Pencegahan Covid-19 pada PON Papua Dinilai masih Kurang
Muncul kekhawatiran gelombang baru penularan Covid-19 di tengah penyelenggaraan PON Papua. Para ahli mensinyalir vaksinasi Covid-19 di Papua belum masif.
Penulis Iman Herdiana28 September 2021
BandungBergerak.id - Pekan Olahraga Nasiona (PON) akan digelar di tengah pandemi Covid-19 yang belum terkendali sepenuhnya. Hajat olahraga level nasional ini akan berlangsung 2 Oktober – 15 Oktober 2021 yang melibatkan 44 cabang olahraga, 679 pertandingan yang tersebar di 4 kota dan kabupaten di Provinsi Papua. Muncul kekhawatiran gelombang baru penularan Covid-19.
Kekhawatiran tersebut mencuat dalam diskusi yang digelar lembaga pemantauan kasus Covid-19, LaporCovid-19, yang melibatkan ahli epidemologi, 24 September 2021 lalu. Para pakar berasal dari LaporCovid-19, komunitas medis Papua, LBH Papua, dan Lokataru Foundation.
Diksusi ini menyimpulkan rencana pelaksanaan PON Papua masih belum memperhatikan keselamatan warga dan aspek epidemiologis.
Iqbal Elyazar, kolaborator saintis LaporCovid-19, mengingatkan kembali bahwa transmission events, seperti penyelenggaraan acara besar, menjadi salah satu cara penularan Covid-19. Perlu diingat bahwa PON melibatkan jumlah peserta yang cukupbesar, yakni 6.300 atlet, 3.000 offisial, 9.000 pendukung acara.
Pemerintah mensyaratkan seluruh pihak yang terlibat dalam PON wajib sudah divaksin dan harus ada pelaksanaanprotokol kesehatan yang ketat saat acara berlangsung. Namun Iqbal Elyazar melontarkan beberapa pertanyaan kritis, misalnya apakah vaksinasi yang menjadi syarat tersebut adalah vaksin dosis penuh?
“Hingga kini, kita belum punya data apakah harus vaksinasi dosis 1 atau harus penuh. Data-data lain yang belum diinformasikan adalah seberapa banyak cakupan vaksinasi Covid-19 lengkap kepada pendukung acara. Seluruh aturan ini rasanya memang too good to be true,” ucap Iqbal, mengutip siaran pers LaporCovid-19, .
Iqbal mencatat, baru 14 persen masyarakat di Papua yang sudah menerima dosis vaksin kedua. Vaksinasi Covid-19 juga bukan benteng laju penularan atau menjamin infeksi tidak terjadi, karena kunci pengendalian Covid-19 adalah pelacakan kontak, yaitu 3T dan protokol kesehatan 5M.
Terkait angka positivity rate yang rendah di kota dan kabupaten penyelenggara, Iqbal mengingatkan pentinya membuka data cakupan testing yang telah dilakukan. Menurutnya, data testing yang keliru bisa jadi membuat angka positivity yang semu.
Perlu diingat bahwa penyelenggaraan Olimpiade di Tokyo beberapa waktu lalu juga menyebabkan peningkatan kasus Covid-19 pada atlet dan panitia penyelenggara. Padahal terdapat penggunakan aplikasi yang mengawasi pergerakan atlet dan ofisial, pembentukan panitia untuk melakukan pengawasan protokol kesehatan yang ketat, serta testing dilakukan setiap hari.
Iqbal menyatakan belum ada tanda-tanda model yang dilakukan di Jepang diimplementasikan di PON Papua. Sejauh ini ia tidak melihat adanya gerakan vaksinasi massal di tempat penyelenggara.
“Ini juga membuktikan bahwa pertimbangan non-epidemiologis justru yang dipentingkan, mungkin lebih kepada pertimbangan ekonomi dan politik,” katanya.
Baca Juga: ITB Mulai Kuliah Tatap Muka Hibrida, Unpad Siapkan PTM Akhir Oktober
Euforia Warga semakin Tampak, Pemkot Bandung Perlu Antisipasi Gelombang Ketiga Covid-19
Vaksinasi Covid-19 pada Anak di Bawah 12 Tahun masih Tunggu Uji Klinis
Narasumber diskusi lainnya, Hasmi, Ketua Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Papua, mencatat bahwa 4 kabupaten/kota yang menjadi venue PON masuk kategori zona merah dengan cakupan vaksin yang rendah.
Selain itu, Hasmi juga mencatat bahwa positivity rate per pekan ini sudah menurun menjadi 1,42 persen, yang mana sebelumnya selalu di atas 15 persen. Namun angka pelacakan kontak masih sangat rendah.
“Masih belum memadai, rasio lacak hanya 1 berbanding 2,47, padahal menurut WHO untuk 1 kasus, perlu dicari 30 kontak erat. Ini masih sangat jauh,” kata Hasmi.
Papua juga memiliki atal test PCR yang terbatas. Hasmi menuturkan, dari 24 kabupaten yang memiliki kasus Covid-19, hanya 6 (25 persen) yang memiliki alat PCR, Kota Jayapura memiliki alat test PCR terbanyak.
“Tidak hanya itu, ada juga tantangan lain, yaitu seringkali PCR rusak. Jumlah nakes yang melakukan tracing, vaksinasi juga hanya 51 persen. Tantangan lain adalah tokoh agama yang menjadi kunci dalam sosialisasi juga sering termakan hoax,” ujar Hasmi.
Hasmi mengatakan, 3T dan edukasi komunikasi risiko kepada masyarakat untuk memitigasi lonjakan kasus menjadi kunci di Papua.
“Selain itu, sebenarnya kami dari PAEI sudah memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk melakukan health risk assessment sebelum PON, namun assessment itu belum kami terima saat ini,” katanya.