• Kolom
  • CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #4: Bangunan Dulu Kini Tinggal Nama

CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #4: Bangunan Dulu Kini Tinggal Nama

Perubahan telah melanda Cicalengka. Banyak peninggalan masa lalu yang putus dengan generasi Cicalengka kiwari.

Muhammad Luffy

Pegiat di Lingkar Literasi Cicalengka

Bagian belakang Stasiun Cicalengka yang diabadikan K. Kroitzsch antara 1900-1910. (Sumber: TM-10014024, collectie.wereldculturen.nl)

16 September 2022


BandungBergerak.id“Stasiun Cicalengka akan dibangun oleh PT KAI, kang. Mungkin akan merombak semua bangunannya,” begitulah kira-kira ketika Ikhsan memulai obrolan di sebuah kedai mini yang berada tidak jauh dari Rumah Sakit Umum Daerah Cicalengka, Kabupaten Bandung.

Ikhsan yang waktu itu baru pulang dari Dago menggunakan kereta api, mendapat kabar dari seorang pegawai PT KAI saat sedang dalam perjalanan menuju Cicalengka. Dalam waktu dekat, konon, PT KAI akan merombak seluruh bangunan stasiun kereta api Cicalengka. Mungkin saja jejak-jejak stasiun yang berdiri kokoh sejak abad ke-19 itu akan segera kehilangan nilai sejarahnya, karena sudah tidak ada lagi yang bisa dimaknai dengan adanya bangunan baru. Seperti nama “Tjitjalengka”, yang menempel di tembok stasiun. Mungkin akan diganti dan dipercantik dengan nama “Cicalengka” dengan ukiran-ukiran yang disesuaikan pada zaman sekarang.

Seorang kawan pernah mempersoalkan nama Tjitjalengka yang terpampang di bagian atas stasiun itu. Ia sangat menyayangkan atas hilangnya huruf-huruf yang hanya bertuliskan “Tjaleng”. Dalam amatan saya, kata Tjaleng jika diubah ke dalam ejaan sekarang bisa bermakna ganda. Ketika seseorang melihat kata “Tjaleng”, tafsiran akan mengarah pada istilah celeng yang berarti babi, atau bisa juga mengarah pada kata celengan sebagai wadah untuk menyimpang uang.

Terlepas dari permasalahan bahasa, para pemilik wewenang seharusnya peka terhadap hilangnya beberapa ukiran huruf itu sebagai penanda Cicalengka zaman dulu. Ini mengindikasikan jika para pemilik wewenang tersebut tidak peduli dengan bangunan bersejarah yang masih tersisa. Malah pada realitasnya mereka bersikeras akan membangun ulang tanpa disertai adanya dialog yang intens dengan para pegiat sejarah.

Bersamaan dengan itu, masalah lain muncul terkait perombakan bangunan bersejarah. Panitia Pembangunan Masjid Besar Cicalengka telah mengumumkan sejak beberapa bulan yang lalu, bahwa masjid tertua di Cicalengka ini akan dibangun secara total. Di pagar depan, satu baliho besar tertempel dengan bertuliskan dukungan dan permohonan bantuan kepada para donatur.

Masjid yang dibangun sekitar abad ke-19 itu kini memang jauh dari harapan kita. Banyak fasilitas yang sudah tua dan rusak. Bahkan area serambi di depan masjid pun tak boleh ditempati oleh para pengunjung. Padahal masjid merupakan ruang publik. Alih-alih untuk menjaga kebersihan, tapi malah menjauhkan para pengunjung untuk melakukan berbagai aktivitas di sekitar serambi masjid.

Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #1: Karakter Ahistoris Cicalengka
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #2: Pojok Baca Cicalengka, Harapan yang Terhalangi Prosedur Janggal
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #3: Dilema Masyarakat Cicalengka pada Proyek Jalur Kereta Api Ganda

Rumah Dewi Sartika dan Juanda

Persoalan bangunan bersejarah yang kian hari terus mengalami kepunahan ini tentu tidak saja terjadi di Cicalengka. Namun bagi saya yang tumbuh di Cicalengka, sangat menyayangkan bila bangunan-bangunan bersejarah itu kini tidak lagi dikenal oleh masyarakat. Contoh lain yang mungkin terlupakan adalah, dua tokoh penting di zaman pergerakan yang sempat tinggal di Cicalengka. Tentu sebagaian besar masyarakat Cicalengka tahu betul siapa kedua tokoh itu.

Tokoh pertama yakni, Raden Ayu Dewi Sartika. Pada tahun 1884 Dewi Sartika lahir di Cicalengka dan pernah tinggal di rumah pamannya sebagai Patih Cicalengka. Setelah kedua orang tuanya, Raden Rangga Somanegara dan Raden Ayu Rajapermas diasingkan akibat tragedi bom di Bandung.

Tokoh kedua yaitu Ir. H. Juanda. Meski hanya sebentar, Ir. H. Juanda pernah tinggal di Cicalengka mengikuti tugas ayahnya, Raden Kartawijaya, sebagai guru di HIS (Hollandsch Inlandsch School) yang kala itu berpindah dari Kuningan ke Cicalengka. Di Cicalengka, Juanda sempat belajar di ELS (Europese Lagene School) tahun 1923 sampai lulus di sekolah tersebut. Itulah kenapa patung dua tokoh besar ini dibangun kokoh sejurus tidak jauh dari rumah mereka saat keduanya pernah menetap di Cicalengka.

Kurangnya informasi terkait letak rumah kedua tokoh besar itu membuat banyak orang menduga-duga bahwa salah satunya masih dapat dilihat dan dikunjungi. Rumah itu konon, merupakan rumah milik Dewi Sartika bertepatan dengan jalan yang menggunakan namanya. Dengan nuansa bangunan yang khas zaman Hindia Belanda, rumah itu masih nampak kokoh disertai dengan halaman yang cukup luas dan ditumbuhi semak belukar.

Sampai saat ini rumah tersebut masih berpenghuni. Ketika saya mendatangi rumah itu untuk memperoleh informasi tentang Dewi Sartika, tiba-tiba rumah tersebut serasa sepi tanpa penghuni. Tidak ada suara sautan yang menjawab ketika saya mengucapkan salam dan mengetuk pintu. Padahal, dari depan gerbang terlihat satu unit mobil dan beberapa sandal yang menunjukkan bahwa rumah itu dihuni oleh segelintir orang.

Setelah saya mendapat berita, ternyata rumah itu bukanlah rumah yang pernah ditinggali oleh Dewi Sartika. Menurut salah satu warga yang sudah lama tinggal di sekitar itu, rumah tersebut sebetulnya milik pejabat residen yang hampir sezaman dengan mendiang Dewi Sartika. Sedangkan rumah Dewi Sartika sendiri sudah lama dihancurkan beberapa tahun silam oleh ahli warisnya, meski masih berada di sekitar jalan itu. Pantas saja para penghuni rumah yang sekarang dianggap sebagai rumah Dewi Sartika itu enggan untuk dimintai keterangan.

Minimnya informasi mengenai bangunan bersejarah yang terdapat di kawasan Cicalengka ini memang berimplikasi terhadap pengelolaan yang baik oleh masyarakat maupun para pemangku kebijakan. Ada banyak gedung-gedung yang sudah hancur namun memiliki nilai historisnya, sekarang, hanyalah sebuah nama yang bisa diakses melalui internet secara terbatas.

Salah satu upaya agar bangunan-bangunan bersejarah itu masih bisa dinikmati yaitu dengan memberikan edukasi bahwa tempat tersebut mempunyai kisah tersendiri seiring dengan perkembangan Cicalengka dari masa ke masa. Masyarakat tahu bahwa patung Ir. H. Juanda berada di Jalan Cikuya, Cicalengka. Tetapi apakah masyarakat tahu di mana letak secara pasti rumah Ir. H. Juanda saat dulu tinggal di Cicalengka? Meski sebagian orang akan menjawab rumah Ir. H. Juanda tidak jauh dari patung yang berdiri kokoh sekarang ini. Lagi-lagi jawaban itu hanya menduga-duga tanpa disertai penelusuran dan kajian sejarah yang mendalam.

*Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi www.bandungbergerak.id dan komunitas Lingkar Literasi Cicalengka

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//