• Kolom
  • SALAMATAKAKI #2: Kampuang nan Jauh di Mato

SALAMATAKAKI #2: Kampuang nan Jauh di Mato

Lukisan tata surya dengan latar belakang warna biru menyelimuti kios roda. Bagaimana kalau kios di depan SDN 048 Sirnamanah itu ternyata milik makhluk luar angkasa?

Sundea

Penulis kelontong. Dea dapat ditemui di www.salamatahari.com dan Ig @salamatahari

Pak Midan bersama lukisan yang menghiasi kios rodanya di depan SDN 048 Sirnamanah. Sejak 1983 Pak Midan merantau dari Kebumen ke Bandung.(Foto: Sundea/penulis)

20 September 2022


BandungBergerak.idKios itu misterius. Tidak bernama, tanpa petunjuk, tak pernah buka, dan berselaput lukisan sureal. Aku memandangi citra pemandangan alam dengan tata surya yang bergelantungan di sekitarnya. Nuansa kebiruan dan pohon yang tampak condong tertiup angin memberi kesan dingin menggigit.

Imajinasiku mulai piknik. Bagaimana kalau kios di depan SDN 048 Sirnamanah itu ternyata milik makhluk luar angkasa? Seperti lukisan alam Minang di Rumah Makan Padang, jangan-jangan pemandangan di permukaan kios adalah obat rindu sang alien kepada kampung halamannya. Kalau begitu, apa yang membuat alien ini datang ke bumi? Sengajakah ia tinggal di kios beroda? Apakah ia sedang mengintipku? Ketika aku sibuk dengan fantasiku sendiri, seorang ibu membuka pintu kios sambil membawa termos.

“Eh… kiosnya mau buka, Bu?” tanyaku gugup.

“Enggak, ini cuma gudang. Dagangnya mah di sana,” kata si ibu sambil menunjuk ke ujung jalan.

Imajinasiku tentang makhluk luar angkasa mendadak korslet, “terus… ini yang lukis siapa?”

“Suami saya.”

“Kok kepikir bikin lukisan begini?”

“Nggak tahu. Tanya aja. Itu orangnya ada di sana,” ajak si ibu sambil menggiringku menuju kios dagangannya yang sejati.

Sesaat kemudian aku diperkenalkan kepada bapak-bapak berkaus abu-abu, namanya Pak Midan. Sejak tahun 1983 Pak Midan sudah merantau dari Kebumen ke Bandung. “Penginnya sekolah lagi, tapi keadaan tidak memungkinkan, apa lagi ibu saya sudah meninggal, jadi keluar SD saya langsung ke Bandung ikut saudara, bantu-bantu ngebon di rumah Pak Hidayat yang pernah jadi menteri itu,” cerita Pak Midan.

Sejak SD ternyata Pak Midan sudah hobi menggambar dan mencoret-coret buku tulis sekolah. Obyek favoritnya wayang Petruk-Bagong dan pemandangan. Ia suka melihat-lihat keindahan alam dan menuangkannya ke dalam gambar. Berhubung sering menonton konten-konten tata surya di youtube, Pak Midan terpesona juga oleh keindahan alam luar angkasa dan menyertakan gambar tata surya pada karyanya. “Spontan aja ini, sih, pakai pilox,” kata Pak Midan.

Baca Juga: SALAMATAKAKI #1: Alas Kata tanpa Alas Kaki
Voice Of Baceprot, Perempuan dan Musik Metal
Antusias Anak-anak Kampung Cibogo Atas Mendaur Ulang Sampah Plastik Jadi Wayang

Kios roda di depan SDN 048 Sirnamanah. Melalui kios ini Pak Midan melukiskan kerinduannya pada kampung halaman. (Foto: Sundea/penulis)
Kios roda di depan SDN 048 Sirnamanah. Melalui kios ini Pak Midan melukiskan kerinduannya pada kampung halaman. (Foto: Sundea/penulis)

Pak Midan menyampaikan, selain melukis di kios, sebetulnya ia ingin melukisi dinding rumahnya. “Cuma susah, sudah lumutan,” ujar Pak Midan. Menurut Pak Midan, melukis adalah cara membuat permukaan-permukaan kotor dan kumuh terlihat lebih resik. Kebersihan sangat penting bagi Pak Midan, maka, di kolong meja kios dagangannya, ia meyediakan tempat sampah dan mengingatkan setiap orang membuang sampah pada tempatnya. Kepada wargi Bandung yang membaca artikel ini pesannya pun jelas dan singkat, “jaga lingkungan. Harus bersih intinya mah”.

Setelah jajan-jajan sedikit di kios Pak Midan, aku pamit pulang. Sambil melangkah ringan menuju rumah aku tersenyum geli mengingat khayalan alien yang sempat mampir di kepalaku.

Tapi… tunggu dulu. Tiba-tiba sudut pandangku terpelintir lagi. Siapa yang menjamin Pak Midan bukan makhluk luar angkasa? Kalimat we come in peace muncul seperti tulisan berjalan di dalam benakku. Aku teringat akan kisah-kisah fiksi-sains di mana makhluk luar angkasa digambarkan mempunyai peradaban yang lebih tinggi daripada kita manusia bumi. Seperti di film Farewell to the Master dan The Day The Earth Stood Still misalnya, makhluk luar angkasa justru datang kepada kita untuk memberikan peringatan. Merekalah yang lebih dahulu menyadari, perang dan perilaku-perilaku merusak lingkungan adalah cara manusia mempercepat kehancuran habitatnya sendiri.

Hari itu Pak Midan sempat bercakap entah dengan siapa melalui handy talky. Apakah ia berkomunikasi dengan teman-temannya di luar angkasa? Apakah ia mengabarkan bahwa aku—penulis yang mereka panggil melalui sinyal-sinyal alien—sudah datang untuk membantu menyebarkan pesan melalui situs Bandungbergerak?  

Ingatanku kembali kepada lukisan pemandangan alam di permukaan kios. Mungkin itu memang lukisan sebuah kampung halaman. Sebuah kampuang nan jauh di mato.

Sampai berjumpa di Salamatakaki berikutnya!

Salamatakaki, semogaselaluhangat dan cerah!

Editor: Redaksi

COMMENTS

//