Ruang-ruang Kelas Peninggalan Dewi Sartika
Dewi Sartika, tokoh pendidikan yang gigih memperjuangkan kesetaraan perempuan. Peninggalannya masih bisa ditemukan hingga kini, yaitu SD dan SMP Dewi Sartika.
Dewi Sartika, tokoh pendidikan yang gigih memperjuangkan kesetaraan perempuan. Peninggalannya masih bisa ditemukan hingga kini, yaitu SD dan SMP Dewi Sartika.
BandungBergerak.id - Kekhusyukan para pelajar putri yang menimba ilmu di Sakola Istri di bawah bimbingan Raden Dewi Sartika pada tahun 1905, sedikit terbayang saat berada di ruangan sejuk dengan langit-langit tinggi dan jendela ram kawat SMP Dewi Sartika, Jalan Kautamaan Istri, Bandung, Kamis (13/1/2022).
Di masa itu, Dewi Sartika memberikan pelajaran kepada pribumi perempuan bersama dua kawan seperjuangannya, Nyi Oewit dan Nyi Purwa. Mata pelajaran yang diberikan meliputi baca tulis, berhitung, bahasa Melayu dan Belanda, tata krama, kesehatan, membatik, bahkan table manner dan lain-lain.
Praktik tersebut terasa lazim di masa kini, tetapi dipandang ganjil di masa lalu ketika zaman masih dikuasi duet maut feodalisme dan kolonialisme, ketika para istri terkungkung adat dan kuasa laki-laki.
Sakola Istri Dewi Sartika resmi berdiri 16 Januari 1904 di Pendopo Wali Kota Bandung. Setahun berikutnya, 1905, Dewi Sartika membangun gedung sekolah di tempat yang kini dikenal SD dan SMP Dewi Sartika.
Sampai sekarang SD dan SMP Dewi Sartika tetap diwarnai riuh anak sekolah di ruangan yang tak berubah nuansanya. Ketika BandungBergerak.id berkunjung, ada 17 pelajar SMP Dewi Sartika, khususnya perempuan, antusias saat mengikuti pelajaran tatap muka secara penuh setelah hampir 2 tahun mereka terpaksa "dirumahkan" dan hanya mengikuti pelajaran secara online akibat pandemi Covid-19.
Ruang kelasnya masih sama dengan kelas di tahun 1905, bedanya lantai ruang kelas sekarang sudah menggunakan keramik, meja kursi sudah ganti dengan yang baru, kecuali di 1 kelas masih mempertahankan meja kursi yang sama seperti 118 tahun lalu, walau itu cuma replika karena yang asli sudah rusak dimakan zaman.
Memperjuangkan Keadilan Gender
Sulit menemukan artefak-artefak lain peninggalan era Dewi Sartika. Hanya bangunan sekolah yang masih utuh dan jadi saksi bisu perjuangan Dewi Sartika kala melawan supremasi kaum pria, khususnya para menak atau bangsawan yang sangat menentang ide pembukaan Sakola Istri.
Beruntung gagasan Dewi Sartika didukung oleh Bupati Bandung saat itu, Raden Aria Adipati Martanegara dan Inspektur Pengajaran Wilayah Kabupaten Bandung, Cornelis Den Hammer. Seperti telah disinggung, awalnya Dewi Sartika mendirikan Sakola Istri di Paseban Wetan Pendopo Bupati Bandung (kini Pendopo Wali Kota Bandung). Lokasinya saat ini kira-kira di taman sebelah barat pendopo.
Sekolah yang khusus yang dibentuk untuk kemajuan kaum perempuan ini dimulai dengan jumlah siswi sebanyak 60 orang (versi lain menyebut 20 orang), terdiri dari kerabat sesama bangsawan, anak-anak abdi dalem, dan rakyat jelata.
Dewi Sartika juga sempat belajar membatik pada RA Kardinah (adik kandung RA Kartini). Ilmu membatik ini kemudian menjadi salah satu materi keterampilan di Sakola Istri.
Saat Hindia Belanda takluk oleh Jepang, sekolah ini ikut dibekukan. Dewi Sartika menolak mengubah kurikulum sekolah jadi versi Jepang. Setelah Jepang hengkang, Indonesia memproklamasikan kemerdekaanya tahun 1945. Kegiatan sekolah masih beku, ditambah dengan meletusnya peristiwa Bandung Lautan Api 1946. Baru pada tahun 1951, Yayasan Raden Dewi Sartika menghidupkan kembali sekolah ini sampai sekarang.
SMP Dewi Sartika saat ini memiliki 153 siswa dan SD terdiri dari 60-an siswa. Jumlah siswa terus menurun dari tahun ke tahun, apalagi saat pandemi Covid-19 menjangkit di seluruh dunia. Sebelumnya, sekolah sempat memiliki siswa sebanyak 600 orang.
"Sepertinya bukan masalah biaya, SPP disini padahal tergolong sangat terjangkau, Yayasan Dewi Sartika Bandung tetap berkomitmen untuk mengakomodir hak-hak pendidikan bagi warga dari golongan menengah ke bawah, namun faktanya jumlah murid terus menurun apalagi sangat terasa setelah Covid-19 mewabah dari tahun 2020 sampai sepanjang 2021," kata Kepala Sekolah SMP Dewi Sartika Ati Kurniasih (59 tahun).
Sekolah Dewi Sartika saat ini tetap mempertahankan pendidikan khusus bagi pelajar perempuan. Materi kepandaian untuk kaum perempuan ini diajarkan di lab khusus keputrian, seperti menjahit, memasak, dan membuat produk kerajinan.
Bangunan utama berupa kelas-kelas dengan jendela ram kawat ini tak boleh diubah. SD dan SMP Dewi Sartika adalah bangunan Cagar Budaya yang dilindungi undang-undang dan Perda Kota Bandung nomor 7 tahun 2018 tentang Pengelolaan Cagar Budaya.
Nama sekolah berkali-kali diganti sesuai zamannya. Awal berdiri bernama Sakola Istri, lalu pada tahun 1910 diganti jadi Sakola Kautamaan Istri. Tahun 1929 dirubah jadi Sakola Raden Dewi. Tahun 1951 nama sekolah berubah jadi Sekolah Guru Bawah, Sekolah Kepandaian Puteri (1961), Sekolah Kejuruan Kepandaian Puteri (1963), dan saat ini jadi SD dan SMP Dewi Sartika.
Bakat Dewi Sartika sebagai motor perubahan sudah terlihat sejak anak-anak. Ia mengajar kawan dan kerabat sebayanya baca tulis bermodalkan arang kayu dan papan-papan bekas sebagai papan tulisnya.
Andrias Arifin dalam resensi buku Kautamaan Istri: Buku Alit Pedoman Moral Karya Dewi Sartika yang ditulis Dewi Sartika (Penerjemah: Chye Retty Isnendes & Nugraha Soekari, Penerbit: Situseni, Bandung, 2020), menuturkan sebelum mendirikan sekolah di Bandung, Dewi Sartika tinggal di Afdeeling Cicalengka.
Di sana ia melakukan ‘tugas mulia’ untuk mengentaskan buta aksara sambil bermain bersama anak-anak pembantu, anak tukang kusir, anak tukang kebun, dan anak pelayan lainnya lewat tindakan yang sederhana: bermain sekolah-sekolahan.
“Di sebuah gudang tempat menyimpan kereta kuda, dengan memanfaatkan papan, genting dan arang sebagai alat-alat tulisnya, Dewi Sartika mulai mengajarkan aksara dan membaca,” demikian Andrias Arifin.
Menurut Andrias, tindakan Dewi Sartika bermain sekolah-sekolahan ini sempat membuat para menak terkejut. Mereka mendapati anak-anak para abdi dalem yang umumnya jadi kelas rendahan dalam stratifikasi golongan feodal, ternyata juga bisa membaca dan menulis, bahkan mampu mengucapkan kalimat-kalimat dalam bahasa Belanda. Sesuatu yang tidak lazim dan mengejutkan pada zaman itu.
Sepak terjang Dewi Sartika dalam membangun keadilan gender melalui pendidikan membuat pemerintah Hindia Belanda menganugerahinya medali emas kehormatan Ordo van Oranje Nassau. Medali ini juga sebagai ganjaran bagi Dewi Sartika yang menulis buku De Inlandsche Vrouw (Wanita Bumiputera). Di buku ini, Dewi Sartika menenkankan pentingnya pendidikan bagi wanita-wanita pribumi dan persamaan hak antara pria dan wanita.
Dewi Sartika berhasil mengembangkan Sakola Istri hingga ke luar Bandung, pergerakannya menjalar ke Tasikmalaya (1913), Padang Panjang (1915), Sumedang (1916), Cianjur (1916), Ciiamis (1917), Cicurug (1918), Kuningan (1922), Sukabumi (1926). Pendiri sekolah wanita pertama di Hindia Belanda ini wafat 11 September 1947 di Cineam, Tasikmalaya. Tahun 1951 makamnya dipindahkan ke komplek permakaman Bupati Bandung di Jalan Karanganyar, Kota Bandung, di antara makam para leluhurnya.
Teks dan Foto: Prima Mulia
COMMENTS