• Berita
  • Pengelolaan Sampah TPPAS Legok Nangka Bisa Mematikan Gerakan Kang Pisman

Pengelolaan Sampah TPPAS Legok Nangka Bisa Mematikan Gerakan Kang Pisman

TPPAS Legok Nangka akan menjadi TPA baru. Beroperasinya TPPAS Legok Nangka dikhawatirkan akan melupakan prinsip zero waste seperti gerakan Kang Pisman.

Warga melintas di Jalan Cikutra, Bandung, 20 Oktober 2022. Sampah plastik tak terangkut. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana15 November 2022


BandungBergerak.idModel pengelolaan sampah di lingkup komunal dan rumah tangga seperti Kang Pisman berpengaruh besar pada pengurangan emisi karbon yang memicu pemanasan global. Namun model kurangi, pisahkan, manfaatkan sampah sejak dari skala rumahan ini belum gencar dan tidak digaraplserius oleh pemerintah daerah. Bahkan gerakan ini berpotensi mati jika TPPAS Legok Nangka beroperasi.

Padahal perbaikan sistem pengelolaan sampah di kabupaten dan kota akan memotong emisi dari sektor sampah sekitar 84 persen (1,4 miliar ton). Sementara itu, masih banyak potensi pengurangan emisi karbon yang perlu digali dengan memperhatikan keseluruhan alur ekonomi material pengelolaan sampah dari hulu ke hilir.

“Pengelolaan sampah yang baik merupakan solusi perubahan iklim yang nyata ada di depan kita. Solusi tersebut tidak membutuhkan teknologi yang mahal dan megah – hanya membutuhkan perhatian lebih pada apa yang kita produksi dan konsumsi, dan bagaimana kita mengelolanya ketika sudah tidak bisa dimanfaatkan,” kata Neil Tangri, anggota tim penulis dari Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA), dalam siaran pers yang dikutip Selasa (15/11/2022).

Berdasarkan studi kasus di Kota Bandung, dengan menggunakan pendekatan Kang Pisman (zero waste) dapat mengurangi emisi karbon dari pengelolaan sampah menjadi 10 persen dibandingkan sistem pengelolaan sampah yang mengirimkan sampah tercampur ke TPA. Pengurangan emisi karbon melalui pendekatan zero waste hanya untuk Kota Bandung saja akan mencapai hampir 2 persen dari NDC (National Determined Contribution). 

Pemerintah pun diminta memprioritaskan aksi-aksi nyata dan progresif pada sektor pengelolaan sampah dalam arti luas, seperti pada rencana mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Laporan yang dirilis oleh GAIA menjelaskan bahwa sistem zero waste adalah cara tercepat dan paling terjangkau untuk mengupayakan agar pemanasan global tidak melebihi 1,5 derajat C. Perlu diketahui bahwa suhu bumi saat ini sudah melewati ambang batas 1,5 derajat C yang artinya semakin panas. Kondisi ini akan memicu perubahan iklim ekstrem karena terjadinya pemanasan global.

Potensi pengurangan emisi karbon dari pengelolaan sampah secara global telah dikaji dengan mengambil studi kasus dari 8 kota di dunia, di mana menunjukkan bahwa rata-rata kota-kota ini bisa mengurangi emisi GRK sebesar 84 persen pada tahun 2030, bila strategi zero waste diterapkan secara penuh.

Kang Pisman Terancam

Kota Bandung memiliki program Kang Pisman yang digagas Pemerintah Kota Bandung sejak tahun 2018. Program ini menekankan pada pemilahan dan pengolahan sampah, khususnya sampah organik secara terdesentralisasi dengan prinsip zero waste.

Sektor pengelolaan sampah menyumbang sekitar 3.3 persen emisi gas rumah kaca (GRK) sebagai penyebab pemanasan global, dan menjadi penyumbang emisi gas metana terbesar kelima.

Perbaikan sistem pengelolaan seperti pemisahan sampah sejak dari sumber, daur ulang dan pengomposan dapat memotong emisi dari sektor persampahan lebih dari 1,4 juta ton, setara dengan emisi dari 300 juta mobil per tahun – atau setara dengan berhentinya semua kendaraan bermotor di Amerika Serikat selama 1 tahun.

Di Bandung lembaga swasta yang aktif mengkampanyekan zero waste adalah Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB). Namun pengendalian sampah tentunya tidak bisa mengandalkan pada satu lembaga saja.

Kepala Bidang Tata Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandung Siti Hodijah menilai bahwa konsep zero waste yang dilakukan oleh YPBB harus dikembangkan dan dikaji lebih mendalam, sebab saat ini sektor limbah menjadi titik berat di Kota Bandung.

“Saat ini Kota Bandung sedang mencoba investasi pada kampung iklim. Ada sekitar 106 RW yang bersedia menjadi kampung iklim, dan dilakukan sosialisasi terus menerus. Muatan utamanya adalah pengurangan sampah di sumber sehingga RW bisa melakukan pengendalian mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” papar Siti Hodijah.

Potensi pengurangan emisi gas metan dari pengelolaan sampah misalnya, kata Siti dapat menyumbang pengurangan emisi gas metan global hingga 13 persen. Hal ini dilakukan dengan pemisahan sampah organik di sumber dan pengolahannya.

”Hal ini seharusnya menjadi prioritas kebijakan karena dampaknya signifikan dan relatif mudah dilakukan,” tegas Melly Amalia, Koordinator Kampanye Zero Waste YPBB.

Studi kasus di Kota Bandung memperlihatkan bahwa pemilahan dan pengolahan 90-95 persen sampah organik akan mengurangi emisi gas metan di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) hingga tinggal seperempatnya, dibandingkan dengan bila sampah tercampur yang masuk ke TPA. Jumlah tersebut setara dengan pengurangan emisi GRK sekitar 575 ribu ton per tahun.

Mengantisipasi penuhnya TPA Sarimukti pada tahun 2023, saat ini Kota Bandung sedang berada di persimpangan antara melanjutkan program Kang Pisman secara progresif atau melakukan pengelolaan sampah tercampur berbasis teknologi termal, yaitu insinerator dan Refuse Derived Fuel (RDF) di Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Legok Nangka.

Kebijakan yang didorong baik oleh pemerintah pusat maupun Jawa Barat adalah 1.200 ton sampah per hari diproses di insinerator TPPAS Legok Nangka dan sisanya diproses sebagai RDF.

Model pengolahan sampah TPPAS Legok Nangka pun menuai kritik karena bertentangan dengan prinsip zero waste ataupun Kang Pisman. Pendekatan berbasis sampah tercampur TPPAS Legok Nangka akan menghambat atau malah mematikan implementasi Kang Pisman secara menyeluruh.

Pemanfaatan teknologi termal TPPAS Legok Nangka dinilai tidak tepat. Investasi pada kampung iklim agaknya menjadi salah satu pilihan yang realistis.

Studi kasus Kota Bandung menunjukkan bahwa bila Kota Bandung menerapkan teknologi termal berbasis sampah tercampur sebagai kebijakan utama, maka emisi karbon yang dihasilkan 4 kali lebih besar dibandingkan dengan pendekatan zero waste.

”Walaupun penggunaan teknologi termal membuat emisi karbon di TPA hampir tidak terjadi lagi, namun sumber emisi karbon berpindah ke insinerator itu sendiri, di mana pada tahun 2030 skenario berbasis teknologi thermal menghasilkan emisi GRK sebesar 312 ribu ton, walaupun pengurangan emisi karbon dari produksi energi telah diperhitungkan,” tegas Climate and Clean Energy Campaigner dari GAIA Asia Pasifik, Yobel Novian Putra.

”Sumber terbesar emisi karbon dari insinerator adalah pembakaran plastik. Hal ini karena plastik dibuat dari minyak bumi dan proses pembuatannya juga menghasilkan banyak emisi karbon. Menganggap sampah sebagai sumber energi terbarukan adalah sebuah kesalahan. Untuk setiap ton plastik yang dibakar, misalnya, akan melepaskan sekitar 3 ton CO2,” imbuhnya.

Walaupun potensi pengurangan emisi GRK dari berbagai kegiatan pengurangan sampah, seperti pembatasan plastik sekali pakai, refill, reuse serta repair masih menunggu kajian berikutnya, upaya pengurangan konsumsi dan produksi plastik tetap perlu segera dilakukan.

Baca Juga: Program Kang Pisman Dirasakan Mengendur selama Pagebluk
Kang Pisman vs Bom Waktu Sampah
Manusia dalam Ancaman Sampah Mikroplastik

Anggota AZWI telah melakukan sejumlah studi yang menunjukkan bahwa pemerintah tidak akan mampu meningkatkan kinerja pengelolaan sampah secara signifikan tanpa reformasi tata kelola pengelolaan sampah itu sendiri. Hal ini tidak hanya mencakup regulasi sektor pengelolaan sampah, tetapi juga sektor pemerintahan daerah, industri, energi dan lain-lain.

Pemerintah harus segera menerapkan langkah nyata mengelola sampah dengan pendekatan zero waste secara menyeluruh.

”Langkah terbaik untuk meminimalkan emisi karbon dari sistem pengelolaan sampah adalah pengurangan produksi dan konsumsi plastik serta pencegahan sampah organik, khususnya sampah makanan,” ujar David Sutasurya, Steering Committee dari Aliansi Zero Waste Indonesia.

Untuk menjaga pemanasan global di bawah 1,5 derajat C sebagaimana diatur dalam Perjanjian Paris, GAIA dan AZWI mendesak para pengambil kebijakan di Indonesia, maupun pemimpin global untuk mengambil tindakan segera dan kuat dengan:

Memasukkan target dan kebijakan zero waste ke dalam rencana mitigasi dan adaptasi perubahan iklim;

Segera menerapkan phasing out menuju pelarangan sampah organik di TPA melalui pengolahan dan pemanfaatan sampah organik;

Hentikan proyek teknologi termal yang sedang berlangsung dan yang direncanakan (Insinerator/tungku, Waste-to-Energy, RDF);

Memprioritaskan pencegahan sampah makanan dan pelarangan plastik sekali pakai (PSP);

Mempercepat kewajiban produsen untuk menerapkan sistem refill, repair dan inovasi reuse lainnya secara maksimal;

Mereformasi tata kelola pengelolaan sampah agar segera terjadi peningkatan kemampuan pendanaan dan kelembagaan pemerintah daerah, dalam pengelolaan sampah, secara signifikan.

Dalih Energi Terbarukan 

TPPAS Legok Nangka di kawasan Nagreg, Kabupaten Bandung, kini dibanggakan oleh Provinsi Jawa Barat karena akan menghasilkan energi terbarukan dari sampah yang diolah oleh PLN.

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menyebut langkah PLN ini sebuah gebrakan bersejarah ini untuk memberikan kebermanfaatan bagi masyarakat melalui energi terbarukan.

"Harapannya tak ada lagi pengelolaan sampah yang sifatnya konvensional dan perilaku-perilaku buruk membuang sampah ke sungai, membakar sampah yang membuat polusi. Kebiasaan-kebiasaan itu harus sudah mulai ditinggalkan," harapnya, dalam siaran pers penandatanganan komitmen kerja sama dengan PLN, Selasa (1/11/2022).

Namun di balik energi terbarukan yang akan dihasilkan TPPAS Legok Nangka, ada cara lain yang lebih manjur dan ramah lingkungan yaitu gerakan zero waste. TPPAS Legok Nangka berpotensi menghasilkan masalah baru di bidang pencemaran emisi yang memicu pemanasan global.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//