• Foto
  • Memulihkan Jiwa Anak dari Rundungan Pagebluk

Memulihkan Jiwa Anak dari Rundungan Pagebluk

Anak-anak hidup dalam suasana tidak normal pagebluk, minim bersosialisasi dan lebih sering bermain gawai. Kunjungan ke klinik kesehatan jiwa pun meningkat.

Fotografer Prima Mulia5 Maret 2022

BandungBergerak.idDua kepalan tangan beradu sebagai tanda semangat. Satu tangan milik Dika dan satu lagi milik seorang terapis. Hari itu, Jumat (4/3/2022), Dika, bocah 10 tahun yang awalnya sulit berkomunikasi dan bersosialisasi, baru saja menjalani sesi terapi di klinik kesehatan jiwa anak dan remaja di Bandung.

Kini Dika lebih cerewet dan tak malu lagi bercakap dengan orang yang baru dikenalnya seperti saya, buah dari disiplin terapi yang dijalani di klinik maupun di rumah bersama orang tuanya. Selama pagebluk Covid-19 yang dua tahun melanda, banyak anak atau remaja yang menjalani terapi seperti Dika.

Terapi dilakukan dengan cara bercakap-cakap. Tidak asal ngobrol, ada metode tertentu, sekaligus untuk melatih kemampuan dan keberanian anak-anak untuk mengemukakan apa yang ada di pikirannya secara verbal.

Dalam satu sesi, terapi dilakukan melalui permainan yang memakai alat bantu. Ini yang paling ditunggu anak-anak. Kemampuan menulis dan menggambar mengakhiri sesi ini. Terapis kembali berkomunikasi dengan anak-anak sambil mengantar mereka kembali ke orang tuanya di ruang tunggu.

Fitria (45 tahun,) optimis dengan perkembangan Dika saat ini. Dika merupakan murid di sebuah SLB yang tidak mungkin bisa mengikuti pelajaran daring selama pandemi Covid-19. Menurut Fitria, anak berkebutuhan khusus seperti Dika memerlukan pembelajaran tatap muka.

"Semoga pandemi ini cepat berakhir," katanya.

Ibu dan anak itu berjalan meninggalkan klinik, menembus hawa dingin kaki Gunung Burangrang untuk kembali ke rumahnya di wilayah Kota Bandung yang berjarak hampir 20 kilometer dari klinik. Ia dan anaknya akan kembali terapi pekan depan.

Di ruang tunggu Klinik Keswara, Faza, remaja 15 tahun yang duduk di kelas 9 SMP, lebih terbuka saat bercakap-cakap. Saya sulit tidur dan mood atau emosi saya sering naik turun selama pandemi Covid-19.

“Saya kesulitan saat harus sekolah secara daring, hilang kontak dengan teman-teman (maksudnya secara fisik), saya tidak suka bercakap melalui media sosial, inginnya bertemu dengan teman-teman di sekolah," ujara Faza.

Rima (44 tahun) membenarkan apa yang dikatakan anaknya yang sangat terpengaruh Covid-19. Makanya ia membawanya ke klinik. Saat pendidikan tatap muka dimulai lagi, semua keluhan anaknya sempat hilang. Faza bisa kembali bertemu dengan teman-temannya di sekolah. Namun saat sekolah kembali daring, Faza kembali dengan gejala-gejala klinis tadi.

"Setelah beberapa kali konseling dan terapi, Faza mulai bisa mengatasi sulit tidur dan lebih bisa mengatur emosinya saat PPKM kembali diberlakukan," tuturnya.

Saya berkesempatan datang beberapa kali pada bulan Maret 2021 dan menjelang akhir tahun 2021 ke fasilitas Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Provinsi Jawa Barat di klinik Keswara, Cisarua dan klinik di Jalan RE Martadinata, Kota Bandung. Pada Maret 2022 saya kembali menyambangi Klinik Keswara di Cisarua.

Ada peningkatan intensitas penanganan kesehatan jiwa anak dan remaja sebagai dampak dari 2 tahun pandemi Covid-19 di Indonesia, khususnya di Bandung, di mana efek pembatasan berbagai kegiatan sosial pada anak-anak berakibat pada banyaknya anak dan remaja yang mengalami gangguan perkembangan karena kurangnya komunikasi dan pergaulan secara sosial, setelah sekolah tutup dan pergaulan di lingkungan permukiman juga dibatasi.

Kondisi mental dan emosi anak-anak serta remaja juga diperburuk dengan penggunaan gadget yang berlebihan tanpa ada pengawasan dari orang tua.

Rata-rata sekitar 12 pasien anak dan remaja melakukan terapi dan konseling di klinik Keswara setiap hari dari Senin sampai Jumat. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya. Khusus di segmen remaja, faktor ini bukan melulu karena pandemi saja, namun tampaknya kesadaran anak-anak remaja untuk berani memeriksa kesehatan jiwanya lebih tinggi saat ini. Mereka berani dan tak lagi malu untuk berkonsultasi dengan psikiater. Para remaja ini berani menghapus stigma bahwa berobat ke rumah sakit jiwa adalah aib.

Di tingkat masyarakat di skala permukiman, kesehatan jiwa juga dianggap sesuatu yang sangat penting terlebih selama masa pandemi. Sadar dengan pengaruh buruk penggunaan gadget secara berlebihan di masa pandemi pernah menggugah warga Cicadas, tepatnya di Kampung Wargaluyu, Kelurahan Cikutra, Kota Bandung. Pengurus RT setempat membuat mural permainan anak seperti ular tangga, sondah dengan gambar-gambar karakter tokoh kartun, dan gambar-gambar 3 dimensi, di sepanjang gang permukiman.

"Untuk membuat anak-anak lepas dari gawai setelah mereka sekolah daring. Jadi bermain di luar dengan teman-temannya, jangan lagi main handphone, dengar-dengar banyak anak keecanduan handphone selama pandemi," kata seorang warga.

Mural ini dibuat Maret 2021 saat awal-awal ancaman serangan gelombang ke 2 Covid-10 varian delta yang mematikan. Sayangnya, saat ini mural-mural permainan tersebut nyaris hilang dan dilupakan. Tak ada lagi anak-anak bermain di sana.

Penggunaan gadget secara berlebihan pada anak jadi faktor yang memperberat kondisi pertumbuhan dan perkembangan anak-anak usia di bawah 10 tahun. Anak-anak remaja antara 12-18 tahun lebih banyak menghadapi tekanan psikologi di masa pandemi karena terkurung di rumah. Dampaknya pada kondisi mental dan emosi yang mudah naik turun.

Lina Budianti, dokter di Klinik Keswara RSJ Provinsi Jawa Barat di Cisarua, menekankan betapa pentingnya kehadiran dan pengawasan orang tua pada anak dan remaja.

"Interaksi dua arah dengan orang tua itu penting sekali. Kehadiran orang tua secara fisik di tengah anak-anaknya sangat krusial, jadi jangan sibuk masing-masing dengan gadget-nya. Atau orang tua sibuk sampai jarang sekali bertemu dan berkomukasi dengan anak dalam keseharian mereka. Harus konsisten saat berobat ke klinik, karena gangguan kejiwaan pada remaja atau gangguan perkembangan pada anak bisa sembuh," paparnya.

Menurut Lina, kunci untuk menjaga kesehatan mental pada anak dan remaja, termasuk di masa pandemi, adalah dengan intens berkomunikasi dan bersosialisasi dengan orang tua. Kehadiran orang tua secara fisik adalah yang dibutuhkan anak-anak dan remaja yang sedang tumbuh dan berkembang. Peran orang tua juga harus ada dalam mengawasi dan mengoptimalkan peran mereka untuk mengawasi penggunaan internet. Anak-anak tidak bisa dibiarkan menerima arus informasi tanpa batas melalui internet. Mutlak harus ada pengawasan dan bimbingan dari orang tua.

Teks dan Foto: Prima Mulia

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//