• Foto
  • Sukahaji di Idulfitri

Sukahaji di Idulfitri

Di Sukahaji, ada ruang hidup yang sudah ditempati turun-temurun sejak puluhan tahun lalu. Ada manusia-manusia yang memiliki juga hak mereka.

Fotografer Prima Mulia6 April 2025

BandungBergerak - Sejumlah warga berjalan melewati puing-puing bangunan yang nyaris rata dengan tanah, menyisakan sedikit sisa konstruksi tembok dan serpihan-serpihan kayu di permukiman padat kawasan Sukahaji, Kecamatan Babakan Ciparay, Kota Bandung, di hari ke dua perayaan Idulfitri 1446 H, Selasa, 1 April 2025. Seorang perempuan duduk santai di depan pintu rumahnya.

"Masih suasana lebaran, ramai silaturahim keluarga ke sini," katanya.

Para tetangga juga bersantai di teras rumah mereka yang sempit. Suasana hangat obrolan warga mewarnai suasana sore di Sukahaji. Riuh tawa warga memantul di lorong-lorong gang, meski rasa cemas kehilangan tempat tinggal terus menyelinap. Di kanan-kiri mereka, tidak sedikit rumah sudah rata tanah.

"Itu yang sudah runtuh itu (milik warga) yang sudah menerima uang pengganti. Kami menolak digusur dan akan terus berjuang mempertahankan ruang hidup kami," kata salah seorang di antara mereka.

Bahkan di hari lebaran itu, sebagian warga dari empat Rukun Warga (RW) mengikuti rapat di posko. Mereka membahas langkah-langkah strategis yang perlu segera diambil untuk menghadapi klaim sepihak kepemilikan tanah dengan perintah pengosongan rumah atau lahan paling lambat 7 April 2024.

Bukan Warga Liar

Rabu, 3 April 2025, masih dalam suasana lebaran, beberapa anak muda berkumpul di pojokan rumah di ujung gang Sukahaji. Mereka melakukan konsolidasi dengan warga lain, para mahasiswa, dan komunitas-komunitas yang bersimpati dengan perjuangan warga Sukahaji melawan penggusuran.

Pagar-pagar seng menutupi sebagian area permukiman padat tak jauh dari pintu tol Pasirkoja itu. Stiker-stiker penanda menempel di sepanjang pagar dengan tulisan nama pemilik tanah. Berdiri juga plang penanda dengan tulisan pemberitahuan bahwa tanah dan bangunan sedang dalam proses gugatan yang terdaftar di pengadilan. Yang belakangan muncul: mural dan spanduk-spanduk perlawanan yang menghiasi dinding dan ruang-ruang kosong di sekujur kampung.

Warsidi Yohanes berdiri di pintu rumah sambil tersenyum ramah. Ia bercerita tentang awal mula sengketa lahan di permukiman dan pusat penjualan kayu-kayu bekas dan kayu peti kemas di Sukahaji yang luasnya sekitar 7,5 hektare itu. Dari klaim kepemilikan tanah di jongko-jongko pedagang kayu, pada 2009 klaim sepihak itu berkembang dan mulai menyasar ke permukiman.

Sejak itu beragam cara dilakukan agar warga mau menerima kompensasi dan meninggalkan rumah mereka. Tidak terkecuali, intimidasi dan paksaan oleh aparat negara dan ormas. Sebagian warga akhirnya menyetujui uang kompensasi senilai 750.000 rupiah per rumah.

"Kita sudah kenyang dengan ancaman dan intimidasi. Kami semua menolak ! Masa disuruh nandatangani kertas kosong lalu diberi uang 750 ribu rupiah ? Bukan masalah kompensasinya, tapi mereka itu nggak punya bukti kepemilikan tanah. Kita itu nggak sulit kerja sama kalau legal," ucap Warsidi yang mendaku seorang veteran perang dan mantan anggota Paskhas TNI AU.

Menurut Warsidi, yang bergabung dalam Forum Warga Sukahaji Melawan, dari klaim kepemilikan 83 sertifikat kepemilikan tanah oleh Junus Jen Suherman dan Juliana Kusnandar, hanya 11 di antaranya yang diperlihatkan ke warga. Warga secara swadaya membandingkan dokumen-dokumen tanah tersebut dengan sertifikat tanah milik mereka dan tidak menemukan kecocokan.

“Jadi sertifikat yang mereka punya lokasinya ada di Jamika dan Pagarsih. Petugas BPN yang datang waktu itu juga memastikan bahwa sertifikat yang dibawa Junus dan Juliana itu lokasinya ada di Jamika dan Pagarsih, bukan di Sukahaji," jelas Warsidi.

Sedikit ke sisi timur kampung, terdapat sebuah lapang bermain anak yang dikelilingi reruntuhan pagar dan seng yang sudah roboh. Di sisinya ada bangunan bekas TPS (Tempat Pemungutan Suara) yang digunakan dalam pemilihan kepala daerah dan Pilpres tahun lalu.

"Kita ini kan bukan warga liar. (Kita) Punya hak suara saat pemilihan umum kemarin, tapi sejak ada konflik lahan di sini, nggak ada pemimpin daerah yang ke sini. Nggak ada perhatian sama sekali. Waktu mereka (pihak perusahaan yang mengklaim kepemilikan) pasang pagar-pagar pembatas klaim tanah itu kan dikawal aparat keamanan negara, dan pemasangan pagar itu juga nggak ada surat dari pengadilan," tutur Warsidi.

BandungBergerak pernah mencoba menghubungi kuasa hukum Junus Jen dan Juliana Kusnandar yang beralamat di Surabaya pada 18 Maret 2024 lalu, tetapi tak berbalas.

Baca Juga: Warga Sukahaji Menolak Penggusuran, Mempertahankan Ruang Hidup Selama Berpuluh-puluh Tahun
Warga Sukahaji Berhak Mendapatkan Perlindungan Hukum dari Polisi, Bukannya Intimidasi

Negara Absen

Belakangan suara perlawanan dalam kasus sengketa lahan Sukahaji semakin kencang terdengar di media-media sosial, terutama akun Instagram @sukahajimelawan. Orang-orang muda dan mahasiswa ada di belakangnya.

Dukungan dari berbagai komunitas dan kelompok warga lain juga berdatangan. Salah satunya dari warga Dago Elos. Dago Elos dan Sukahaji memiliki latar permasalahan yang sama, yaitu ancaman penggusuran lahan oleh pihak swasta atau ahli waris dengan bukti kepemilikan lemah, dengan tangan-tangan aparat negara yang terlibat di sana.

Sekali lagi, negara absen dalam konflik agraria di lokasi-lokasi strategis. Negara lupa di sana ada perkampungan yang dihuni ribuan jiwa. Ada ruang hidup yang sudah ditempati turun-temurun sejak puluhan tahun lalu. Ada manusia-manusia yang memiliki juga hak mereka. Lebaran di Sukahaji tahun ini jangan jadi yang terakhir.

 

*Foto dan teks: Prima Mulia

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//