, orang tersebut nekat menerobos dan akhirnya tertabrak kereta.

“Jadi weh katabrak, pernah oge aya anu dititah ereun kadon ngajak gelut padahal kereta keur maju tarik,” ujarnya.

Selama puluhan tahun bertugas itu insting Ukar semakin terasah. Hal ini mendorongnya untuk berlaku tegas mencegah orang yang maksa ingin melintas.

Suatu waktu, ia pernah menyaksikan orang yang sengaja menabrakkan diri ke kereta besi. Sebelum kejadian, orang itu sempat makan siang dulu.

“Pernah aya oge nu sengaja nabrakeun maneh, katinggali ku bapak oge, siangna makan heula, pek teh eta nu nabrakeun maneh,” katanya.

Sudah 26 tahun Ukar dan kawan-kawan bertugas di perlintasan kereta api. Tidak sedikit orang yang ia selamatkan berkat penjagaannya. Ada yang berterima kasih, ada juga yang marah karena perjalanannya merasa diganggu.

Ukar dan kawan-kawan memang mendapat upah sekadarnya dari pengguna jalan. Tetapi besaran upah itu tak sebanding dengan pengorbanan Ukar sendiri yang bertugas selama 24 jam. Di jalur perlintasan kereta api, kemanusiaan tak bisa dinilai dengan rupiah.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//