SEJARAH MUSEUM GEOLOGI 1929-1945 #18: Koleksi Berharga Diangkut Jepang
Bala tentara Jepang tidak melakukan perubahan signifikan di Museum Geologi Bandung, selain merekrut pegawai bumiputra. Mengangkut banyak koleksi berharga.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
29 November 2022
BandungBergerak.id - Bagaimana keadaan jawatan pertambangan, termasuk Museum Geologi, pada masa pendudukan bala tentara Jepang antara 1942 hingga 1945? Sekilas, saya membaca riwayatnya dari buku karya Rab Sukamto dkk. dengan tajuk Menguak Sejarah Kelembagaan Geologi di Indonesia: Dari Kantor Pencari Bahan Tambang Hingga Pusat Survei Geologi (2006).
Menurut Rab Sukamto dkk., pada 1941, menjelang kedatangan Jepang, koleksi percontoh dan pustaka di gedung Geologisch Laboratorium dibongkar, dikemas, dan dikeluarkan atas perintah penguasa militer Belanda. Alasannya gedung tersebut akan digunakan sebagai markas tentara dan berharap tidak akan dibom oleh Jepang. Saat itu direktur jawatan pertambangannya Ir. W. C. B. Koolhoven.
Ketika bala tentara Jepang sudah menduduki tanah air, mereka berupaya membenahi koleksi yang menumpuk di luar gedung Geologisch Laboratorium untuk dikembalikan seperti keadaan semula. Namun, karena banyak koleksi yang rusak dan hilang, ditambah katalognya sebagian hilang, ikhtiar tersebut jauh dari yang diharapkan.
Selama 1942-1945 juga terjadi perubahan nama jawatan pertambangan. Namanya sempat menjadi Kogyo Zimusho pada 1942 dan dipimpin oleh Mitsuchi. Setahun kemudian, 1943, namanya berganti lagi menjadi Chishitsuchosacho, dengan struktur organisasi meliputi Chishitsu Kakari (perpetaan); Kosan Kakari (gunung api); Seizu Kakari (kartografi, laboratorium paleontologi, dan kimia); dan perusahaan tambang yang diusahakan oleh badan usaha Jepang.
Selama dikuasi bala tentara Jepang, tidak banyak kegiatan yang dilakukan jawatan pertambangan. Mereka sedikit melakukan penyelidikan geologi dan tambang dan laporan-laporannya hanya berupa arsip. Mereka juga memanfaatkan ahli geologi Belanda yang diinternir seperti Dr. Ir. R.W. van Bemmelen yang ditugaskan menyelidiki gunung api. Ia juga termasuk yang dipekerjakan Jepang untuk menerjemahkan laporan dari bahasa Belanda ke Inggris.
Selain itu, konon, nama Rembrandtstraat atau Wilhelminaboulevaard di depan Museum Geologi diubah menjadi Jalan Dai Nippon Cahaya Asia. Namanya menjadi Jalan Pangeran Diponegoro pada tahun 1951, saat Indonesia beberapa lama diakui kedaulatannya oleh Belanda.
Dalam tulisan kali ini, saya akan menambahkan keterangan “baru” yang saya temukan sepanjang berkaitan dengan Museum Geologi dan jawatan pertambangan secara umum pada masa pendudukan bala tentara Jepang. Tulisan ini sekaligus menguji fakta yang disodorkan oleh Rab Sukamto dan kawan-kawan di atas.
Iklan Mencari Tenaga Bumiputra
Bukti yang saya temukan adalah iklan yang dimuat dalam koran terbitan Bandung zaman Jepang, yaitu Tjahaja. Dari edisi tahun 2604 atau 1944 saya menemukan paling tidak ada dua iklan yang dipasang oleh jawatan pertambangan zaman Jepang.
Pertama, dalam edisi Senin, 19 Rokugatsu 2604 (19 Juni 1944) saya menemukan iklan yang dipasang Chishitsuchoosazo dan menerakan kebutuhan akan belasan tenaga kerja. Rinciannya: “5 orang lelaki boeat djoeroetoelis, jang tjakap berbahasa Nippon; 3 orang perempoean boeat djoeroeketik, tjakap berbahasa Nippon; 5 orang lelaki boeat koki; dan 5 orang lelaki boeat djaga malam”.
Belasan pegawai itu, konon “akan dipekerjadjakan di kantor Chishitsuchoosazo, Wilhelminaboulevaard, Bandoeng”. Semuanya harus datang langsung ke kantor yang memerlukan tenaga mereka dengan membawa surat-surat keterangan dan ijazah. Di bawah iklan tersebut diberi keterangan pemasangnya: Chishitsuchoosazo.
Dari iklan tersebut, kita tahu bahwa tahun 1944 nama lembaganya memang sudah berubah menjadi Chishitsuchoosazo atau Chishitsuchosacho. Bala tentara Jepang tampaknya mengalami kekurangan pegawai, setelah para pegawai bangsa Belanda mereka masukkan ke dalam kamp. Oleh karena itu, mereka membuat iklan yang ditujukan bagi bumiputra, dengan syarat mampu berkomunikasi menggunakan bahasa Jepang. Satu lagi, hingga Juni 1944, nama Wilhelminaboulevaard tidak atau belum berubah menjadi Jalan Dai Nippon Cahaya Asia.
Iklan kedua bertitimangsa Rebo, 21 Rokugatsu 2604 (21 Juni 1944) atau dua hari setelah iklan pertama. Lagi-lagi bala tentara Jepang membutuhkan tenaga para bumiputra. Kali itu yang mereka butuhkan para pemuda berusia 15-18 tahun untuk dididik pada kursus mantri laboran dan mantri ukur.
Berikut ini sebagian teks iklannya: “Ditjari. Pemoeda-pemoeda bangsa Indonesia jang beloem beristeri dan jang berbadan sehat serta beroemoer antara 15 dan 18 tahoen boeat diterima mendjadi peladjar pada koersoes mantri-laboran dan mantri-oekoer jang akan diboeka di-Bandoeng pada boelan 7 tahoen 2604. Mereka akan dioedji dan jang loeloes dalam oedjian itoe haroes teroes tinggal di-Asrama, dimana mereka dapat makan, pakaian dan lain-lainnja”.
Selain itu, katanya, kursus itu akan berlangsung selama setahun setengah dan mendapatkan tunjangan bulanan. Syaratnya mereka harus lulusan, paling tidak, sekolah rakyat atau sekolah dasar, dan membawa sendiri surat keterangan dan ijazah pada tanggal 30 Juni 1944 pukul 08.30. Di bawah iklannya tersaji keterangan “Bandoeng Chishitsuchoosazo, Wilhelminaboulevaard, Bandoeng”.
Iklan ini mengingatkan saya pada pengalaman A. F. Lasut (1918-1949), pahlawan kemerdekaan nasional yang digelari “ahli tambang Indonesia pertama”. Menurut K. Kusumadinata dan Adjat Sudradjat (Perkenalan dengan Beberapa Perintis Geologi Indonesia, 1975), Rab Sukamto, dkk. (2006), dan Adjat Sudradjat (Van Bemmelen: Kisah di Balik Ketenarannya, 2014), setelah tidak dapat merampungkan kuliah di Technische Hoogeschool (THS, ITB) sejak 1938, A.F. Lasut masuk ikatan dinas asistent geologen cursus (kursus asisten geologi) dari jawatan pertambangan.
Kursus tersebut merupakan upaya pemerintah kolonial untuk memperoleh tenaga ahli agar dapat melanjutkan penyelidikan geologi di Hindia Belanda. Perang Dunia II sudah menjelang. Tenaga baru dari Eropa sukar didatangkan. Apalagi hubungan dengan Belanda terputus. Oleh karena itu, pada 1939 dibuka kursus asisten geologi. Syaratnya lulusan HBS bagi Belanda dan indo serta AMS-B untuk bumiputra. Untuk angkatan pertama yang dimulai pada Mei 1939, peserta kursusnya J. van Gorkom dan Meinecke, ditambah bumiputra R. Sunu Soemosoesastro dan A. F. Lasut. Dosennya antara lain R. W. van Bemmelen.
Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh Jepang tahun 1944, bahkan mungkin sebelumnya, untuk mengusahakan tenaga kerja terdidik dari kalangan bumiputra bukan hal baru. Melainkan dapat dikatakan meneruskan upaya yang telah dimulai oleh pemerintahan Hindia Belanda.
Baca Juga: SEJARAH MUSEUM GEOLOGI 1929-1945 #17: Panduan Singkat Van Bemmelen
SEJARAH MUSEUM GEOLOGI 1929-1945 #16: Kolonel Rusia Menjaga Seismograf
SEJARAH MUSEUM GEOLOGI 1929-1945 #15: Kaji Banding Irene Crespin
Keterangan De Neve
Fakta lain yang saya temukan adalah keterangan G. A. De Neve dalam Natuurwetenschappelijk Tijdschrift voor Nederl. Indië edisi Oktober 1946. Di situ dia menulis artikel bertajuk “The Geological Museum at Bandoeng during and after the Japanese Occupation” (Museum Geologi Bandung selama dan setelah pendudukan Jepang).
Menurut De Neve yang menulis pada 15 Juni 1946 itu, setelah Hindia Belanda bertekuk lutut pada Maret 1942, bala tentara Jepang langsung menguasai bangunan Museum Geologi karena bangunan tersebut sebelumnya dijadikan kantor oleh Angkatan Udara Hindia Belanda (Militaire Luchtvaart) dan semua koleksi ilmiah sudah disimpan.
Pada hari-hari pertama berkuasa, kata De Neve, bala tentara Jepang membuka peti besi dan mengambil isinya berupa emas, intan dari Kalimantan, dan batu-batu mulia. Sementara peti-peti besi yang berisi material ilmiah tidak mereka sentuh. Pada saat yang sama, batu meteor dari Rembang pun raib.
Konon, warga sipil Jepang sudah mengenal lama Museum Geologi Bandung. Mereka bahkan tertarik kepadanya. Prof. H. Tanakadate, misalnya, merupakan anggota jauh Koninklijke Natuurkundige Vereeniging in Nederlandsch-Indie yang hadir sebagai peserta dalam perhelatan Kongres Ilmu Pengetahuan dan Sains Pasifik IV di Batavia dan Bandung pada 1929. Pada Maret 1942, dia datang ke Hindia Belanda dan berupaya untuk membangkitkan lagi jawatan pertambangan. Oleh karena itu, ahli geologi dan insinyur Belanda yang ditahan dilepaskan dan penyelidikan geologi serta pertambangan dimulai lagi. Namun, pada Desember 1942 para ilmuwan itu ditempatkan lagi sebagai tahanan perang.
Seperti yang sudah disebutkan di atas, tidak banyak yang dilakukan pada zaman pendudukan bala tentara Jepang. Kata De Neve, secara umum, orang Jepang menjaga gedung, banyak koleksi, laboratorium-laboratorium, dan perpustakaan Museum Geologi dalam keadaan baik. Bahkan menambah buku-buku dari koleksi pribadi. Terlepas dari beberapa pencurian dan penjualan properti museum demi keuntungan pribadi.
Menurut De Neve, koleksi penting Museum Geologi yang hilang saat itu adalah fosil tengkorak Ngandong No. IX (Homo neanderthalensis soloensis Oppenoorth). Fosil itu dibawa oleh Jepang dengan menggunakan pesawat udara pada April 1942, bersama benda-benda berharga lainnya. Beberapa koleksi berharga lainnya, seperti fosil ikan hasil eksplorasi geologi Musper di Sumatra, diperlakukan juga dengan buruk.
Selanjutnya, De Neve memandang negatif orang Indonesia setelah menyatakan proklamasi kemerdekaan. Konon, setelah pasukan Sekutu mengambil alih kekuasaan dari Jepang dan berperang dengan pejuang Indonesia (De Neve menyebutnya sebagai Indonesian gangs), setelah Desember 1945, pekerjaan di Museum Geologi Bandung untuk jawatan pertambangan dimulai lagi.
Sayangnya, kata De Neve – yang terus menyudutkan para pejuang kemerdekaan Indonesia – koleksi museum sebagian tetap acak-acakan oleh orang-orang Indonesia (“however the museum collections were partly left behind in disorder by the Indonesians”). Sebagian koleksi paleontologi belum ditemukan kembali atau barangkali hilang. Bijih emas dan perak dicuri, demikian pula perlengkapan ilmiah, mikroskop, pakaian laboratorium, dan semua perkakas fotografi.
Hingga Juni 1946, menurut De Neve, sebagian kerusakan telah diperbaiki dan Museum Geologi sudah dibuka lagi untuk kalangan umum. Pimpinan jawatan pertambangan merangkap sebagai pejabat direktur Museum Geologi Bandung saat itu adalah Professor Ir. M. E. Akkersdijk.
Keterangan G.A. de Neve ada sambungannya dengan pernyataan atau pemberitaan dari G.H.R. von Koenigswald saat berkunjung ke New York awal Oktober 1946. Dalam Het Dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia (3 Oktober 1946) antara lain dikatakan salah satu tengkorak fosil Pithecanthropus dicuri oleh Tanekadata dan dibawa ke Jepang. Saat itu sudah ada upaya untuk mengambil lagi koleksi berharga tersebut dari pihak Jepang, tetapi tampaknya tidak berhasil.
Sebagai catatan, setelah kedaulatan Indonesia diakui oleh Belanda pada 1949, De Neve memilih menjadi warga negara Indonesia, tinggal di Bandung, dan akhirnya menjadi guru besar jurusan geologi Unpad. Bahkan, menurut Adjat Sudradjat (“Abu Prof. G.A. de Neve Ditabur di Tangkubanparahu”, dalam Ilustrasi Geologi, 1997), seperti guru besar geologi dari ITB Prof. H. Th. Klompe, De Neve berwasiat untuk menaburkan abu kremasinya di kawah Tangkuban Parahu.
Sementara itu, pejuang Indonesia yang merebut gedung Museum Geologi dan berperang melawan Sekutu untuk mempertahankannya di antaranya A.F. Lasut. Ia dan kawan-kawan sesama pejuang Indonesia merebut kantor Chishitsuchoosazo pada 28 September 1945. Sebagai penghormatan atas tindakan heroik itu, setiap tanggal 28 September diperingati sebagai Hari Jadi Pertambangan dan Energi.