Wakare Majalengka
Tradisi Wakare di Majalengka dimulai pada zaman penjajahan Jepang. Tradisi gotong rumah ini diperingati secara turun-temurun.
Tradisi Wakare di Majalengka dimulai pada zaman penjajahan Jepang. Tradisi gotong rumah ini diperingati secara turun-temurun.
BandungBergerak.id - Warga menyemut di bawah pohon-pohon besar yang tumbuh di sekitar lapangan Musium Wakare, Kampung Wates, Desa Jatisura, Kecamatan Jatiwangi, Majalengka, Senin, 14 Agustus 2023. Rindang pohon cukup ampuh meredam debu dan suhu kawasan Pantura itu. Mereka menanti dimulainya tradisi gotong rumah atau kerap disebut wakare, sebuah tradisi turun temurun di Jatiwangi.
Sedikitnya ada tujuh replika rumah yang akan digotong beramai-ramai dalam tradisi wakare ini. Ketujuh rumah tersebut mewakili Desa Cibogor, Buntu, Beber, Beusi, Pilang, dan Kampek dari Kecamatan Ligung, satu rumah dari Desa Salawana, Kecamatan Dawuan.
Gerobak perangkat tata suara sudah ditarik ke sisi jalan. Lagu berbahasa Sunda dialek Majalengka dengan syair tentang sejarah wakare bergema di jalanan desa. Langgam musik pengiring lagunya juga unik, perpaduan antara dangdutan khas Pantura dan Obrog gaya Majalengka. Ratusan orang warga mulai berbaris teratur, sebagian besar kaum perempuan bersama anak-anak. Para pria bertugas mengusung tandu replika rumah.
Iring-iringan warga mulai bergerak ke arah Kampung Pilang, berjalan kaki dengan rute keliling kampung di sekitar Desa Jatisura. Jarak yang akan ditempuh sekitar 3 kilometer. Kaum perempuan berjalan sambil menenteng buntelan pakaian, bahan makanan, dan termos-termos minuman. Anak-anak ngintil ibu mereka dengan ceria. Para pria menggotong rumah dengan cara ditandu. Mereka juga membawa berbagai macam hasil bumi, ternak, bahkan kandang berisi burung berkicau peliharaan mereka.
Sebagian ibu-ibu ikut bernyanyi diiringi irama musik lagu wakare. Debu berterbangan saat langkah kaki mereka berjalan menyusuri kampung-kampung. Mereka yang tidak ikut acara menunggu di halaman rumah di kampung-kampung yang dilalui rute wakare.
Warga saling melambai dan menyapa saat iring-iringan melintas. Anak-anak tak kalah antusias menonton keriuhan saat rombongan melewati rumah-rumah mereka.
"Saya selalu bercerita tentang sejarah wakare pada anak dan cucu, supaya mereka juga mengerti makna dari tradisi ini. Bukan sekadar jalan kaki dan gotong-gotong rumah," kata Iyah (68 tahun). Wanita kelahiran Jatisura ini menonton dari teras rumah sambil bercerita tradisi wakare pada tiga cucunya.
Encin Carsih, warga Jatiwangi lainnya, bercerita bahwa tradisi wakare dimulai di zaman penjajahan Jepang yang terkenal bengis. Ketika Encih masih bayi, ia dibawa ibunya mengungsi. Semua harta benda dibawa termasuk rumah yang digotong ke kampung yang baru.
"Dulu waktu Jepang datang nenek masih bayi, begitu cerita dari orang tua saat itu," kata Encin Carsih yang menyebut dirinya nenek.
Nenek Encin asli kelahiran Kampung Wates 85 tahun lalu. Encin masih kuat ikut tradisi wakare sambil mengajak anak dan cucunya.
Teteng Sumardi (68 tahun) adalah salah seorang warga Kampung Wates yang bertugas menandu rumah dalam perhelatan tradisi wakare. Saat ini tradisi wakare dikelola generasi muda di Jatisura.
"Saya cuma dengar cerita ini dari mertua saya yang mengalami sejarah wakare. Anak-anak juga semua mendengar cerita sejarah dan tradisi ini dari kakek neneknya," kata Teteng.
Elis (23 tahun), mengaku mulai mengikuti tradisi gotong rumah sejak awal. Ia berharap tradisi ini dimaknai dari generasi ke generasi.
"Dari pertama ada tradisi gotong rumah saya sudah ikut. Supaya tau sejarah turun temurun yang diceritakan orang tua, orang tua saya diceritakan oleh kakek neneknya, tradisi ini harus terus berlangsung supaya cerita sejarah ini terpelihara dari generasi ke generasi, kata Elis.
Sejarah Wakare
Sejarah wakare atau tradisi gotong rumah dimulai saat invasi balatentara Jepang berlabuh di Pantai Eretan, Indramayu. Jepang harus segera membangun landasan militer untuk pesawat tempurnya, maka dipilihlan daerah di sekitar Kertajati, Majalengka.
Saat itu Kertajati masih hutan belantara, tak mungkin disulap jadi lapangan udara dalam waktu cepat. Rencana berubah, Jepang mulai menyisir daerah di perkampungan di daerah Ligung dan Dawuan. Sejak saat itu dimulailah pengusiran paksa warga-warga dari perkampungan yang akan dibuat jadi lapang udara militer. Munculah istilah wakare, karena tentara Jepang kerap mendesak warga agar segera pindah dengan menyebut kata wakare.
Tahu 1943, warga Desa Wates juga ikut pindah dengan terpaksa karena dipastikan desa mereka bakal jadi area pertempuran. Warga membawa semua harta benda termasuk menggotong rumah mereka pindah ke Dukuh Pusing, masih di Desa Jatisura. Perisitwa ini yang akhirnya dijadikan tradisi tahunan gotong rumah atau wakare, tradisi unik yang digelar beberapa hari menjelang peringatan kemerdekaan Republik Indonesia.
Tahun-tahun sebelumnnya yang digotong adalah rumah betulan. Setelah digunakan selama beberapa tahun, rumah-rumah asli tersbut rusak, ditambah bobotnya yang sangat berat, akhirnya diputuskan mulai tahun ini hanya menggunakan replika rumah yang ukurannya lebih kecil agar mudah digotong saat menempuh rute jarak yang lebih jauh.
*Foto dan Teks: Prima Mulia. Simak cerita menarik lainnya tentang Jatiwangi dan Majalengka
COMMENTS