• Riset
  • RISET UNPAR: Mendorong Pemanfaatan Remitansi Menjadi Lebih Produktif

RISET UNPAR: Mendorong Pemanfaatan Remitansi Menjadi Lebih Produktif

Remitansi berakhir pada konsumsi. Dibutuhkan mekanisme yang mendorong pemanfaatannya untuk belanja yang lebih produktif.

Di teras rumah makan Warung Suroboyo di Jalan Natuna, Bandung, dua perempuan korban pemutusan hubungan kerja (PHK) menyiapkan nasi bungkus murah, Kamis (27/5/2021). Aksi baik yang sudah berjalan selama setahun penuh itu digagas Ismaya Safitri, si empunya warung. (Foto: Prima Mulia)

Penulis Tim Penulis BandungBergerak.id5 Januari 2023


Riset BandungBergerak.id—Pandemi Covid-19 yang melanda dunia pada akhir tahun 2019 mengerem laju penempatan pekerja Indonesia untuk bekerja di luar negeri. Devisa yang diperoleh Indonesia dari pengiriman pekerja migran tersebut ikut menurun. Namun proporsi pekerja migran perempuan tetap dominan.

Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mencatat pada tahun 2019 jumlah pekerja migran Indonesia mencapai 277.489 orang. Seiring penyebaran pandemi Covid-19, jumlahnya menurun. Pada tahun 2020 jumlah pekerja migran Indonesia 113.436 orang, tahun 2021 turun menjadi 72.624 orang. Namun tahun 2022 jumlahnya mulai merangkak naik. BP2MI mencatat sepanjang Januari-September 2022 pekerja migran yang dikirim ke luar negeri berjumlah 122.870 orang. 

Namun ada yang tidak berubah jika membedah data pekerja migran Indonesia lebih dalam yakni proporsi pekerja migran perempuan yang masih dominan. Data BP2MI mencatat pekerja migran perempuan pada 2019 berjumlah 192.173 orang (69,25 persen), tahun 2020 jumlahnya 90.454 orang (79,74 persen), tahun 2021 jumlahnya 63.853 orang (87,92 persen), serta pada tahun 2022 hingga bulan September berjumlah 74.549 orang (60.67 persen).

Data tersebut menunjukkan perempuan masih menjadi wajah pekerja migran Indonesia. Perempuan yang bekerja di luar negeri menjadi pencari nafkah utama di keluarga. Perempuan migran bisa bekerja dalam jangka waktu yang relatif lama serta menghasilkan remitansi yang dikirimkan pada sanak keluarganya di tanah air secara berkala.

Remitansi yang dihasilkan tersebut dalam kaca mata negara adalah devisa. Nominalnya berbanding lurus dengan jumlah pekerja migran yang bekerja di luar negeri. Jika jumlah pekerja migran turun, remitansi secara agregat pun turun.

BP2MI mencatat penurunan remitansi tersebut mengikuti turunnya lanjut penempatan pekerja migran Indonesia. Remitansi yang dihasilkan pekerja migran Indonesia tahun 2019 berjumlah Rp 158.957.992.175, tahun 2020 Rp 132.967.882.135, serta tahun 2021 (hingga September) Rp97.859.914.200.

Badan Pusat Statistik (BPS) mengonversi nilai remitansi tersebut dalam proporsi Porduk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Pada tahun 2019 saat remintansi yang dihasilkan pekerja migran Indonesia mencapai angka tertinggi dalam empat tahun terakhir dengan nominal setara 1 persen PDB Indonesia.

Penelitian yang dilakukan oleh Elisabeth Dewi dari Parahyangan Centre for International Studies dari Universitas Katolik Parahyangan yang mengkaji remitansi dan dampaknya dalam sudut pandang pemberdayaan perempuan. Lebih jauh lagi, cara-cara pemanfaatan remitansi yang diperoleh pekerja migran perempuan dapat memicu perubahan pada lingkungan tempat asal pekerja migran tersebut.

Baca Juga: RISET UNPAR: Menelisik Kegagalan Penerapan Parkir Elektronik di Kota Bandung
RISET UNPAR: Penyebab Mudik Tidak Bisa Ditahan
RISET UNPAR: Menelisik Perubahan Pola Belanja Generasi Z saat Pandemi Covid-19
RISET UNPAR: Rahasia Kekuatan Skena Musik Indie Bandung Menaklukkan Industri Musik

Pemberdayaan Perempuan

Penelitian Elisabeth berjudul Gender Differential Patterns and Use of Remittances of Indonesian Female Domestic Workers: Empowerment and Poverty Reduction menggambarkan dampak yang terjadi saat perempuan dalam rumah tangga bekerja sebagai perempuan migran di luar negeri. Tidak berhenti di sana, remitansi yang dihasilkan pekerja migran perempuan bisa berdampak sangat  berbeda dalam komunitas  yang berbeda.

Peneliti menerapkan metode penelitian kualitatif secara filosofis dan metodologis. Penelitian dilakukan dengan menggali pengalaman subjektif pekerja migran perempuan pada studi kasus 10 pekerja migran  perempuan asal Jawa Tengah. Penelitian dilakukan dengan wawancara kelompok terarah yang melibatkan semua responden dengan menyoroti isu relasi gender, kekuasaan, dan kemiskinan; apakah perempuan di berdayakan dan dapat memperoleh manfaat dari peningkatan pendapatan yang diperolehnya.

Peneliti juga menggali perspektif organisasi perempuan yang aktif melakukan pendampingan pada pekerja migran perempuan.  Tujuan pendampingan tersebut untuk diantaranya membantu pekerja rumah tangga perempuan meningkatkan pendapatan serta produktivitasnya untuk keluar dari jerat kemiskinan.

Ada dua tujuan penelitian. Pertama, mengkaji dampak perubahan migrasi pekerja rumah tangga perempuan terhadap komunitasnya dan pembangunan di wilayahnya. Kedua mengeksplorasi cara-cara pekerja perempuan migran menggunakan materi yang diperoleh dari bekerja di luar negeri dalam jangka waktu relatif lama untuk memberdayakan diri keluar dari jerat kemiskinan.

Remitansi antara Istri dan Suami

Peneliti mendapati peran pekerja migran perempuan dalam keluarga dibenturkan dengan norma gender tradisional yang menempatkan perempuan yang sudah menikah memiliki peran sebagai ibu dan istri yang mendukung suami. Tuntutan peran yang tidak mudah diakomodir oleh pekerja migran perempuan karena alasan dan situasi yang berbeda. Di sisi  yang lain, suami adalah penerima remitansi terbesar.

Sejumlah situasi kemudian di hadapi pekerja migran perempuan pada kehidupan rumah tangganya. Dalam penelitian ini misalnya bekerja sebagai pekerja perempuan migran membuat perempuan memperoleh pendapatan lebih besar dari suami, dalam beberapa kasus suami menganggur, dalam kasus yang lain suami memilih mengandalkan uang yang diperoleh istrinya di luar negeri untuk membiayai kehidupan sehari-hari.

Dalam beberapa kasus, pekerja migran perempuan mengeluhkan suaminya yang tidak bisa berhemat dan menabung. Ada juga yang mengeluhkan penyalahgunaan remitansi oleh suaminya. Keadaan tersebut membuat tingkat kepercayaan antara suami dan istri tergerus.

Namun dalam berbagai situasi tersebut peneliti mendapati pekerja migran perempuan yang sudah menikah tersebut masih harus berjuang untuk mempertahankan hubungan pernikahan dengan suaminya. Remitansi yang dikirim menjadi syarat agar suami tetap bisa mempertahankan posisinya sebagai kepala keluarga. Perempuan pekerja migran masih mempertahankan konsep ideal bahwa laki-laki harus memiliki profil dominan dalam rumah tangga atau masyarakat.

Peneliti menggali penggunaan remitansi oleh pekerja perempuan migran. Wawancara yang dilakukan menunjukkan perempuan pekerja migran masih terjebak dalam citra ideal perempuan yang memegang posisi pengelola keuangan keluarga. Beberapa perserta dengan jelas menyebutkan mereka yang menentukan penggunaan uang yang dikirimkan pada suaminya. Beberapa cukup percaya diri dana berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan penggunaan  uang yang mereka peroleh dengan bekerja di luar negeri. Perempuan pekerja migran memiliki kekuatan untuk menentukan penggunaan uang untuk kelangsungan rumah tangga dalam jangka panjang seperti jual beli tanah, pembangunan rumah atau kamar tambahan, membeli ternak dan perabotan, meminjam uang, dan biaya pendidikan anak-anak.

Namun dalam kehidupan sehari-hari, justru suami yang mengontrol penggunaan keuangan rumah tangga sehari-hari. Dalam banyak kasus perempuan pekerja migran tidak mengetahui berapa uang yang dimiliki rumah tangga selama bekerja di luar negeri.

Remintansi dan Dampaknya

Banyak situasi terkait remitansi yang diperoleh perempuan pekerja migran mempengaruhi relasi gender antara suami dan istri. Hal ini erat kaitannya dengan norma maskulinitas pencari nafkah yang masih mengakar di Indonesia. Penggunaan remitansi yang kebanyakan dilakukan oleh suami, cenderung bertujuan mempertahankan struktur kekuasaan patriark tradisional. Remitansi akhirnya tidak membuat pekerja migran perempuan mendapatkan pemberdayaan dalam arti mencapai kendali dan tanggung jawab penuh atas uang yang mereka peroleh dengan bekerja di luar negeri.

Peneliti mendapati pekerja migran perempuan memandang remitansi sebagai sumber barang untuk konsumsi sehari-hari, bukan sebagai sumber perubahan struktural. Masalah ini menjadi kompleks ketika menyangkut dengan pemberdayaan kolektif dalam kaitannya dengan keterlibatan  mereka dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik di desa mereka. Peneliti mengidentifikasi dampak positifi dan negatif dari remitansi dalam pembangunan desa baik secara langsung dan tidak langsung.

Dampak positif tersebut terkait dengan perputaran roda perekonomian di desa yang bersumber dari remitansi yang dibelanjakan. Misalnya membuka toko kecil yang menyediakan barang konsumsi sehari-hari, merenovasi atau membangun rumah yang membuka lapangan kerja di lokasi konstruksi, membeli sawah atau tanah lalu menyerahkan pengelolaannya pada tetangganya dengan sistem gaji atau bagi hasil, serta memicu dibukanya layanan tambahan yang dibutuhkan pekerja migran.

Sementara dampak negatif juga muncul yang juga bersumber dari remitansi tersebut. Misalnya terjadinya disparitas pendapatan di satu tempat, konsumerisme berlebihan, menghalangi pencarian kegiatan lain untuk memperoleh pendapatan karena tergiur bekerja sebagai pekerja migran, serta sebagian pekerja migran perempuan yang membeli tanah atau rumah memicu kenaikan harganya

Pendidikan Kuncinya

Peneliti mendapati minimnya pendidikan yang memadai memperburuk situasi dan kondisi yang dihadapi pekerja migran perempuan terutama kaitannya dengan pengelolaan keuangan serta terkait peran gendernya sebagai istri. Namun situasi tersebut berbalik saat pekerja migran perempuan memiliki pengetahuan memadai untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan dirinya. Pengalaman tiga mantan pekerja migran perempuan membuktikannya.

Tiga mantan pekerja migran tersebut adalah Narsidah, Lili dan Sri yang menjadi contoh perempuan mantan pekerja migran yang berhasil mempromosikan konsep pemberdayaan melalui pengalaman, keluarga, dan masyarakat. Ketiganya kini menjadi aktivis Paguyuban Seruni di Kecamatan Sumbang, Kabupaten Banyumas. Paguyuban Seruni adalah organisasi berbasis komunitas yang bergerak menjadi pendamping pekerja perempuan migran yang memutuskan kembali ke daerah asalnya.

Ketiga aktivitas perempuan tersebut memiliki keyakinan bahwa perlindungan pekerja migran perempuan perlu diawali dari pemberdayaan perempuan yang terlibat dalam proses tersebut. Tanpa pemberdayaan maka upaya perlindungan akan sia-sia.

Peneliti mengutip pendapat Kabeer (1999) bahwa ada tiga dimensi utama yang saling terkait yang mempengaruhi proses pemberdayaan. Yakni sumber daya, agensi, dan prestasi. Dimensi agensi tersebut dipahami melalui pembahasan tentang proses. Peneliti memaparkan pengalaman subjektif tiga perempuan mantan pekerja migran tersebut dalam tiga dimensi itu.

Terkait sumber daya, tiga ketiga aktivis Paguyuban Seruni ini memanfaatkan posisi yang didapat untuk memperkuat proses pengambilan keputusan baik secara internal maupun eksternal terkait dengan perlindungan pekerja migran di lingkungan kerjanya. Dengan meningkatkan kemampuan baik secara individu maupun institusional mereka dapat mempengaruhi otoritas setempat untuk menemukan prioritas dalam pengambilan kebijakan di tingkat akar rumput, kecamatan, bahkan tingkat yang lebih tinggi seperti kabupaten.

Terkait proses, tiga aktivis perempuan ini melakukan beberapa kegiatan seperti negosiasi, lokakarya, diskusi dan pelatihan yang dilakukan secara individu maupun kolektif yang menunjukkan komitmennya pada perlindungan pekerja migran. Ketiganya menyatakan bahwa pilihan hidup mereka untuk terlibat langsung dan sengaja belajar untuk melakukan serangkaian proses negosiasi  bahkan protes untuk mencapai posisi yang menguntungkan bagi para pekerja migran serta masyarakat yang diwakili dalam beberapa proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka.

Selanjutnya terkait pencapaian, ketiga aktivis perempuan tersebut memiliki kesadaran yang cukup untuk menyatakan capaian dan apa yang ingin dicapai selanjutnya baik secara individu maupun bersama-sama dengan masyarakat. Ketiganya adalah perempuan yang memiliki kemauan dan kemampuan untuk membebaskan diri dan menjadi orang yang lebih mandiri sehingga tidak perlu bergantung pada orang lain untuk melanjutkan kehidupannya.

Kesimpulan dan Saran

Pada tiga aktivis perempuan mantan pekerja migran tersebut dapat dilihat hubungan antara sumber daya proses, dan pencapaian dalam bentuk yang sangat aktif. Ketiganya meningkatkan kapasitasnya sendiri sebagai sumber daya untuk meningkatkan proses hidupnya sebagai individu dan sebagai bagian dari masyarakat. Lewat beberapa kegiatan yang dilakukan mereka mempertanyakan dan mengevaluasi kembali peran dan tanggung jawab untuk melakukan perubahan dalam melindungi pekerja migran yang terkait dengan situasi dan kondisi yang dihadapi.

Dimensi sumber daya, proses, dan pencapaian juga dilihat sebagai aliran yang saling mempengaruhi. Perubahan pada satu dimensi akan mempengaruhi yang lainnya. Pada pengalaman tiga aktivis perempuan tersebut bermula dari kesadaran untuk mendapatkan akses pendidikan tinggi sebagai upaya untuk memberdayakan diri dan sekaligus mampu melindung pekerja migran lainnya.

Ketiganya membuktikan akses pendidikan akan mengarah pada pemberdayaan perempuan. Pendidikan mempengaruhi cara berpikir dan perilaku, memperluas kesempatan mendapat akses pengetahuan, meningkatkan kualitas hidup mereka baik secara individu maupun melalui masyarakat, serta memberikan kekuatan yang memungkinkan mengambil peran penting dalam proses pengambilan keputusan. Lebih jauh lagi, pendidikan membuat tiga aktivis perempuan ini mendefinisikan kembali dominasi laki-laki dalam rumah tangga dan komunitas mereka.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan tiga aktivis perempuan tersebut berhasil mendorong proses transformasi perlindungan pekerja migran di berbagai tingkatan dengan menggalang aksi kolektif mewakili kelompok marjinal dan berjuang mempertahankan hak-hak mereka di berbagai tingkatan. Upaya tersebut dilakukan dengan menempatkan Paguyuban Seruni sebagai bagian dari komunitas yang  lebih besar sehingga membuka peluang yang lebih luas lagi untuk terlibat dalam wilayah publik yang lebih luas karena perlindungan pekerja migran terkait dengan proses pencapaian kesetaraan, demokratisasi, pemberdayaan, pengembangan dan peningkatan jati diri masyarakat desa. Lebih jauh lagi, kondisi ini diharapkan menjadi dorongan bagi perempuan lain untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan dan peningkatan kesejahteraan dalam kehidupan sehari-hari mereka sebagai bagian dari masyarakat.

Peneliti melalui studi kasus pada 10 pekerja migran perempuan mendapati bahwa remitansi menghasilkan tiga ikatan jarak jauh antara pekerja perempuan migran dengan keluarganya, terutama suaminya. Yakni ikatan sosial solidaritas, timbal balik, dan kewajiban; ikatan emosional; serta ikatan ketergantungan dan kekuasaan timbal balik.

Penelitian tersebut mendapati dampak remitansi terhadap investasi dan pertumbuhan ekonomi di komunitas pekerja migran perempuan cenderung berubah dari waktu ke waktu. Sejauh mana uang dikirim, bagaimana dan di mana dibelanjakan pada dasarnya bergantung pada subjektivitas pekerja migran perempuan, pengambil keputusan dalam keluarga, dan nilai-nilai masyarakat serta kondisi ekonomi saat itu. Dalam konteks inilah remitansi berdampak sangat berbeda pada komunitas berbeda.

Peneliti mendapati masih sedikitnya kepedulian pengambil kebijakan untuk mendorong pemanfaatan remitansi secara produktif. Pemerintah diharapkan mampu menyediakan mekanisme yang mampu memanfaatkan potensi remitansi untuk pertumbuhan jangka panjang.

*Artikel RISET UNPAR terbit sebagai bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Unpar Bandung.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//