• Kampus
  • Memberantas Penyakit DBD dengan Nyamuk

Memberantas Penyakit DBD dengan Nyamuk

Bakteri wolbachia dapat mengeblok replikasi virus dengue pada nyamuk DBD agar tidak menularkan virus dengue kepada manusia yang digigitnya.

Puskesmas Dago, Bandung, Kamis (11/8/2020). Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana21 September 2021


BandungBergerak.idPara ilmuwan terus berlomba dengan penyebaran penyakit. Di ranah penelitian penyakit DBD (demam berdarah dengue), mereka selangkah lebih maju lewat penelitian teknologi wolbachia, sebuah inovasi rekayasa genetik nyamuk yang mampu membendung penyakit DBD.

Wolbachia merupakan bakteri yang hidup secara alami di tubuh serangga. Bakteri ini dapat mengeblok replikasi virus dengue pada nyamuk DBD agar tidak menularkan virus dengue kepada manusia yang digigitnya.

Penelitian nyamuk Wolbachia dilakukan para peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM) yang dipimpin Adi Utarini, Guru Besar FKKMK UGM. Berkat penelitian yang dilakukan sejak 2011 itu, Adi Utarini masuk daftar 100 orang berpengaruh di dunia tahun 2021 versi majalah TIME yang dirilis pada Rabu, 15 September 2021.

Profesor yang akrab disapa Uut ini masuk kategori pionir karena memimpin penelitian teknologi wolbachia untuk pengendalian dengue di Yogyakarta bersama World Mosquito Program (WMP) Yogyakarta (sebelumnya bernama Eliminasi Dengue Project  - EDP).

WMP Yogyakarta merupakan kolaborasi antara FK-KMK UGM, Monash University dan Yayasan Tahija. Teknologi wolbachia sendiri ditemukan oleh Founder dan Direktur WMP Global, Scott O'Neill pada 2008.

WMP yang diinisiasi oleh Monash University ini merupakan lembaga nonprofit yang hadir dengan tujuan melindungi komunitas global dari penyakit yang ditularkan oleh nyamuk. Secara garis besar kewilayahan, WMP beroperasi di 11 negara termasuk Indonesia.

“Ini merupakan berkah dari Allah SWT bagi tim penelitian kami di World Mosquito Program Yogyakarta. Ini adalah apresiasi bagi peneliti-peneliti dan seluruh tim yang telah terlibat dalam penelitian, juga mitra kami yaitu Monash University, World Mosquito Program Global, dan Yayasan Tahija sebagai lembaga filantropi yang mendukung penuh penelitian ini,” tutur Uut, mengutip laman resmi UGM, Selasa (21/9/2021).

Ia juga mengapresiasi masyarakat Yogyakarta yang telah sangat terbuka dengan inovasi, dan pemerintah daerah Yogyakarta yang mendukung penelitiannya. Penelitian ini diharapkan bermanfaat lebih luas lagi dalam mengurangi beban masyarakat karena virus dengue.

Riris Andono Ahmad, dokter yang juga peneliti Pendamping WMP Yogyakarta dan Direktur Pusat Kedokteran Tropis FKKMK UGM, menyampaikan bahwa riset pengembangan teknologi wolbachia diawali dengan fase awal penelitian, yaitu dilakukan untuk memastikan keamanan Wolbachia, dilanjutkan dengan pelepasan di area terbatas.

Pada 2017, uji efikasi wolbachia dengan metode Randomised Controlled Trial dilakukan di Kota Yogyakarta dengan membagi wilayah Yogyakarta menjadi 24 kluster, dengan 12 kluster mendapatkan intervensi wolbachia, dan 12 kluster lainnya menjadi area pembanding.

“Hasil uji efikasi wolbachia ini menunjukkan hasil yang menggembirakan, yaitu Wolbachia efektif menurunkan 77 persen kasus dengue, dan menurunkan 86 persen kasus dengue yang dirawat di rumah sakit,” papar Riris.

Warsito Tantowijoyo, Entomology Team Leader WMP Yogyakarta, menyoroti tentang aspek keamanan Wolbachia. Wolbachia merupakan bakteri alami yang terdapat pada 60 persen serangga, dan hanya hidup di dalam serangga.

“Wolbachia dalam Aedes aegypti bekerja dengan menghambat perkembangan virus dengue di dalam tubuh nyamuk sehingga saat nyamuk menggigit manusia, tidak terjadi transmisi virus dengue,” terang Warsito.

Untuk mengaplikasikan teknologi Wolbachia lebih lanjut, pada tahun 2021 ini , WMP Yogyakarta bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Sleman melalui Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman. Selanjutnya, di tahun 2022 akan menerapkan teknologi ini di Kabupaten Bantul.

UGM berharap selanjutnya Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dapat mulai mengadopsi teknologi wolbachia ini sebagai salah satu strategi nasional dalam pengendalian berdarah dan berharap penelitian WMP Yogyakarta ini dapat menginspirasi para peneliti di Indonesia untuk semakin giat melakukan penelitian yang dapat menjawab tantangan-tan bangsa dan dunia.

Baca Juga: Covid-19 Diprediksi Menjadi Penyakit Endemik seperti Malaria
DATA BICARA: Mewaspadai Hipertensi sebagai Penyakit Penyerta atau Komorbid Covid-19 Paling Mematikan
Pasien Penyakit Non-Covid-19 Diharap Tidak Takut Berobat ke Rumah Sakit

Bikin Nyamuk Lemah

Nyamuk yang membawa bakteri wolbachia akan menurunkan bakteri tersebut kepada generasi berikutnya lewat perkawinan. Jika nyamuk betina ber-wolbachia kawin dengan nyamuk jantan tidak ber-wolbachia, maka seluruh telurnya akan ber-wolbachia.

Jika nyamuk jantan ber-wolbachia kawin dengan nyamuk betina tanpa wolbachia, telurnya tidak akan menetas. Kalaupun kedua jenis kelamin nyamuk ber-wolbachia, keturunannya juga akan ber-wolbachia.

Mengutip eliminatedengue.com, Riris Andono Ahmad menyebut, ada sekitar 60-70 persen serangga memiliki wolbachia, tetapi di nyamuk Aedes aegypti tidak. Maka untuk membuat Aedes aegypti memiliki bakteri wolbachia, dilakukanlah penelitian teknologi wolbachia tersebut yang dimulai sejak 2011.

Peneliti memulai dengan tahapan visibilitas penilaian komprehensif (asesmen) teknologi, keamanan, dan implementasi. Pada 2014, dilakukan pelepasan nyamuk pertama masing-masing dua pedukuhan di Sleman dan Bantul.

Hasil pelepasan nyamuk selama enam bulan, sekarang di daerah itu mayoritas nyamuknya ber-wolbachia. Persentasenya mencapai 80-90 persen nyamuk ber-wolbachia. Setelah itu, pada 2016 dan 2017, nyamuk berwolbachia juga dirilis di beberapa tempat di Kota Yogyakarta. Hasil pengamatan di seluruh Kota Yogyakarta lewat 500 perangkap nyamuk yang disebar, populasi nyamuk ber-wolbachia sekitar 80 persen – 90 persen.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//