Musik Tanah The Talawengkar
The Talawengkar lahir dari keresahan yang menimpa ruang-ruang hidup di Jatiwangi yang berubah karena pembangunan gencar industri modern.
The Talawengkar lahir dari keresahan yang menimpa ruang-ruang hidup di Jatiwangi yang berubah karena pembangunan gencar industri modern.
BandungBergerak.id - "Ternak teri nganter anak nganter istri ternak teri, nganter anak nganter istri ternak teri," lirik lagu ini mengalir berulang dari suara berat dan parau Oman sang vokalis grup musik The Talawengkar, band musik tanah dari Jatiwangi.
Penonton ikut meneriakan lirik-lirik tersebut. Asap dry ice sesekali menyembur dari sisi kiri panggung perhelatan Jatiwangi Cup 2024 di jebor Super Bambang, Kampung Baturuyuk, Jatiwangi, Majalengka, Minggu malam, 11 Agustus 2024.
Di bawah siraman cahaya warna warni dan lampu strobo, Dadang, Yana, Asep, dan Juhri menjaga ritme dengan iringan perkusi alat-alat musik tabuh dari bilah-bilah genting (genting), pot-pot gerabah, dan tambur dari gentong gerabah.
Penonton semakin riuh saat lagu berjudul Tong Kendor digeber Oman dan kawan-kawannya. "Ulah waka ngasoan can anggeus mah," kalimat ini diulang-ulang dengan komposisi perkusi tanah liat yang suaranya mirip perangkat gamelan saron, bonang, dan xylophone.
"Jangan istirahat sebelum kerjamu selesai," begitu arti dari penggalan lirik berbahasa Sunda itu. Musiknya sangat ritmis, hentakan-hentakan low end komposisi mereka keluar dari tambur gentong.
Malam angin semakin kencang dan dingin. Namun, penonton terus berteriak-teriak. Mereka tersebar di barisan penonton yang duduk di atas kursi plastik, di tembok pagar, dan yang menghampar di atas rumput kering berdebu. “Tong kendor, tong kendor!" Seperti mengerti keinginan penonton, band The Talawengkar menderu di atas panggung.
Grup musik yang digawangi enam personel bertubuh kekar ini selain menampilkan kepiawaian mereka membawakan komposisi lewat alat musik terakota atau alat musik tanah yang unik, mereka juga memiliki profesi tak kalah unik yaitu pekerja jebor alias pabrik genting tradisional Jatiwangi.
Para pekerja jebor membentuk The Talawengkar tahun 2023 lalu melalui arahan Tedi Nurmanto, Ila Syurkila Syarif, dan Jatiwangi Art Factory. Mereka juga merupakan atlet-atlet andalan masing-masing jebor saat digelar binaraga antarjebor Jatiwangi Cup.
Tanpa latar kemampuan bermusik, enam orang pekerja jebor tersebut terbiasa memukul genting yang sudah kering untuk memeriksa kualitasnya. Tanpa disadari kemampuan mereka membedakan bunyi genting malah mengasah naluri mereka untuk mengenal nada dan kelak bisa mengolahnya jadi komposisi musik. Lirik-lirik lagu yang mereka nyanyikan juga berasal dari keseharian mereka.
"Mandor atau bos kan sering berkata ‘ulah waka ngasoan can anggeus, mah’ saat kita sedang kerja mencetak genting. Dari situ lahir lagu Tong Kendor," kata Oman.
Begitu juga dengan lagu Ternak Teri, berasal dari tugas mereka untuk mengantar anak sekolah dan istri kerja dulu sebelum mereka juga pergi kerja ke jebor.
Lagu Ternak Teri juga boleh dibilang merespons tumbuh suburnya industri garmen atau tekstil modern di Majalengka. Jika dulu istri mereka sama-sama kerja di jebor, sekarang banyak perempuan terutama yang berusia muda memilih kerja di pabrik ketimbang berkotor-kotor di jebor.
Ada enam lagu ciptaan mereka yang sudah dikenal oleh para pemerhati musik-musik kontemporer, khususnya di Jatiwangi, yaitu Tong Kendor, Ternak Teri, Rampak Genting, Aya Rea, Indit, dan Panjang Umur Loba Nganggur. Talawengkar sendiri artinya adalah pecahan genting (produk tembikar).
Selain mengasah kemampuan stage act mereka di panggung-panggung musik lokal, mereka pernah tampil dan mencuri perhatian di panggung bergengsi International Ethnic Music Festival di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 28 Oktober 2023.
Direktur Musium Genting Jatiwangi Ila Syurkila Syarif menjelaskan, membuat genting tanah merupakan identitas Jatiwang. Saat ini Jatiwangi dalam perubahan pesat sebagai dampak pembangunan infrastruktur Proyek Strategis Nasional (PSN). Daerah bagian dari wilayah Kabupaten Majalengka ini masuk ke dalam Segitiga Rebana, kawasan luas di wilayah Pantura Jabar yang digadang menjadi pusat pertumbuhan baru ekonomi.
“Apa yang kita punya juga sudah terbukti ya membuat kita hidup sampai hari ini. Seperti yang kita lihat sekarang, kita sudah keren sejak dulu, lalu kenapa orang datang ke sini menawarkan "kekerenan" yang lain," kata Ila Syurkila Syarif.
Ruang-ruang hidup di Jatiwangi dan sekitarnya yang semula adalah pertanian dan industri pembuatan genting rakyat ikut terdampak pembangunan proyek-proyek negara. Di samping itu, industri genting lokal Jatiwangi menghadapi maraknya industri manufaktur atap modern seperti genting logam yang murah, jadi pemicu munculnya semangat untuk terus menjaga nyala identitas budaya tanah di Jatiwangi.
"Di sini kami punya kebudayaan, mengajak warga untuk bangga pada seni dan budaya kita sendiri, karena lewat seni yang ditawarkan ada keindahan walaupun kemarahan yang ingin kita sampaikan. Kebudayaan tanah ini akan terus kami upayakan untuk menandai siapa kami. Terlalu romantis ya jika kita hanya ngomongin genting sebagai penanda budaya kami, kita juga berupaya bahan tanah ini tidak hanya jadi genting, bisa dalam bentuk kreatifitas lain seperti musik tanah The Talawengkar tadi," jelas Ila.
The Talawengkar tidak sendiri, ada grup musik LAIR dan grup musik perempuan Mother Bank. Semua personilnya adalah pekerja di pabrik genting yang terus "melawan" dengan karya-karyanya di semua platform media sosial ataupun di atas panggung konser. Bulan Oktober 2024 nanti, The Talawengkar, Lair, dan Mother Bank bakal membakar panggung festival musik bergengsi Synchronize Festival di Gambir Expo Kemayoran, Jakarta.
*Foto dan Teks: Prima Mulia
COMMENTS