• Kolom
  • JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (4): Pergerakan PNI dalam Pengawasan Pemerintah Kolonial

JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (4): Pergerakan PNI dalam Pengawasan Pemerintah Kolonial

Jumlah anggota yang terus membesar, dengan kegiatan-kegiatan yang makin sering digelar, membuat PNI diawasi oleh pemerintah kolonial. Tiga tokohnya dipenjarakan.

Hafidz Azhar

Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung

Suasana salah satu pertemuan besar pengurus PNI. Jumlah anggota yang terus membesar, dengan rapat-rapat yang kian sering dilangsungkan, membuat PNI diawasi oleh pemerintah kolonial. (Sumber foto: buku Soekarno: Biografi Politik 1901-1950 karangan Lambert Giebels)

11 Oktober 2021


BandungBergerak.id - Partai Nasional Indonesia (PNI) afdeeling Bandung terus mengalami penambahan massa yang cukup signifikan. Ini tentu beriringan dengan perkembangan PNI di kota-kota cabang lainnya. Propaganda yang dilakukan oleh Sukarno dan kawan-kawan menghasilkan citra baik bagi PNI.

Dari podium ke podium, Sukarno melancarkan pidatonya yang berapi-api, selain terus menggelar pertemuan. Demikianlah yang juga terjadi di dua rapat sekaligus yang diselenggarakan oleh pengurus PNI afdeeling Bandung di dua tempat berbeda, yakni Gedung Bioskop Empress di Jalan Suniaraja dan Gedung Bioskop Oranje di Groote Postweg (Jalan ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927-1934). Kegiatan tersebut tentu menarik perhatian banyak pihak kala itu, sampai-sampai pemerintah kolonial merasa perlu mengawasi pergerakan PNI.

Sampai tahun 1929, pergerakan PNI semakin massif, bukan hanya di PNI afdeeling Bandung yang mendapat pengaruh langsung dari Sukarno. Pada bulan Mei 1929, misalnya, PNI menggelar kongres keduanya di Batavia. Tidak kurang dari seribu orang hadir sebagai utusan dari berbagai cabang.

Legge mencatat, selama tahun-tahun itu PNI sudah mempunyai tujuh cabang di tujuh kota besar. Tujuh cabang tersebut antara lain, Bandung, Batavia, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Pekalongan, dan Palembang yang seluruhnya berjumlah sekitar 10.000 orang. Dari jumlah itu, 6.000 orang di antaranya ada di Priangan.

Banyaknya jumlah anggota PNI membuat pemerintah kolonial khawatir. Apalagi, prinsip nonkooperatif yang ditunjukkan PNI kerap disamakan dengan sikap pemberontakan seperti yang meletus pada tahun 1926.

Sejak tahun 1928, gerak-gerik PNI telah mendapat pengawasan dari pemerintah. Gubernur Jenderal De Graeff memberikan sebuah peringatan kepada PNI. Mulanya dengan mengamati prinsip nonkooperatif Sukarno dan kawan-kawan melalui para informannya. Dalam pidatonya di Volksraad pada 15 Mei 1928, De Graeff mengungkapkan bahwa propaganda PNI dianggap sebagai hasutan yang dapat membahayakan ketertiban umum dan mengakibatkan permusuhan terhadap pemerintah. Bahkan kecaman datang dari kalangan pemerintah daerah dengan mengusulkan pemecatan terhadap pegawai pemerintah yang terindikasi mengikuti kegiatan PNI (Menjadi Indoenesia buku 1).

Karena PNI dianggap sebagai ancaman, pada akhirnya De Graeff mendapatkan intimidasi dari kalangan pejabatnya sendiri. Tekanan terutama datang dari jaksa agung dan Gubernur Jawa Barat. Menurut Ingleson, Gubernur Jawa Barat tetap melancarkan intervensi terhadap De Graeff selama tahun 1929. Namun akibat penolakan adanya intervensi dari jaksa agung sebelumnya, pada bulan Nopember atau Desember diputuskan untuk mengambil tindakan pencegahan terhadap pergerakan PNI.

Peringatan selanjutnya tentang PNI muncul dari Gubernur Jawa Tengah, P. J. van Gulik. Mula-mula ia mengkritik hasil laporan kongres pertama PNI yang berasal dari pejabat urusan Pribumi, E. Gobee, dengan menentang dan menganggap bahwa alasan Gobee tersebut cukup lembek dalam menghadapi PNI.

Bagi Gobee, PNI hanyalah kelompok kecil yang aksinya tidak secara terang-terangan menggunakan kekerasan. Ia bahkan menganjurkan pemerintah agar perlawanan terhadap PNI diganti dengan mendukung perekonomian Pribumi dan membebaskan jalan politiknya. Terhadap pernyataan seperti ini, Van Gulik bersikap kritis dan bersikukuh agar pemerintah harus bertindak represif terhadap segala aktivitas yang dijalankan oleh PNI (Soekarno: Biografi 1901-1950).

Baca Juga: JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (3): Partai Nasional Indonesia Afdeeling Bandung
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (2): Dari Rumah Tjipto Mangoenkoesoemo ke Regentsweg 22
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (1): Bermula dari Studieclub Bandung

Penggerebekan dan Penangkapan

Tahun 1929 memang masa-masa terberat sekaligus masa di mana PNI terus mengalami pertumbuhan. Pada kongres kedua di Batavia, PNI memperluas aktivitasnya ke kalangan buruh dengan menghasilkan berbagai pergerakan buruh di daerah-daerah.

Dalam perayaan ulang tahunnya 4 Juli 1929, rengrengan PNI memulai serangkaian propaganda terhadap kalangan buruh. Di antaranya memasuki Sarekat Kaoem Boeroeh Indonesia (SKBI) yang bermarkas di Surabaya. Di kota itu, Sukarno melancarkan pidatonya di tengah-tengah kelompok buruh.

Sukarno membuat jengkel pemerintah dengan menyebut imprealisme sebagai Nyai Blorong dan PNI ibarat Kumbakarna. Pada 24 Juli 1929, Jaksa Agung memerintahkan A. H. Moreu selaku Residen Surabaya untuk menggerebek markas SKBI beserta rumah pengurusnya. Kejadian ini juga merupakan buntut dari laporan residen tertanggal 18 Juli 1929, yang menyatakan bahwa SKBI telah menjalin hubungan dengan Liga Anti Penindasan. Dalam rangakaian penggerebekan para pemimpin SKBI itu, muncul nama Iwa Kusumasumantri yang ditangkap di Medan (Menjadi Indonesia buku 1).

Meski terjadi penggerebekan di daerah-daerah, propaganda PNI terhadap kaum buruh belumlah surut sepenuhnya. Malah, sepanjang bulan Juli-Agustus 1929, muncul berbagai kelompok buruh yang baru, seperti Persatoean Chauffeurs Indonesia yang berdiri di Bandung, dan kemudian berganti nama menjadi Persatoean Motorist Indonesia (PMI). Sampai tahun 1933, kelompok ini kerap menggelar vergadering.

Persatoean Motorist Indonesia bahkan sudah menyebar ke penjuru daerah di luar Bandung, seperti ke kawasan Medan. De Sumatra post edisi 19 Oktober 1933, misalnya, mengabarkan bahwa PMI akan mengadakan rapat terbuka pada hari Minggu, 29 Oktober 1933 di bawah kepemimpinan Mohammad Djoni.

Sebelumnya, pada tanggal 27 Desember 1932, surat kabar yang berkantor di Medan itu pun memberikan laporan bahwa lebih dari 50 anggota datang untuk mengikuti pertemuan di gedung Partai Indonesia, di Langkatstraat. Berita itu sekaligus mengumumkan kepengurusan Persatoean Motorist Indonesia yang bertempat di Medan. Antara lain, Mohammad Djoni menjabat sebagai ketua dan sekretaris, Djohaer sebagai wakil ketua, Karto sebagai sekretaris kedua merangkap sebagai bendahara, ditambah beberapa komisaris seperti Oeloeng, M. Iso, Latif, Rustam, A. Aziz, Salim dan Boesoe.

Sementara itu, tekanan pemerintah telah membuat pergerakan PNI lumpuh sampai tahun 1930. Banyak anggota PNI merasa ketakutan dan menyerahkan kartu anggotanya kepada pejabat setempat. Di Bandung, misalnya, lebih dari 500 anggota PNI menyerahkan kartu anggota. Di Kewadanaan Lembang, sebanyak 236 orang, dari total 640 orang anggota, menyerahkan kartu anggotanya. Di Ujungberung, dari 147 orang anggota, 96 orang di antaranya harus menyerah kepada pemerintah. Sementara itu, di Cicalengka 31 kartu keanggotaan diberikan kepada pemerintah dan di Banjaran 58 kartu anggota (Menjadi Indonesia buku 1).

Tekanan dan pengawasan pemerintah Hindia Belanda terhadap pergerakan PNI tidak berhenti di sini. Pada akhir tahun 1929, aparat pemerintah menangkap Sukarno, Gatot Mangkoepradja, dan Maskoen Soemadiredja saat berada di Yogyakarta, sehingga membuat PNI kian lumpuh. Dari Yogyakarta, ketiga tokoh itu kemudian dibawa ke Bandung untuk diadili di depan persidangan Landraad Bandung.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//