GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #41: Gunung Sanggara, Menikmati Kekayaan Hutan Tropis di Petilasan Ciung Wanara
Gunung Sanggara kaya akan flora dan fauna khas hutan tropis yang relatif masih terjaga kelestariannya. Riwayat penamaannya diyakini terkait legenda Ciung Wanara.
Gan Gan Jatnika
Pegiat Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB), bisa dihubungi via Fb Gan-Gan Jatnika R dan instagram @Gan_gan_jatnika
21 November 2022
BandungBergerak.id - Jika kita ingin menikmati perjalanan di tengah suasana hutan belukar yang masih rimbun, mengunjungi Gunung Sanggara adalah pilihan tepat. Jalan setapak kawasan ini masih berupa permukaan tanah dengan kelembaban yang terjaga. Banyak daun dan bunga gugur dari pohonnya, lalu berserakan di atasnya.
Lokasi dan Akses
Gunung Sanggara memiliki ketinggian 1.903 meter di atas permukaan laut (MDPL), merujuk peta RBI (Rupa Bumi Indonesia) lembar peta 1209-314, edisi I-2001 dengan judul peta: Lembang, skala 1:25.000. Dari pusat kota Bandung, jaraknya sekitar 20 kilometer ke arah timur laut.
Secara administratif, Gunung Sanggara berada di perbatasan Kabupaten Bandung, Kabupaten Subang, dan Kabupaten Sumedang. Untuk mencapainya dari arah Bandung, kita bisa melalui Kampung Pangli di Desa Cipanjalu, dari arah Subang melalui Desa Cupunagara, serta dari Sumedang melalui Desa Genteng. Yang paling populer dari ketiganya adalah jalur Kampung Pangli.
Kampung Pangli mulanya merupakan permukiman bagi karyawan perkebunan kina Panglipur Galih di era Hindia Belanda. Didirikan pada tanggal 3 Februari 1833, perkebunan ini merupakan bagian dari kompleks perkebunan kina Bukittunggul. Yang masih tersisa saat ini, selain kampung pegawainya, tinggal pondasi batu. Merujuk sejarah ini, nama Kampung Pangli sangat mungkin berasal dari pemendekan Panglipur Galih.
Kita dapat mencapai Kampung Pangli dari Cibodas Lembang, dengan terlebih dahulu melewati kawasan Wisata Maribaya. Bisa juga perjalanan ditempuh dari Alun-alun Ujungberung melalui jalan di belakangnya atau di sebelah utaranya.
Memanfaatkan layanan daring semacam Google Maps, kita bisa mengetikkan kata kunci Kampung Pangli atau Wisata Kina Bukit Unggul. Nantinya peta dan jalur akan tersaji.
Lokasi Ideal Berlatih Survival
Keragaman flora dan fauna yang ada di Gunung Sanggara menjadikan gunung ini acapkali dipilih sebagai tempat untuk berlatih survival atau kemampuan bertahan hidup di alam bebas. Tidak heran jika ditemukan beberapa kawasan berupa dataran berukuran lumayan luas yang tampaknya sering digunakan sebagai area berlindung (shelter) atau berkemah (campground) dalam kegiatan pendidikan dan latihan dasar pecinta alam.
Flora yang tumbuh di dalam hutan Gunung Sanggara beragam, mulai dari pakis-pakisan, sarang burung atau kadaka, nangsi, saninten, begonia, bobontengan, hingga ki sireum yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber makanan. Ada juga flora lain yang memiliki daun panjang serta lebar seperti pisang, honje, dan bingbin yang bisa dimanfaatkan untuk membuat tempat berlindung atau tempat tinggal darurat. Dalam dunia petualangan tempat darurat ini biasa disebut dengan nama bivak atau bivouac.
Tidak heran jika kemudian kawasan hutan di Gunung Sanggara ini dikenal dengan nama Taman Survival.
Sementara itu, fauna yang hidup di kawasan Gunung Sanggara di antaranya adalah babi hutan, monyet ekor panjang, lutung, kijang atau mencek, bajing, musang, elang, julang, dan macan tutul.
Baca Juga: GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #40: Gunung Masigit dan Pasir Malang, Dua Keindahan Tersembunyi di Kawasan Tahura Djuanda
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #39: Gunung Singa Soreang, Pesona Bentang Alam dan Fosil Gunung Api Purb
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #38: Gunung Bohong Cimahi, Wisata Alam Tak Jauh dari Pusat Kota
Tanjakan Terjal Menuju Puncak
Banyak orang memilih memulai pendakian menuju Gunung Sanggara dari Kampung Pangli salah satunya karena keberadaan fasilitas pendukung yang relatif lengkap. Di sini telah tersedia tempat parkir, warung, toilet, dan musala. Meskipun sederhana, semua dalam kondisi cukup layak.
Salah satu pilihan parkir adalah sebuah rumah dengan halaman samping cukup luas yang berada di ujung kampung. Pemilik rumahnya bernama Pak Taki. Sementara itu, warung yang paling dekat adalah warung Teh Ani. Di warung sederhana ini tersedia jajanan untuk bekal mendaki. Kita pun bisa memesan segelas kopi panas atau semangkuk mie instan lengkap dengan telur. Terbayang enaknya jika nanti pulang mendaki menikmati sajian tersebut.
Perjalanan menuju Puncak Gunung sanggara dimulai dengan meninggalkan kampung dan menyusuri jalanan berbatu, sebelum menjumpai jalan setapak dengan kiri-kanan perkebunan sayuran serta pohon tegak berjenis eucalyptus. Di jalan setapak ini kita akan melewati dua buah sungai kecil yang airnya jernih.
Selepas jalan setapak, perjalanan kembali menemui jalur berupa jalan berbatu. Tak berapa lama kemudian kita akan menemukan sebuah tugu setinggi 50-60 sentimeter. Tugu ini merupakan penanda batas wilayah antara Kabupaten Bandung dan Kabupaten Subang. Tulisan di plakatnya masih cukup jelas terbaca. Ada dua plakat di sana, sayangnya salah satu di antaranya sudah terlepas dan hilang.
Perjalanan diteruskan dengan menyusuri jalanan berbatu tersebut hingga tiba di sebuah area terbuka yg cukup luas. Dari area ini, kita bisa menikmati bentang alam beberapa gunung dengan puncaknya yang rimbun. Di selatan tampak Gunung Pangparang, di barat daya agak jauh posisinya terlihat Gunung Palasari, di barat laut tampak Gunung Bukittunggul, sedangkan di timur laut terlihat Gunung Sanggara.
Dari area terbuka ini, terdapat jalur menuju Situ Urugan atau Situ Tengkorak, selain juga jalur menuju puncak Gunung Pangparang.
Untuk mencapai Gunung Sanggara, kita memilih jalur ke utara. Jalur ini berupa jalan setapak dengan kiri-kanannya berupa semak belukar. Jalurnya cukup jelas, kita tinggal mengikuti saja. Namun, kita tetap harus fokus dan konsentrasi karena ada beberapa jalur lintasan yang mirip dengan jalur menuju puncak.
Beberapa puluh meter sebelum mencapai puncak Gunung Sanggara, jalur akan semakin terjal. Kondisi cuaca berkabut atau hujan akan membuat jalur ini licin. Untuk membantu menyusurinya, kita bisa berpegangan ke dahan atau akar yang cukup kuat.
Di puncak Gunung Sanggara, terdapat area untuk beristirahat meskipun tidak terlalu luas. Di musim hujan, kita hendaknya berhati-hati ketika duduk-duduk santai di puncaknya karena sering ditemui makhluk mungil penghisap darah, yaitu lintah. Jika terlanjur ada lintah yang menempel di tubuh, jangan panik atau mencabutnya dengan tiba-tiba. Cukup teteskan benda cair yang memiliki aroma menyengat semisal air tembakau atau minyak kayu putih. Nanti lintah yang menempel akan lepas dengan sendirinya. Jangan lupa di tempat bekas gigitannya ditetesi obat luka atau antiseptik.
Selama perjalanan turun dari puncak, kita tidak boleh hilang kewaspadaan. Pastikan kita menempuh jalur yang sama dengan yang kita lalui dalam perjalanan berangkat. Jika merasakan ada perbedaan, segera kembali. Disorientasi atau tersesat arah lebih banyak terjadi saat perjalanan turun dibanding saat menuju puncak.
Toponimi Gunung Sanggara
Nama Gunung Sanggara, menurut Pak Taki, warga Kampung Pangli yang halaman rumahnya dijadikan tempat menitipkan kendaraan, berasal dari kata “sanggar” yang awalnya berarti “sangar” atau menyeramkan, terutama bagi yang datang ke sana dan berkata sompral atau sombong atau pongah.
Menurut Pak Taki, seringkali terjadi hal-hal yang tidak diharapkan ketika pendaki atau siapa pun yang datang ke sana tidak menjaga kesopanan ucapannya. Yang paling banyak, mereka tersesat atau seperti disesatkan. Ini dialami bukan hanya oleh para pengunjung, tetapi juga warga setempat yang sudah sering ke sana. Mereka kesulitan mencari jalan pulang.
Versi lain menyebut penamaan Gunung Sanggara berasal dari kisah yang terkait keberadaan Sembah Dalem Sunan Margataka atau Sang Manarah alias Ciung Wanara. Makam petilasan Ciung Wanara diyakini berada di kawasan Situs Budaya Batu Loceng.
Ciung Wanara adalah seorang bangsawan dari Saunggalah yang masih keturunan dari Raja Kerajaan Galuh. Dikisahkan, sang tokoh pernah berada di kawasan Gunggung Sanggara ini, bersama para senapatinya yang setia. Ada belasan senapati, di antaranya adalah Prabu Layang Kencana, Layang Sari, Langlangbuana, Eyang Aria Geger Sunten, Eyang Aria Sanggar Jaya, serta Aki dan Nini Kantaya.
Para senapati dan orang-orang kepercayaan Ciung Wanara tinggal di daerah yang berbeda-beda. Kelak nama mereka akan dikaitkan dengan toponimi daerahnya. Misalnya, Senapati Layang Sari di Gunung Palasari, Aki dan Nini Kantaya sebagai ahli pertanian di Pasir Nini, Aria Geger Sunten di Gegersunten atau Suntenjaya, dan Eyang Aria Sanggar Jaya sebagai juru bicara di Gunung Sanggara. Penamaan Gunung Sanggara, dalam versi ini, dikaitkan dengan keberadaan Eyang Aria Sanggar Jaya.
Menarik memang membicarakan keberadaan Ciung Wanara di kawasan ini. Untuk mendapatkan informasi lebih banyak, kita bisa mengunjungi Siitus Budaya Batu Loceng dan berbincang dengan juru peliharanya.
Bagian dari Kawasan Hutan Lindung Cijambu (HLC)
Wilayah timur laut Bandung Raya memiliki banyak gunung. Kawasan pegunungan ini tediri dari hutan yang rimbun dan perkebunan luas, baik sayuran ataupun pohon tegakkan. Beberapa gunungnya antara lain: Gunung Manglayang, Gunung Pacet, Gunung Kasur, Gunung Pangparang, Gunung Pangporang, Gunung Palasari, Gunung Putri, Gunung Sanggara, Gunung Kadaka, Gunung Sembung, Gunung Ipis, dan Gunung Jambu.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, kawasan ini dikembangkan menjadi perkebunan kina. Tercatat ada nama perkebunan kina Sukamanah, Geger Sunten atau Cikapundung, Panglipur Galih, Pangparang, Cisarua, dan Gunung Kasur. Semuanya berada dalam satu kawasan perkebunan Bukit Unggul yang didirikan pada tahun 1881. Sekarang perkebunan kina ini sudah banyak beralih fungsi menjadi lahan sayuran dan pohon tegakkan, terutama eucalyptus. Pohon ini dipilih karena masa tumbuh dan panennya lebih cepat dibandingkan kina. Kayunya juga bisa digunakan sebagai bahan baku pembuat kertas.
Kawasan Gunung Sanggara termasuk kawasan HLC (Hutan Lindung Cijambu) di bawah pengelolaan Resort Pemangkuan Hutan Cijambu, BKPH Manglayang Timur. Selain Gunung Sanggara, ada juga Gunung Putri, Legok Honje, Pangauban, Bewak dan Pasir Panjang yang masuk kawasan HLC ini. Predator utama sekaligus penyeimbang ekosistem di kawasan ini adalah macan tutul (panthera pardus melas curvier). Penelitian oleh tim Universitas Winaya Mukti pada tahun 2017, yang hasilnya dimuat dalam artikel Inventarisasi Keberadaan dan Penyebaran Jejak Macan Tutul (Panthera pardus melas Curvier, 1809) di Hutan Lindung Cijambu Kabupaten Sumedang, menyimpulkan sekurangnya masih terdapat tiga ekor macan tutul.
“Di HLC, banyak vegetasi pohon berpotensi sebagai pelindung bagi macan tutul. Tegakan pohon yang mendominasi di HLC antara lain nangsi (Villebrunea rubescens), kihiur (Castanopsis acuminatissima), puspa (Schima walichii), saninten (Castanopsis argentea), kayu pasang (Quercus sundaica), kijambe (Areca catechu), dan beunying (Ficus fistulosa). Tegakan pohon tersebut tersebar di wilayah Blok Legok Honje, Pasir Panjang, Gunung Putri, Gunung Sanggara, Bewak, dan Pangauban,” demikian keterangan dalam penelitian tersebut.
Jadi tak perlu heran ketika mengunjungi Gunung Sanggara, kita kadang menemukan feces (kotoran) beragam hewan mamalia. Termasuk macan tutul!
*Tulisan kolom Gunung-gunung di Bandung Raya merupakan bagian dari kolaborasi bandungbergerak.id dan Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB)