• Kampus
  • Pengguna Internet di Indonesia 200 Juta Jiwa, Peluang dan Tantangannya

Pengguna Internet di Indonesia 200 Juta Jiwa, Peluang dan Tantangannya

Penguasaan pasar internet dan teknologi Indonesia akan diambil alih negara lain jika tidak ada perhatian mengelola pengguna internet yang jumlahnya amat besar itu.

Ilustrasi. Teknologi gawai memudahkan manusia untuk menyuarakan pendapatnya di media sosial, 12 September 2022. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana8 Desember 2022


BandungBergerak.idBerdasarkan data per Februari 2022, pengguna internet di Indonesia sekitar 204,7 juta orang. Populasi sebanyak ini membuka peluang pasar berbasis internet dan teknologi digital yang sangat besar.

Jika tidak ada perhatian dan pengelolaan yang baik dalam merespons pasar sebesar ini, maka penguasaan pasar internet dan teknologi Indonesia akan diambil alih negara lain.

“200 juta ini adalah pasar. Ini kalau tidak kita ambil, akan diambil Google, Facebook, dan sebagainya. Karena masalahnya kita yang tidak siap. Kita tidak siap secara teknologi, tidak siap secara SDM, tidak siap secara pendanaan,” ujar Budi Rahardjo, dosen KK Teknik Telekomunikasi ITB, dikutip dari laman ITB, Kamis (8/12/2022). 

Budi berbicara dalam Bincang Akademik, Abdimas, dan Riset (BINAAR) yang diadakan Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI ITB), Jumat (25/11/2022).

Namun di balik potensi tersebut, tersimpan pula risiko yang harus ditanggung dari penggunaan internet dalam keseharian manusia. Ancaman risiko penggunaan internet yang paling sering terjadi adalah kebocoran data.

Basis data yang bocor dapat disebabkan oleh kelalaian pengguna maupun lemahnya pengamanan sistem yang dikembangkan. Ancaman kebocoran data tidak hanya dirasakan oleh pengguna individu, namun juga perusahaan-perusahaan besar yang sudah dilengkapi dengan teknologi pengamanan data yang canggih.

Meskipun kebocoran data sangat rentan dan dapat terjadi setiap saat, namun upaya pencegahannya harus senantiasa dilakukan melalui proteksi berlapis dan pengembangan sistem keamanan yang lebih baik.

Baca Juga: Antara Kata dan Senjata dalam Buku Blues untuk Marcos
Membedah Belum Maksimalnya Implementasi UU TPKS di Kampus-kampus
Buruh Mendesak Gubernur Jabar Tidak Mengabaikan Rekomendasi Bupati/Wali Kota Terkait Kanaikan UMK

Ancaman berikutnya yang tak kalah berisiko adalah ransomware. Ransomware merupakan salah satu jenis malware yang digunakan peretas untuk mengenkripsi data sehingga tidak bisa dibaca oleh perangkat pengguna.

Untuk dapat menggunakan kembali data tersebut, pengguna harus menggunakan kode enkripsi yang biasanya akan didapatkan setelah memberi tebusan kepada peretas. Selain ransomware pada data pengguna, ancaman peretasan dan manipulasi data juga dapat terjadi pada sistem blockchain.

Peretas biasanya akan mengubah atau mengacak data pada daftar transaksi yang belum tervalidasi sehingga akan menimbulkan masalah pada transaksi tersebut. Semua ancaman dalam internet tersebut dilakukan oleh aktor yang dikenal dengan sebutan cyber threat intelligence.

Lebih lanjut Budi menjelaskan bahwa semua sistem memiliki vulnerabilities. Umumnya orang menggunakan proteksi semisal firewall untuk melindungi sistem dari ancaman luar.

“Tapi sebenarnya masalahnya masih ada karena bersumber dari sistem itu sendiri. Kalau perlindungan yang digunakan cukup aman, masih oke. Tapi kalau tidak, ancaman dari luar menyerang keamanan, maka terjadilah security incidents,” kata Budi.

Menurut Budi, masalah keamanan siber disebabkan oleh empat faktor utama, yaitu password yang lemah, perangkat lunak yang tidak diperbarui, penipuan yang memanfaatkan kelemahan manusia (social engineering), serta transisi dari network security ke application security.

Dalam menghadapi ancaman keamanan yang ada, pengembang diharapkan mampu menciptakan aplikasi dan sistem keamanan yang lebih baik. Di sisi lain, pengguna secara umum juga harus meningkatkan pemahaman dan literasi siber agar sistem keamanan data maupun perangkatnya lebih terjaga.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//