• Kampus
  • Mahasiswa UPI Kembangkan Herbal Aroma Terapi yang Diklaim untuk Mencegah Bakteri dan Virus

Mahasiswa UPI Kembangkan Herbal Aroma Terapi yang Diklaim untuk Mencegah Bakteri dan Virus

Herbal buatan mahasiswa UPI ini terinspirasi pandemi Covid-19. Sementara pakar dari IPB mengungkap, pandemi mendorong penjualan jamu di Indonesia meningkat.

Tim mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mengembangkan herbal aroma terapi yang diklaim mampu mencegah virus dan bakteri penyakit. (Dok. UPI, 2021)

Penulis Iman Herdiana16 Agustus 2021


BandungBergerak.idTim mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, mengembangkan herbal aroma terapi yang diklaim mampu mencegah virus dan bakteri penyakit. Inovasi ini diramu dari herbal yang tumbuh di nusantara.

Herbal bernama Diffutherapy ini berupa cairan diffuser yang mengandung citronella, lemongrass, dan cengkeh, sebagaimana dikutip dari lama resmi UPI, Senin (16/8/2021). Dijelaskan bahwa citronella (sereh wangi) dan lemongrass (sereh dapur) memiliki manfaat dapat mengusir serangga, mengatasi kerusakan akibat radikal bebas pada kulit, anti virus dan bakteri, anti jamur alami, mengurangi inflamasi pada kulit, merelaksasi, membantu masalah pernapasan, dan mengurangi pegal otot.

Keistimewaan lain yang diklaim ada pada Diffutherapy adalah sifat cairannya yang memiliki antiseptik, anestesi, aromatik, dan astringen. Diffutherapy juga tak hanya digunakan sebagai aromatherapy untuk diffuser, melainkan dapat digunakan sebagai disinfektan dengan aroma menyegarkan.

Sedangkan cengkih memiliki komponen aktif minyak eugenol yang dapat melawan vurus dan bakteri, serta jamur. Minyak ini juga memiliki sifat antiseptik, anestesi, aromatik, dan astringen. Dalam aroma terapi, minyak cengkeh digunakan sebagai antiseptik, anti bakteri, sehingga dianggap cocok untuk kebutuhan kesehatan masyarakat khususnya pada masa pandemi Covid-19 ini.

Produk tersebut dikembangkan oleh lima orang dari Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial terdiri dari Joenathan Damarmaya R., Alfin Hendrawan, Frida Puspita, Virgyo Amor Dea N., dan Wahyu Andri P, serta dosen pembimbing yaitu Ghoitsa Rahmah Nurazizah

Ghoitsa Rahmah Nurazizah menjelaskan pembuatan Diffutherapy terinspirasi situasi pandemi Covid-19 saat ini. “Di mana masyarakat membutuhkan perlindungan kesehatan secara optimal dari biasanya,” kata Ghoitsa Rahmah Nurazizah.

Pengembangan produk dilatarbelakangi situasi pandemi Covid-19 di Indonesia tak kunjung usai. Meski mereka bukan mahasiswa berlatar sains, namun bahan-bahan yang mereka pakai telah banyak diriset oleh peneliti-peneliti sebelumnya sebagai bahan terapi.

Diffutherapy  diharapkan menjadi solusi bagi banyak orang yang stres selama mengalami masa pandemi Covid-19. Herbal ini dinyatakan bisa memberikan higenitas yang signifikan. Herbal dikembangkan ke dalam beberapa varian yang sama-sama memberikan aroma nyaman, rileks, dan memiliki sifat antibakteri.

Varian pertama, yaitu Clove Bud berbahan dasar cengkih, dan varian kedua campuran dari citronella (sereh wangi) dan lemongrass (sereh dapur). Pengembangan Diffutherapy ini berhasil mendapatkan sokonga pendanaan riset dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) dalam ajang Pekan Kreativitas Mahasiswa bidang Kewirausahaan Tahun 2021.

Baca Juga: UIN SGD Kenalkan Payung-payung Hukum tentang Pengajuan Hak Paten
Jutaan Lembar Sampah Plastik Cemari Laut Indonesia

Pemanfaatan Jamu di Masa Pandemi

Indonesia kaya akan tumbuhan herbal. Tak heran jika negeri ini memiliki produk tradisional yang dinamakan jamu. Dwi Ranny Pertiwi Zarman, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Jamu, mengatakan setidaknya ada 400 suku bangsa di Indonesia yang memanfaatkan tumbuhan sebagai obat atau jamu. Pemanfaatan jamu kemudian didorong pandemi di mana orang diajak untuk kembali menggunakan produk-produk alami.

“Karena trend saat ini back to nature dan pandemi (momen), akhirnya banyak orang sekarang lebih peduli dengan kesehatannya dan juga lebih memilih minum jamu,” jelas Dwi Ranny Pertiwi Zarman, dalam webinar yang digelar Pusat Studi Biofarmaka Tropis (TropBRC), Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB University.

Pandemi Covid-19 memiliki dampak negatif dan positif yang luas terhadap industri jamu. Menurut Dwi, dampak positifnya antara lain tren saat ini banyak masyarakat yang mulai mengonsumsi jamu. Hal ini berdampak pada meningkatnya penjualan jamu, khususnya jamu siap minum. Di sisi lain, dampak negatifnya adalah maraknya penjual jamu baru yang mengabaikan tata cara pembuatan jamu yang benar sehingga kualitasnya kurang baik.

Tintin Sarianti, SP, MM, Wakil Ketua Program Bisnis dan Kerjasama TropBRC sekaligus dosen Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB University, mengatakan dari sisi data, antusiasme atau sentimen pasar yang baik terhadap jamu kemasan tidak diragukan lagi tinggi.

“Dengan hadirnya jamu dalam kemasan, dari anak-anak hingga orang tua yang gemar minum jamu tidak akan merasa repot. Hal ini menjadikan bisnis jamu sebagai peluang bisnis yang menguntungkan,” ujarnya.

Ia mengatakan industri jamu dalam negeri berpeluang berkembang lebih jauh lagi karena didukung melimpahnya bahan baku. Terdapat lebih dari 30.000 varietas yang tergolong tanaman obat dan berkhasiat, yang dapat dimanfaatkan lebih lanjut dalam berbagai formulasi dan varian produk herbal. Seperti jahe merah, kunyit, jahe, daun jati belanda, brotowali, kelor, cabai jawa, daun wungu, dan lain-lain.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//