Lelang Gedung PT Telehouse Engineering tidak Boleh Melupakan Hak-hak Buruh
Buruh PT Telehouse Engineering berunjuk rasa menuntut pembayaraan upah dari perusahaan yang telah dinyatakan pailit. Gedung perusahaan sedang dilelang.
Penulis Emi La Palau12 November 2022
BandungBergerak.id - Sejumlah buruh menggelar aksi demonstrasi di halaman gedung perusahaan PT Telehouse Engineering, Jalan AH. Nasution, Ujung Berung, Kota Badung, Jumat (11/11/2022). Mereka menuntut pembayaran upah yang belum ditunaikan oleh perusahaan sejak pagebluk Covid-19.
Gaji 174 karyawan PT Telehouse Engineering belum dibayarkan selama kurun waktu empat bulan, dari November 2021 hingga Februari 2022, dengan nilai sekitar 4-5 miliar rupiah. Selain itu, ada sebesar 30 persen uang penangguhan gaji yang belum dibayarkan selama 6 bulan oleh perusahaan.
Para buruh membentangkan spanduk dan poster berisi tuntutan di halaman gedung perusahaan PT Telehouse Engineering. “Di balik gedung ini ada keringat buruh yang belum dibayarkan”, “Jangan curi upah buruh”, dan tuntutan lainnya.
Perusahaan Pailit
Aksi ini dilatarbelakangi aset PT Telehouse Engineering yang menjadi salah satu daftar aset lelang yang diselenggarakan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Bandung. Hal ini setelah PT Telehouse Engineering dinyatakan dalam keadaan pailit berdasarkan putusan Pengadilan Niaga Nomor 29/Pdt.Sus-Pembatalan Perdamaian/2022/PN.Niaga.Jkt.Pst tertanggal 15 September 2022.
Adapun lelang aset perusahaan tertera dalam laman resmi lelang kekayaan negara www.lelang.go.id yang menyebutkan nilai limit lelang sebesar kurang lebih 60.9 miliar rupiah. Lelang dilakukan oleh PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, Special Asset Management 3 Group atas dua bidang tanah seluas 7.080 meter persegi, bangunan, dan barang bergerak lainnya.
Koordinator aksi, Pupun Supendi menjelaskan melalui aksi kali ini buruh menuntut haknya terutama hak upah yang sampai saat ini belum dibayar oleh perusahaan. Dalam putusan pengadilan para pekerja diputuskan menjadi kreditur yang diistimewakan. Sehingga jika pun aset dilelang, maka hak karyawan mesti diutamakan.
Pupun mengungkapkan bahwa pihaknya tidak sepakat jika aset perusahaan dilelang dengan harga murah, yakni 30.7 miliar rupiah dari limit atas. Sementara jika ditotal piutang dari pihak perusahaan kepada bank lebiih dari 140 miliar rupiah.
Buruh khawatir jika aset perusahaan dilelang dengan harga murah, maka akan berdampak pada tidak terpenuhinya hak buruh.
“Di balik gedung ini tuh istilahnya ada keringat buruh yang belum dibayar. Ketika ini dilelang sama (Bank) Mandiri, tentunya karyawan yang di sini tidak akan kebagian,” ungkap Pupun, ditemui BandungBergerak.id, di lokasi.
Ia menuntut pihak yang melelang agar memberikan jaminan bahwa upah buruh dan tunggakan perusahaan pada pekerja bisa dibayarkan.
“Jangan lelang murah pertama, jangan sampai misalkan limit lelang yang ditawarkan jangan sampai sangat rendah. Karena kalaupun ini sangat rendah tentunya ini menjadi ketimpangan bagi buruh, takutnya buruh tidak mendapatkan hak yang seharusnya didapatkan,” kata Pupun.
Pupun menegaskan sejauh ini aset berharga milik perusahaan tinggal gedung dan isinya. Menurutnya harus ada jaminan agar buruh mendapatkan haknya. “Karena kami di sini kreditur yang diistimewakan,” tandasnya.
Terakhir, Pupun meminta agar pembayaran hak-hak buruh diutamakan sesuai dengan verifikasi data di pengadilan. Ia berharap agar pesangon 174 buruh yang di-PHK dapat segera dibayarkan.
16 Tahun Bekerja
Buruh PT Telehouse Engineering merupakan korban dari keganasan pagebluk Covid-19 yang mulai melanda pada 2020. Menurut Erika Wargantarikawati (39), salah seorang buruh perempuan di PT Telehouse Engineering, menceritakan pada awal pandemi Covid-19 menghantam Indonesia, upah di perusahaannya mulai terlambat dibayarkan.
Meski begitu, ia dan rekan buruh lainnya masih menganggap keterlambatan pembayaran upah sebagai kewajaran. Erika yang bertugas di bagian administrasi pun tetap melanjutkan pekerjaannya.
Lalu, 2020 ketika Covid-19 makin tak terkendali, perusahaan mulai melakukan pemangkasan karyawan. Alasan utama perusahaan adalah dampak ekonomi karena pandemi, meski perusahaan masih berproduksi.
Beberapa karyawan mulai dirumahkan. Bayaran tunjangan hari raya (THR) Erika dan rekan kerja lainnya dipotong untuk membayar THR sebagian dari mereka yang dirumahkan. Kemudian, pembayaran gaji mulai ditangguhkan sebesar 30 persen.
Ketika itu Erika dan pekerja lainnya mesti bekerja dari rumah atau WFH. Namun, selang lima hingga enam bulan berjalan, perusahaan akhirnya mengumumkan tak bisa membayar gaji dengan penuh. Namun, gaji penagguhan akan tetap dibayarkan dengan waktu yang tak dapat dipastikan.
“Artinya penangguhan kan di kemudian hari akan dibayarkan. Kita masih bisa terima,” ungkap Erika.
“Nah akhirnya si perusahaan mengumumkan kalau mereka hanya bisa menggaji karyawan dipotong sebesar 30 persen. Jadi yang 30 persen itu bukan lagi penangguhan tapi pemotongan,” lanjut Erika.
Erika masih menerima keputusan perusahaan. Di sisi lain, tak ada pekerjaan lain yang bisa dilakukan. Namun ia dan rekan lainnya mulai cemas. Benar saja, sejak Maret 2022 hingga Oktober 2022 ketika perusahaan memutuskan PHK, gaji buruh juga belum dibayarkan.
Erika tentu berharapan besar pada perusahaan yang telah bangkrut agar membayarkan upah dan hak-haknya. Ia masih memiliki tiga orang anak yang duduk di bangku TK, SD, dan SMP untuk dibiayai. Jika berharap pada gaji sang suami yang juga merupakan karyawan swasta, tak akan menutupi biaya sekolah dan biaya dapur.
“Harapannya paling penting penginnya upah yang kita sudah bekerja tapi belum terbayar upahnya, sama penagguhan yang sudah dijanjikan akan dibayar,” ucap Erika.
Baca Juga: SUARA SETARA: Penindasan Ganda Buruh Perempuan
Kepalan Tangan Tiga Buruh Perempuan di Gedung Sate
UU Omnibus Law juga Dinilai tidak Berpihak pada Buruh
F-Sebumi: Hak Kawan-kawan Buruh Harus Diutamakan
Kasus buruh PT Telehouse Engineering mendapat pembelaan dari serikat pekerja F-Sebumi. Menurut Divisi hukum dan advokasi F-Sebumi, Sri Hartati, langkah-langkah pembelaan telah dilakukan sejak perusahaan dinyatakan pailit 15 September 2022. Antara lain, F-Sebumi telah mengirim surat ke beberapa instansi, seperti Menteri BUMN, KPNL Bandung yang mengurusi lelang, hingga ke pengadilan agar hakim lebih mempertimbangkan hak-hak buruh.
Sri menjelaskan, jumlah piutang perusahaan ke bank mencapai 140 miliar rupiah. Jika aset perusahaan dilelang hanya 60 miliar saja, menurut Sri maka buruh yang akan menjadi korbannya. Bahkan pada paruh lelang terakhir justru nilai lelang diturunkan menjadi 30.7 miliayar rupiah.
F-Sebumi juga telah berkirim surat agar lelang tersebut mempertimbangkan hak-hak buruh yang selama ini belum dibayarkan oleh perusahaan.
“Dan kami sebelum dinyatakan pailit kami sudah mengajukan persilisahan hak ke PHI dan pada 31 Oktober telah ada putusan, dan hak kawan-kawan harus dibayarkan dari pengadilan,” kata Sri.