Roman Sunda Siti Rayati, Bacaan Liar Versi Kolonial
Di luar Balai Pustaka, muncul penerbitan-penerbitan independen yang mencetak bacaan-bacaan bagi rakyat. Karya ini kemudian dicap sebagai bacaan liar oleh Belanda.
Penulis Iman Herdiana27 September 2021
BandungBergerak.id - Pada tahun 1920-an, pemerintah kolonial Belanda menggulirkan kebijakan politik etis yang membuka keran bacaan bagi rakyat atau pribumi. Sadar bahwa bacaan akan membangkitkan perlawanan rakyat, maka Belanda melakukan sensor ketat pada penerbitan dengan mendirikan Balai Pustaka. Hanya bacaan tertentu saja yang boleh diterbitkan Balai Pustaka.
Tetapi Belanda lupa, semakin disensor maka kian kuatlah semangat perlawanan. Di luar penerbitan Balai Pustaka, muncul penerbitan-penerbitan independen yang mencetak bacaan-bacaan bagi rakyat. Karya di luar penerbitan Balai Pustaka ini kemudian dicap sebagai bacaan liar oleh Belanda.
Salah satu bacaan liar tersebut adalah roman Siti Rayati karya tokoh Sarekat Islam (SI) Merah Moh. Sanoesi. Roman ini mengilhami Neneng Yanti Khozanatu Lahpan melakukan penelitian untuk tesisnya yang berjudul Roman Sunda Antikolonial: Resistensi Pribumi terhadap Kolonialisme dalam Siti Rayati (1923-1927) Karya Moh. Sanoesi. Akhir 2020 lalu, tesis ini terbit sebagai buku.
“Dulu roman sejenis Siti Rayati kategorinya bacaan liar, sebutan untuk karya yang diterbitkan di luar Balai Pustaka,” kata Neneng Yanti Khozanatu Lahpan, dalam diskusi buku virtual Roman Sunda Antikolonial yang diunggah di laman Youtube oleh Hafidz Azhar, Sabtu (25/9/2021).
Bacaan yang boleh diterbitkan Balai Pustaka, antara lain, Siti Nurbaya, Salah Asuhan, dan lain-lain, itu pun setelah mengalami pemeriksaan isi sebelumya. Tapi di kalangan aktivis pergerakan, politik etis dimanfaatkan untuk melakukan penerbitan karya yang menyuarakan ideologi mereka tanpa harus melalui Balai Pustaka.
Neneng yang juga juga dosen di ISBI Bandung, mengatakan ciri bacaan yang dikategorikan liar oleh pemerintah Belanda adalah panjang karya yang cenderung pendek. Roman Siti Rayati yang ditulis Moh Sanoesi terdiri dari tiga jilid, tapi total halamannya terdiri dari 45 lembar saja.
Dari segi isi, menurut Neneng, sastra perlawanan era kolonial tersebut sangat realis dan menggunakan bahasa sehari-hari yang biasa dipakai rakyat umumnya. Berbeda dengan karya-karya terbitan Balai Pustaka yang sangat memerhatikan standar bahasa, sehingga hanya kalangan terdidik saja yang memahaminya.
“Karya-karya yang diterbitkan Balai Putaka seleksinya ketat. Misalnya, Salah Asuhan konon ada bagian yang diedit karena dianggap ada bagian yang tidak mendidik. Bahasa Balai Pustaka harus memenuhi standar bahasa tertentu. Itu salah satu cara untuk menekan membangkitkan kesadaran melawan penjajahan melalui bacaan,” papar Neneng.
Cap sebagai bacaan liar, roman Siti Rayati tak mudah ditemukan hingga kini. Neneng pun cukup kesulitan melakukan riset awal bagi tesis yang ditulis hampir 20 tahun lalu itu. Ia mulai melakukan riset pada 2000-an dan mengenal sastra pascakolonial Sunda melalui sebuah forum ilmiah yang digelar indonesianis Australia. Forum ini menjadi pengantarnya untuk mendapatkan tiga jilid roman Siti Royati. Era 2000-an itu, perkembangan internet belum semaju sekarang.
“Karya non-Balai Pustaka dianggap kurang berkualitas, pertama karena marginal sebagai karya. Ketika dilarang, semakin sulit akses kita pada karya itu,” katanya.
Ciri lain dari bacaan liar versi Belanda ialah memuat konteks yang dialami penulisnya. Moh Sanoesi adalah tokoh SI Merah yang karena perlawanannya dibuang ke Digoel. Konteks yang ia alami selama masa perlawanan masuk ke dalam karya-karya yang ditulisnya.
Baca Juga: Membaca Siti Rayati dengan Semangat Zamannya
BUKU BANDUNG (2): Angin Bandung Menyanyikan Tuhan
MEMORABILIA BUKU (11): Kenangan Toko Buku Djawa
Perlawanan Perempuan
Pembahas bedah buku Roman Sunda Antikolonial lainnya, Nurul Maria Sisilia sekaligus tuan rumah pegiat Rumah Baca Kali Atas, Cicalengka, menuturkan ada dua tokoh perempuan yang dibahas dalam penelitian Neneng terhadap roman Siti Rayati, yakni perempuan yang terjajah dan perempuan yang melawan.
Siti Rayati merupakan perempuan yang melawan feodalisme dan penjajahan kolonial Belanda. Ia dibesarkan bupati, hidup di lingkungan priyayi, mengenyam pendidikan barat, tetapi kemudian menemukan kesadaran untuk melawan penjajahan dan membela rakyat yang tertindas.
“Siti Rayati seakan memiliki dua kubu dalam dirinya. Ada pribumi, ada Belanda. Ada terjajah dan penjajah. Tapi ternyata Rayati memilih untuk membela rakyatnya. Ia misalnya melawan perjodohan. Pada saat itu, perjodohan ini adalah pola yang lumrah, orang tua punya kuasa penuh, anak tak punya suara apa pun termasuk dalam memilih pasangan. Rayati menolak itu,” papar Nurul Maria Sisilia.
Hafidz Azhar menilai terbitnya buku Roman Sunda Antikolonial sebagai kabar baik di tengah masih minimnya kajian sastra pascakolonial di ranah kesusastraan Sunda.
“Saya mengapresiasi buku kajian khazanah Sunda ini kerena sejauh ini memang khazanah poskolonialnya kurang. Ini menjadi gerbang untuk menuju menggalakkan lagi kajian poskolonial di kesusastraan Sunda,” kata Hafiz Azhar.
Hafidz yang juga penulis buku sejarah orang-orang kiri di Bandung, kemudian menyoroti peran Moh Sanoesi, pengarang roman Siti Rayati. Roman Siti Rayati memang tak lepas dari situasi dan kondisi yang dialami Moh Sanoesi sebagai jurnalis dan aktivis pergerakan kiri.
Moh Sanoesi aktif di SI Merah Bandung, mengelola beberapa media berbahasa Sunda dan Melayu, antara lain Padjadjaran, Soerapati, dan surat kabar Matahari. Kisah Siti Rayati pun awalnya cerita bersambung di surat kabar Matahati. Surat-surat kabar yang dikelola Moh Sanoesi terutama melancarkan serangan pada kaum priyai dan kolonial.
“Moh Sanoesi melawan ketidakadailan Belanda, atau prinsip-prinsip feodal yang ditanamkan kaum priyai masa itu. Tapi Moh Sanoesi sendiri disebut t ambigu. Di satu sisi ia menentang Belanda dan priyai, tapi setelah dibuang ke Digoel, ia dicap sebagai mata-mata Hindia Belanda,” ungap Hafidz Azhar.