• Riset
  • RISET UNPAR: Potret Dampak Pandemi Covid-19 pada Usaha Mikro dan Kecil di Bandung

RISET UNPAR: Potret Dampak Pandemi Covid-19 pada Usaha Mikro dan Kecil di Bandung

Usaha mikro dan kecil sekali lagi membuktikan keperkasaannya menjadi penyelamat perekonomian di tengah situasi pandemi.

Pedagang di Pasar Cihaurgeulis, Kota Bandung. Pelaku UMKM menjadi penopang ekonomi nasional. Mereka terpukul pandemi Covid-19. (Iqbal Kusumadirezza/BandungBergerak.id)

Penulis Tim Penulis BandungBergerak.id6 Januari 2023


Riset BandungBergerak.id—Sudah banyak pelatihan kewirausahaan pada pelaku usaha mikro dan kecil di banyak tempat. Namun pelatihan kewirausahaan yang dilakukan oleh tim dosen Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Parahyangan menjadi sangat menarik karena dilakukan pada saat pandemi Covid-19 mulai menyebar di Indonesia. Proses pendampingan dan pelatihan yang dilakukan langsung di tengah situasi yang kritis, memandu sekelompok pelaku usaha mikro dan kecil untuk pelan-pelan keluar dari jerat krisis ekonomi yang membayang-bayangi situasi pandemi.

Bermula dari kegiatan pelatihan kewirausahaan  yang dilakukan Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Parahyangan bekerja sama dengan Gembala Sidang GBP (Gereja Baptis Pertama). Banyak pelaku usaha yang menjadi anggota jemaat gereja tersebut ingin meningkatkan kesejahteraan hidup mereka dengan bermodal usaha yang dilakoninya. Sayangnya mereka belum pernah tersentuh pembinaan dan bimbingan untuk pengembangan usahanya.

Pelatihan tersebut kemudian digelar untuk membantu pengembangan usaha jemaat gereja. Kebanyakan adalah pelaku usaha mikro yang memiliki karyawan kurang dari sepuluh orang, malah ada yang tidak memiliki karyawan satu pun. Peserta yang mengikuti pelatihan kewirausahaan tersebut diminta agar sungguh-sungguh memiliki keinginan untuk mengembangkan usahanya dengan konsisten.

Tujuan pelatihan pun sebenarnya tidak muluk-muluk. Peserta diharapkan nantinya bisa mengembangkan usaha baik dalam hal melihat dan meraih peluang, menyusun strategi, melakukan manajemen pemasaran, manajemen produksi, menghitung harga pokok produksi, serta membuat laporan keuangan sederhana untuk menghitung laba dan rugi. Materi pelatihan akan diberikan oleh dosen tetap lintas jurusan di Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Parahyangan.

Pelatihan tersebut dimulai di Semester kedua kedua tahun 2019. Peserta pelatihan angkatan pertama sengaja hanya dibatasi pada jemaat Gereja Baptis Pertama dan Gereja Baptis Bakti mengikuti perjanjian kerja sama antara Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Parahyangan dan Gembala Sidang GBP. Pada pelaksanaannya ada 20 peserta yang mengikuti pelatihan tersebut.

Pelatihan dan pendampingan dilakukan langsung oleh dosen tetap lintas jurusan di Faktultas Ekonomi Universitas Katolik Parahyangan. Dosen yang terlibat diketuai oleh Dr. Maria Merry Marianti, Dosen Tetap Jurusan Manajemen. Anggotanya adalah Dr. Paulina Permatasari dari Jurusan Akuntansi,  Dr. Istiharini dari Jurusan Manajemen, Probowo Erawan Sastroredjo S.E., MSc., dari Jurusan Manajemen, serta Natalia Christi ST., MBA dari Jurusan Manajemen.

Pelatihan kewirausahaan diselenggarakan setiap Sabtu di awal bulan selama satu semester. Pelatihan berlangsung di Gereja Baptis Pertama di Jalan Wastukencana Bandung. Peserta mendapat materi mengenai kewirausahaan, berbagai ilmu manajemen melingkupi soal Pemasaran, Produksi/Operasi, Keuangan, dan Stratejik; dan tentu saja Akuntansi sederhana. Pelatihan angkatan pertama berlangsung mulus.

Pelatihan kemudian dilanjutkan pada Semester 1 tahun 2020. Peserta angkatan kedua jumlahnya sama 20 orang. Hanya saja lingkupnya lebih luas. Sebagian jemaat Gereja Baptis Pertama, dan selebihnya jemaat Gereja Baptis Bakti. Di tengah-tengah pelatihan kewirausahaan tersebut terjadi pandemi Covid-19. 

Baca Juga: RISET UNPAR: Mendorong Pemanfaatan Remitansi Menjadi Lebih Produktif
RISET UNPAR: Menelisik Kegagalan Penerapan Parkir Elektronik di Kota Bandung
RISET UNPAR: Penyebab Mudik Tidak Bisa Ditahan
RISET UNPAR: Menelisik Perubahan Pola Belanja Generasi Z saat Pandemi Covid-19

Tahun Pertama Pandemi Covid-19

Tidak pernah terbayang jika dunia akan di amuk pandemi. Sejak virus SARS-CoV-2 teridentifikasi pertama kali di Wuhan, China pada akhir Desember 2019, virus yang kemudian dikenal dengan nama Covid-19 tersebut menyebar dengan cepat ke seluruh dunia. Penyebaran virus mematikan tersebut memaksa Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan status pandemi global. Semua negara yang saling memproteksi diri membuat perekonomian global macet.

Pandemi Covid-19 tidak melulu menyebabkan orang yang tertular sakit, hingga yang terburuk meninggal dunia. Pandemi juga membawa dampak yang lebih luas. Sektor perekonomian mungkin salah satu yang terburuk yang terkena dampaknya. Kelompok ekonomi menengah ke bawah yang paling terhimpit, terjun bebas menjadi kelompok miskin baru.

Pun demikian yang dialami peserta pelatihan kewirausahaan angkatan dua yang berlangsung mulai Februari-Agustus 2020. Pemberian materi yang awalnya dengan tatap muka, tiba-tiba harus berubah dilangsungkan daring. Namun peserta pelatihan malah makin rajin mengikutinya untuk mendapat pengetahuan menghadapi situasi pandemi yang menggerus omzet usaha.

Pemerintah saat itu memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk menekan penyebaran virus tersebut. Belakangan pemerintah mengganti penyebutannya menjadi  Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Pembatasan tersebut pada intinya untuk membatasi interaksi tatap muka untuk menekan risiko tertular, sekaligus demi memutus mata rantai penularan virus korona.

Pembatasan aktivitas memaksa semua pertemuan yang melibatkan banyak orang dilakukan daring. Aktivitas daring tersebut membuka peluang memperluas jangkauan peserta pelatihan kewirausahaan tersebut. Peserta pelatihan angkatan 3 dan 4 akhirnya dibuka bagi siapa saja yang berminat.

Peserta pelatihan angkatan 3 dan 4 akhirnya menjaring peserta yang berasal dari berbagai daerah. Angkatan ketiga berjumlah 16 peserta, dan angkatan 4 lebih banyak lagi yakni melibatkan 30 peserta. Pemberian materi pelatihan dilangsungkan sepenuhnya dengan daring. Pelatihan yang melibatkan angkatan 2 hingga 4 berlangsung sejak Februari 2020 hingga November 2020. Pelatihan masing-masing angkatan berlangsung 2-4 kali pertemuan. 

Tim dosen tetap yang terlibat pun ikut bermanuver. Pemberian materi pelatihan, sekaligus menyisipkan strategi yang perlu dilakukan peserta untuk mengatasi dampak ekonomi yang dialami pelaku usaha akibat situasi pandemi. Tim dosen yang terlibat sekaligus melakukan riset kecil mengenai dampak pandemi pada pelaku usaha mikro dan kecil.  Riset tersebut melibatkan 42 peserta pelatihan kewirausahaan yang semuanya berdomisili di Bandung.

Pelaku usaha mikro dan kecil yang mengikuti pelatihan tersebut memiliki beragam bidang usaha. Ada yang mengelola rumah pemondokan (tempat kos), restoran, produsen pakaian, produsen seprei dan bedcover, serta berdagang. Pandemi menyebabkan sebagian pelaku usaha tersebut mengubah cara berusahanya dengan dijalankan online, kendati sisanya harus meneruskan menjalaninya offline.

Semua peserta pelaku usaha mikro dan kecil yang mengikuti pelatihan kewirausahaan tersebut berpendapat sama mengenai pandemi yang membuat jalannya usaha masing-masing memburuk. Peserta pelatihan semuanya mengalami penurunan omzet usaha.

Riset yang dilakukan Maria Merry Marianti dkk. yang kemudian diterbitkan dalam “Abdimas Altruis : Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat” (Vol. 4, No. 2, Oktober 2021) mendapati lebih dari sepertiga responden (yang seluruhnya peserta pelatihan kewirausahaan) mengalami penurunan omzet hasil penjualan antara 51 persen hingga 75 persen.

“Apabila ditelusuri lebih lanjut, maka penyebab menurunnya nilai omzet atau penghasilan UMKM yang dikelola responden paling banyak disebabkan oleh penutupan atau pembatasan tempat usaha, diikuti oleh turunnya daya beli pelanggan yang selama ini membeli produk,” tulis Maria Merry Marianti dkk. (2021).

Upaya Melepas Dampak Ekonomi Pandemi

Riset yang dilakukan Maria Merry Marianti dkk. (2021) memotret sejumlah upaya yang dilakukan oleh peserta pelatihan kewirausahaan untuk lepas dari jerat dampak ekonomi dari pandemi. Riset juga menggali efektivitas materi pelatihan yang diterima peserta pelatihan yang diterima.

Survei yang dilakukan pada peserta pelatihan Angkatan ke-4 mendapati pelatihan yang diterima berdampak pada peningkatan pengetahuan pengusaha pemula untuk mengelola usahanya dengan lebih baik. Pengetahuan baru yang dimanfaatkan oleh peserta pelatihan untuk menyiasati dampak pandemi.

Peserta pelatihan menilai materi pelatihan yang diberikan cukup jelas, mudah dimengerti, serta bermanfaat. Minat peserta juga cukup tinggi, terbukti dengan keinginan peserta mengikuti pelatihan yang lain dengan topik berbeda yang mendukung pengembangan usaha seperti teknik-teknik pemasaran secara umum ataupun spesifik sesuai bidang usahanya.

Survei yang dilakukan pada responden yang lebih luas memotret sejumlah upaya yang dilakukan peserta untuk bertahan dari dampak ekonomi pandemi. Peserta pelatihan memanfaatkan pengetahuan yang diterimanya untuk meningkatkan usaha, sekaligus bertahan dari dampak ekonomi pandemi. 

Survei mendapati ada peserta pelatihan yang melakukan sejumlah upaya dengan mencari peluang baru maupun memutuskan menjual produk yang berbeda. Ada juga yang melakukan promosi besar-besaran untuk mendongkrak penjualan produknya. Beberapa yang lain beralih menjajal penjualan daring. Ada juga yang menyiasati dengan melakukan berbagai penghematan.

Khusus terkait dengan dampak ekonomi pandemi Covid-19, survei mendapat seluruh pelaku usaha merasakah langsung dampaknya pada bidang usaha masing-masing. Usaha rumah pondokan (tempat kos), restoran, katering, hotel, dan lainnya mengalami penurunan omzet. Namnu strategi mengubah teknik pemasaran dengan menggunakan pemasaran daring mampu menekan penurunan omzet tersebut.

Di tengah situasi pandemi, pelaku usaha wajib menguasai teknik pemasaran daring. Pelaku yang semula mengandalkan media pemasaran offline, harus memasarkan produk dengan cara daring agar omzetnya tidak terjun bebas.

Riset Maria Merry Marianti dkk. mendapati dampak upaya yang sudah dilakukan pelaku usaha untuk menyiasati situasi pandemi. Hasilnya, setengah responden mengaku belum ada, atau masih sedikit dampak positif dari upaya yang telah dilakukan. Sementara 31 persen responden lainnya sudah merasakan peningkatan omset atau hasil penjualan.

Sementara kenaikan omzet dengan mengubah strategi pemasaran dirasakan bervariasi. Tiga perempatnya mengaku kenaikan omzet masih di bawah 25 persen. Sementara ada yang sudah merasakan kenaikan omzet di atas 25 persen, bahkan menembus 75 persen.

Riset Maria Merry Marianti dkk. juga mendapati adanya pelaku usaha yang mengupayakan mencari strategi baru demi mengatasi dampak pandemi Covid-19. Di antaranya ada mencoba menjual produk yang berbeda, ada yang melakukan promosi besar-besaran. Pelaku usaha yang menerapkan strategi tersebut terbukti mampu menaikkan hasil penjualan walaupun masih belum siginifikan kenaikannya. Kemungkinan karena penerapannya masih terhitung baru dilakukan sehingga hasilnya belum dapat terlihat jelas.

Riset Maria Merry Marianti dkk juga mendapati responden yang mayoritas pelaku usaha kecil menengah terhitung masih beruntung dibandingkan pelaku usaha besar dari segi finansial. Beban usaha yang ditanggung tidak terlalu besar karena tidak terbebani membayar upah atau gaji karyawan, atau harus sampai memecat pegawai untuk menekan dampak pada usahanya  masing-masing akibat situasi pandemi.

Pelaku usaha mikro dan kecil merupakan merupakan entitas perusahaan yang paling banyak jumlahnya di Indonesia. Sektor tersebut juga menyerap tenaga kerja yang tidak sedikit. Usaha mikro dan kecil memang sangat rentan terpukul oleh situasi krisis. Namun usaha mikro dan kecil di satu sisi memiliki fleksibilitas untuk bertahan, dan mudah menyesuaikan diri sehingga berpotensi paling besar untuk mampu melewati situasi krisis.

Data Badan Pusat Statistik memperlihatkannya. Data tersebut memotret jumlah unit usah mikro dan kecil setiap tahunnya. Di tahun pertama pandemi Covdi-19 melanda jumlah unit usaha mikro turun dari 4,1 juta unit pada tahun 2019 menjadi 3,9 juta unit. Sementara usaha kecil justru bertambah dari 253 ribu unit bertambah menjadi 300 ribu unit usaha. Di Jawa Barat datanya hampir mirip. Sektor usaha mikro jumlahnya menurun, namun sektor usaha kecil masih tumbuh.

Data yang dilansir Open Data Jawa Barat menunjukkan titik balik tersebut. Di Jawa Barat setidaknya agregat jumlah IKM terus bertambah seakan tidak mengalami tekanan akibat situasi dampak ekonomi.

*Artikel RISET UNPAR terbit sebagai bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Unpar Bandung.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//