SEJARAH MUSEUM GEOLOGI 1929-1945 #17: Panduan Singkat Van Bemmelen
Selama zaman Jepang, R.W. van Bemmelen dan keluarganya ditahan di kamp Bandung. Dokumen dan naskah sintesis geologi Hindia Belanda dititipkan kepada mantri geologi.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
16 November 2022
BandungBergerak.id - Sepanjang yang dapat saya telusuri, uraian sejarah dan koleksi Museum Geologi pertama-tama ditulis oleh Dr. Ir. James W. Nash, “De Opsoringsdienst, de Geologische Dienst van Nederlandsch-Indie, en zijn Laboratorium” (De Mijningenieur No. 1, Januari 1930.
Kemudian ada Dr. Ir. W.H. Hetzel yang menulis “Wandeling door het Verlden” untuk “Bandoeng Nummer” sebagai “Extra Blad van De Locomotief” (De Locomotief, 27 Desember 1935). Kemudian, dalam kerangka jalinan kerja sama Museum Geologi Bandung dan Bandoeng Vooruit, Dr. Ir. R.W. van Bemmelen, menulis artikel bersambung dalam Mooi Bandoeng dengan judul “Het Geologisch Museum te Bandoeng” (Mooi Bandoeng No. 6, Juni 1938 dan No. 7, Juli 1938).
Selain ditulis bersambung, Van Bemmelen membukukannya dengan judul Beknopte Gids voor het Geologisch Museum te Bandoeng. Namun, buku setebal 14 halaman itu tidak mencantumkan penerbit dan titimangsa terbitnya. Tetapi bila melihat kesuaian isi dengan yang tulisan yang dimuat dalam Mooi Bandoeng, dapat dipastikan Beknopte Gids diterbitkan pada 1938.
Masalahnya duluan mana, apakah dimuat dulu di Mooi Bandoeng lalu dibukukan? Atau sebaliknya? Bila melihat kecenderungan umum publikasi ilmiah terbitan Hindia Belanda, paling tidak sejak abad ke-19, yang kerap membuat publikasi tersendiri dari karya yang sebelumnya dimuat di koran, majalah, atau koran, maka kuat dugaan mekanisme ini pula yang dilakukan Van Bemmelen saat menerbitkan buku panduan ke Museum Geologi Bandung.
Pulang ke Hindia Belanda
Sebelum sedikit mengulas isi buku yang disusun oleh Van Bemmelen, saya akan mengurai riwayat hidup ahli geologi tersebut, berdasarkan beberapa pustaka. Di antaranya “In Memoriam R. W. van Bemmelen” (dalam Geologie en Mijnbouw Vol. 63 No. 1, 1984) karya Willem J. M. van der Linden dan Van Bemmelen: Kisah di Balik Ketenarannya (2014) karya Adjat Sudradjat, ditambah guntingan koran.
Dari berbagai pustaka itu diketahui nama lengkap Van Bemmelen adalah Reinout Willem van Bemmelen. Ia dilahirkan di Batavia, pada 14 April 1904. Ayahnya, Willem van Bemmelen, adalah Direktur Lembaga Meteorologi, Seismologi dan Geomagnetik Kerajaan di Batavia.
Mula-mula, ia menempuh pendidikan di Batavia pada Koning Willem III School sejak 1916 (Bataviaasch Nieuwsblad, 29 April 1916). Sekolah menengahnya (Hogere Burger School) ia tempuh di Haarlem, Belanda. Ia berangkat ke Belanda pada 17 Juli 1920 menggunakan kapal laut Kawi, jurusan Batavia-Rotterdam (De Preanger-bode, 17 Juli 1920).
Karena pengaruh ayahnya, Van Bemmelen kuliah di Technische Hoogeschool Delft, mengambil bidang pertambangan dengan konsentrasi pada ilmu geologi. Ia tercatat mulai kuliah tahun 1922 (De Standaard, 11 Oktober 1922) dan lulus sebagai insinyur pada 21 Januari 1927 (De Maasbode, 22 Januari 1927).
Pada 5 Juli 1927, Van Bemmelen berhasil mempertahankan disertasi bertajuk Bijdrage tot de Geologie der Betische Ketens in de Provincie Granada, di Delft (De Maasbode, 5 Juli 1927). Disertasinya dikerjakan di bawah bimbingan H. A. Brouwer dan G. A. Molengraaff. Van Bemmelen membahas geografi, stratigrafi, tektonik, pembentukan pegunungan dan perbandingan dengan Pegunungan Alpen bagian timur serta lampiran.
Sebulan kemudian, Van Bemmelen diangkat sebagai pegawai di jawatan pertambangan Hindia Belanda (“Bestemd voor uitzending naar Ned. Indië”), antara lain bersama Ir. G. ter Bruggen (De Maasbode dan Nederlandsche Staatscourant, 6 Agustus 1927).
Mula-mula dikontrak selama lima tahun dengan pangkat sebagai insinyur kelas tiga (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 6 Oktober 1927). Kepulangannya ke Hindia menggunakan kapal laut Tjiremai pada 5 Oktober 1927, dengan jurusan Rotterdam-Batavia (De Avondpost, 6 Oktober 1927). Ia tiba di Tanjungpriok pada 6 November 1927 (De Koerier, 28 Oktober 1927).
Karier di Jawatan Pertambangan
Sekembali ke Hindia, R.W. van Bemmelen mulai bekerja di jawatan pertambangan dan menulis artikel. Di antaranya ia menulis mengenai pemboran Kawah Kamojang untuk panas bumi, dalam De Mijningenieur (Nieuwe Rotterdamsche Courant, 7 Juni 1928).
Sementara di jawatan pertambangan, mula-mula ia ditempatkan di Bagian Pemetaan Geologi dan Agrogeologi Sumatra. Akhir September 1928, ia berceramah tentang metode kerja survei agrogeologi Sumatra yang dimulai pada awal 1928 dan berkaitan dengan pemetaan geologi sistematis pada Pulau Sumatra (De Locomotief, 29 September 1928). Kemudian hasil pemetaan di Pantai Barat Sumatra diumumkan pada Kongres Ilmu Pengetahuan Alam V di Surabaya pada 1928. Saat itu, ia mempresentasikan asal-muasal Danau Toba, yang menjadi embrio teori terbentuknya ”Tumor Batak” sebagai salah satu bukti mekanisme undasi.
Selain pemetaan, Van Bemmelen ditugaskan menangani krisis gunung api. Misalnya ia ditugaskan di Gunung Merapi yang meletus hebat pada 1930. Dari Pos Babadan yang terletak lebih kurang 4 kilometer di sebelah barat puncak Merapi, ia menyaksikan bagaimana awan pijar melanda sektor barat daya dan meluluhlantakkan desa-desa di kaki gunung api itu.
Dengan menumpang kapal laut Slamat, jurusan Batavia-Rotterdam, pada 2 Juli 1930, Van Bemmelen berangkat ke Belanda dan tiba di Rotterdam pada 1 Agustus 1930 (De Locomotief, 30 Juni 1930; De Avondpost, 28 Juli 1930). Sepulang dari Belanda, pangkatnya menjadi insinyur kelas dua (De Koerier, 26 Januari 1931. Lalu, dalam kongres ilmu pengetahuan di Bandung, antara 22-25 September 1931, Van Bemmelen membawakan makalah mengenai teori undasi, judulnya “Magma undaties (Een aanvulling van Haarmann's oscillatie-theorie)” pada 24 September 1931 (Bataviaasch Nieuwsblad, 19 September 1931).
Karena resesi dunia awal 1930-an yang mempengaruhi ekonomi Hindia Belanda, kegiatan Van Bemmelen dipindahkan dari Sumatra ke Pulau Jawa. Alasannya karena keterbatasan anggaran. Penyelidikannya di sekitar Bandung menghasilkan peta geologi Lembar 36 Bandung dengan skala 1:100.000 (1934). Peta ini yang melambungkannya dengan teori ”gravitional tectonics” atau ”gliding tectonics”.
Antara 1934-1936, Van Bemmelen cuti. Ia menumpang kapal laut Marnix van Sint Aldegonde dari Batavia ke Amsterdam pada 21 Maret 1934 (De Locomotief, 19 Maret 1934). Kesempatan itu digunakannya untuk mempelajari mekanika tanah di Universitas Teknik Wina, Austria. Selama di Wina, ia sempat menyampaikan ceramah berjudul “Neue geologische Forschungen in Niederlandisch Indien” (Deli Courant, 9 Februari 1935). Ia kembali ke Hindia menggunakan kapal laut Johan de Wit, jurusan Amsterdam-Tanjungpriok, antara 25 Maret-24 April 1936 (Bataviaasch Nieuwsblad, 3 April 1936).
Sebagai insinyur nonaktif, Van Bemmelen mulai bekerja lagi di jawatan pertambangan Hindia menjelang akhir April 1936 (Soerabaijasch Handelsblad, 27 April 1936). Pada 1937, sudah terbersit di benaknya untuk menyusun sintesis geologi Hindia Belanda, yang kelak diakuinya dalam pengantar buku The Geology of Indonesia.
Tahun 1937, ia menjadi salah seorang yang menyambut kedatangan dan mengantar ekskursi Prof. Dr. Howel Williams dari Universitas Berkeley di California (Soerabaijasch Handelsblad, 7 April 1937) dan menyampaikan ceramah seputar geologi Jawa di hadapan Besoeki-planters pada 21 Agustus (Soerabaijasch Handelsblad, 23 Agustus 1937).
Ketika pada 1940, Kepala Dinas Vulkanologi Ch. Stehn yang berkewarnegaraan Jerman ditangkap oleh pemerintah Hindia, Ir. Akkersdijk diangkat sebagai penggantinya hingga Juli 1941. Sesudah itu, van Bemmelen diangkat sebagai kepala vulkanologi. Saat Gunung Anak Krakatau diberitakan aktif, ia bahkan dengan istri dan anaknya berangkat meneliti gunung api itu pada November 1941. Mereka tinggal di sebuah bivak di Pulau Panjang.
Zaman Jepang dan Indonesia Merdeka
Selama zaman Jepang, R.W. van Bemmelen dan keluarganya ditahan di kamp Bandung. Sebelum ditangkap, dokumen dan naskah sintesis geologi Hindia Belanda yang disusunnya dalam bahasa Inggris dititipkan kepada mantri geologi, yang juga bekas mahasiswa dan bawahannya, Djatikusumo.
Selama itu, Van Bemmelen dipekerjakan oleh Jepang sebagai tenaga penerjemah di Museum Geologi dan penyelidik krisis gunung api. Ini nampak ketika kegiatan Gunung Merapi meningkat pada Juni 1943, oleh Kolonel Wada yang mengepalai Kazan Chosabu (vulkanologi), Van Bemmelen diperintahkan untuk menyelidiki bahkan mendaki Gunung Merapi. Pada November 1943, ia dipindahkan ke kamp militer dan tidak mendapat panggilan lagi dari Museum Geologi.
Setelah Indonesia merdeka, ia pun bebas. Van Bemmelen kemudian datang ke Museum Geologi untuk menagih naskahnya kepada Djatikusumo, yang setelah kantor Jawatan Pertambangan di Bandung direbut oleh para pegawai dan pemuda Indonesia, menjadi kepala vulkanologi. Djatikusumo menolak permintaan itu dan menjelang pendudukan Sekutu-NICA, naskah tersebut bersama dokumen lainnya, dibawa ke tempat pengungsian di Malang.
Di masa itu, ia sempat diangkat menjadi salah seorang anggota komisi koordinasi urusan ilmu pengetahuan (“Coordinatie-commissie voor natuurwetenschappelijke zaken”) oleh pemerintahan pendudukan Belanda (NICA) telah bercokol kembali di Indonesia (Het Dagblad, 10 April 1946) dan jawatan pertambangan pun dihidupkan oleh NICA dengan kepalanya G.J. Wally. Sebelum pergi ke Belanda, van Bemmelen pernah bertemu dengan Wally dan mengemukakan ihwal naskahnya yang hilang. Namun, Wally menyarankan agar menyusun ulang naskahnya dalam bahasa Inggris, karena pemerintah pendudukan Hindia yang merupakan bagian dari Sekutu pimpinan Inggris dan Australia.
Dalam keadan demikianlah, akhirnya Van Bemmelen dan keluarganya bermigrasi ke Belanda pada 1946, dan tinggal di Den Haag. Sejak pertengahan 1946, di apartemen ”Arendsburg” yang terletak di Wassenaarseweg 142, Den Haag, ia menulis lagi, dengan memanfaatkan berpuluh-puluh tulisannya yang sudah diterbitkan serta dokumen dan publikasi di Belanda dan di kantor Jawatan Pertambangan di Batavia.
Naskahnya selesai pada 1948 dan ditelaah antara lain oleh E.A. Vening Meinesz, M.G. Rutten, I.M. van der Vlerk, J.A. Pannekoek, C. Braak, S.W. Visser, G.H.R. von Koenigswald, dan W. Nieuwenkamp. Setelah itu diperiksa oleh H. Edelman dan W.C.B. Koolhoven. M. Neumann van Padang dan Ph. X. Olivier yang mengoreksinya. Naskahnya siap cetak pada Mei 1949.
Karya monumental Van Bemmelen itu berjudul The Geology of Indonesia. Namun, menurut Adjat, buku itu mengandung kerancuan. Di antaranya, penggunaan kata “East Indies” padahal seharusnya “Indonesia”. Sebab menurut M.M. Purbo-Hadiwidjoyo, penerbitan buku tersebut dibiayai pemerintah Indonesia itu, “Rupanya buku The Geology of Indonesia telah terbit di Nederland (sebelum kedaulatan RIS diakui). Hal itu jelas merupakan putusan politik, yaitu waktunya ditepatkan dengan penyerahan kedaulatan kepada RIS. Dengan istilah Belanda, kita dapat menyebutnya sebagai semacam membayar ereschuld (membayar hutang, demi kehormatan).”
Berkaitan dengan buku tersebut pula, ternyata naskah yang terus saja disebutkan “dicuri” oleh van Bemmelen telah dikembalikan oleh kepala Jawatan Pertambangan Soenoe Soemosoesastro dalam perundingan di Belanda pada 1968. Namun, sesudah di tangan Van Bemmelen, menurut Adjat, “Naskah ”The Geology of Indonesia” sangat besar kemungkinan telah dibuang bersama berkas lainnya yang sudah tidak terpakai, mengingat rumah van Bemmelen hanyalah sebuah apartemen kecil yang terdiri dari dua kamar”.
Baca Juga: SEJARAH MUSEUM GEOLOGI 1929-1945 #14: Soetan Goenoeng Moelia Pengunjung ke-10.000
SEJARAH MUSEUM GEOLOGI 1929-1945 #15: Kaji Banding Irene Crespin
SEJARAH MUSEUM GEOLOGI 1929-1945 #16: Kolonel Rusia Menjaga Seismograf
Panduan ke Museum Geologi
Menurut Adjat, publikasi karya Van Bemmelen secara berturut-turut pada 1931 sebanyak 6 publikasi yang berkisar di sekitar gunung api, magma, dan tektonik. Tahun 1932, dia menghasilkan 8 publikasi, termasuk peta geologi. Pada 1933, ada 9 publikasi yang dibuatnya, termasuk peta geologi. Dengan catatan, publikasi sesudah 1933 lebih banyak membahas tentang teori undasi.
Tentu saja setelah 1933, banyak karya lain Van Bemmelen lainnya. Misalnya De tektonische structuur van Zuid-Sumatra (1934), The volcano-tectonic origin of Lake Toba (1939), Bauxiet in Nederlandsch-Indie (1940), De geologische geschiedenis van Indonesie (1952), dan Mountain Building (1954).
Khusus Beknopte Gids voor het Geologisch Museum te Bandoeng, saya akan mengulasnya secara singkat. Kata Van Bemmelen, di atas pintu masuk utama terpampang tulisan “Geologisch Museum” dengan huruf tebal. Begitu masuk, pengunjung akan mendapati bangunan aula yang lapang dan besar, bermandikan cahaya.
Di sebelah kiri pintu masuk, ada peta relief Kepulauan Nusantara dengan skala 1: 3.000.000. Di samping kiri aula (sayap kanan), pada dinding terdapat cetakan asli sisa-sisa Ichtyosaurus, di bawahnya ada fosil bakung laut. Di seberangnya, cetakan gips dari fosil burung Archaeopteryx. Di atas meja yang ada di bawah cetakan-cetakan fosil di atas yang berasal dari Jerman, ada fosil-fosil yang ditemukan di Pulau Jawa. Fosil yang sangat indah dan utuh adalah tengkorak badak dan kepala kuda nil. Fosil kura-kura dan buaya juga banyak.
Di latar depan, di depan pintu masuk, pengunjung Museum Geologi dapat menemukan fosil batang pohon dari lapisan batuan berumur Tersier dan Kuarter dari Banten Selatan, Madiun, dan Sawahlunto. Di tengah aula ada kerangka besar Stegodon, kerbau purba, dan badak berumur Pleistosen, dari Lembah Solo.
Di sudut sebelah timur laut aula, pengunjung dapat menyaksikan kerangka kuda nil, yang hidup di Pulau Jawa pada masa Tersier muda. Hewan semasa kuda nil adalah Mastodon, anggota tertua dari keluarga gajah, yang fragmen tengkorak beserta gadingnya ditemukan di Pulau Jawa.
Di sebelah kanan fosil-fosil itu, tergantung dua fosil ikan dari masa Eosen dan berasal dari Padang. Fosil itu ditemukan dalam lapisan lempung di Talawi dan dipersiapkan di Laboratorium Geologi. Di atas fosil ikan, spesimen gading Stegodon berukuran 3,5 meter. Di kanannya tengkorak Stegodon istimewa, Stegodon Airawa, dan di bawahnya fosil bayi Stegodon, dua kepala banteng, rahang bawah Stegodon dan perbandingan dengan tengkorak gajah biasa. Di tenggara aula, sebelah kanan pintu masuk, ada gading gajah purba yang besar dan rahang yang besar sekali.
Van Bemmelen lalu menjelaskan tentang ruang mineral di sayap barat. Di antaranya ada bijih besi dari Kalimantan dan Sulawesi, bijih nikel dari Pegunungan Verbeek (Sulawesi), bijih mangan dari Jawa dan Kalimantan, bauksit dari Riau dan Suriname, bijih timah dari Riau, Bangka, dan Belitung, wolfram, molybdeen, bismuth dan grafit dari Kalimantan, Sumatra, Bangka, Belitung, dan Riau. Ada gerinda dan wajan pencuci emas primitif yang digunakan oleh bumiputra di Sumatra. Ada contoh gurat bijih emas dari tambang Salida.
Di sisi utara koleksi tersebut, ada bongkah pualam, granit dan berbagai batuan yang dipamerkan dalam kabinet. Contoh-contoh lainnya ada belerang dari berbagai gunung api, terutama dari Kawah Putih di Ciwidey. Salah satu batu hiasan yang spesial, menurut Van Bemmelen, adalah mineral Astridit yang diberi nama mendiang Ratu Astrid dari Belgia.
Dua ruangan lagi yang diterangkan Van Bemmelen adalah ruang paleontologi di sayap timur dan ruang vulkanologi di dekat ruang mineral. Di dekat pintu masuk ke ruang paleontologi ada rak berisi koleksi fosil tengkorak manusia purba yang ditemukan di Pulau Jawa dan tempat lainnya, misalnya Pithecanthropus dari Mojokerto. Ada juga rak koleksi batuan yang dijadikan perkakas oleh manusia purba.
Sementara begitu masuk ruang vulkanologi, kata Van Bemmelen, pengunjung akan menemukan maket Dataran Tinggi Bandung dan area vulkanik di utaranya, disertai penjelasan. Di sana juga ada kabinet-kabinet untuk memamerkan percontoh-percontoh batuan lava dari letusan tua dan muda Gunung Krakatau, Gunung Batur, dan lain-lain. Demikian pula berbagai macam bom vulkanik, produk sublimasi, obsidian, dan batu apung.
Itu sekilas yang dijelaskan Van Bemmelen. Setelah Indonesia merdeka, tradisi menyusun buku panduan ke Museum Geologi Bandung, yang dirintis Van Bemmelen dilanjutkan oleh oleh para penulis dari lingkungan jawatan pertambangan hingga sekarang menjadi Badan Geologi. Di antaranya yang paling kerap adalah Soewarno Darsoprajitno.
Sebelum Soewarno, ada M.M. Purbo-Hadiwidjojo yang menulis “Museum Geologi Bandung untuk Dokumentasi dan sebagai Alat Peraga” (Lampiran Laporan Tahunan 1961 Djawatan Geologi). Dalam tulisan tersebut, saya jadi tahu susunan ruang pamer Museum Geologi masih sama dengan yang disampaikan oleh Van Bemmelen. Sayap timur untuk paleontologi dan stratigrafi, sayap barat untuk mineral, dan ruang vulkanologi menempati ruang tersendiri.
Sementara Soewarno mempublikasikan Buku Peringatan Setengah Abad Museum Geologi, 16 Mei 1929-16 Mei 1979 (1979) dan Buku Panduan Museum Geologi (1986, 1990) yang dicetak ulang dengan variasi judul Museum Geologi: Buku Panduan untuk Memahami Peragaan Geologi (1992). Di dalamnya ia membagi ruangan Museum Geologi menjadi ruang geologi sejarah, ruang peta, ruang sumber daya mineral dan energi, ruang gunung api, dan ruang geologi umum.
Tahun 2005, sempat terbit Panduan Museum Geologi Bandung dan terakhir buku Cecep Jalan-jalan di Museum Geologi (2020) susunan Sofyan Suwardi (Ivan), dkk. Dalam buku setebal 78 halaman terbitan Badan Geologi ini nama ruang-ruangnya berubah nama, yaitu ruang geologi Indonesia, ruang sumber daya geologi, ruang manfaat dan bencana geologi, dan ruang sejarah kehidupan.
Meski demikian, dari Soewarno hingga Sofyan Suwardi, tata ruang Museum Geologi masih relatif sama: sayap timur untuk paleontologi dan stratigrafi dan sayap barat untuk mineral. Dengan catatan, pada masa Belanda, ruang pamernya hanya terbatas di lantai satu, karena lantai dua digunakan untuk kantor pemetaan, vukanologi, penyelidikan sumber daya air dan lain-lain. Sekarang ruang-ruang pamernya meliputi lantai satu dan lantai dua.