Seabad Observatorium Bosscha dalam Kepungan Alih Fungsi Lahan Kawasan Bandung Utara
Tak terbendungnya polusi cahaya berdampak pada Observatorium Bosscha. Di usianya yang kini genap seabad, pengamatan Bosscha pada benda-benda langit semakin melemah.
Iman Herdiana
Editor BandungBergerak.id, bisa dihubungi melalui email: [email protected].
18 Januari 2023
BandungBergerak.id - Cerita langit malam dan bintang-bintang sekarang ini mungkin hanya bisa dinikmati orang tua dulu. Anak-anak kini yang tinggal di Bandung Raya bisa jadi tidak lagi melihat semerbaknya Bima Sakti. Polusi cahaya yang dipancarkan lampu-lampu ke langit telah merampok penampakan bintang-bintang.
Tak terbendungnya polusi cahaya berdampak pada Observatorium Bosscha ITB. Di usianya yang kini genap seabad – diresmikan 1 Januari 1923 – pengamatan Observatorium Bosscha pada benda-benda langit semakin melemah.
Meningkatnya polusi cahaya ini berkaitan erat dengan pesatnya pembangunan di Kawasan Bandung Utara (KBU). Permukiman, sarana komersil atau wisata, dan padatnya Cekungan Bandung oleh bangunan, melontarkan cahaya lampu ke udara. Dampaknya, langit tidak lagi gelap pada malam hari. Teleskop-teleskop di Observatorium Bosscha ITB pun kehilangan indra ketajamannya.
“Kini 1 dari 3 orang di bumi tidak pernah melihat bentangan Bima Sakti,” demikian dikutip dari laman resmi Bosscha, Rabu (18/1/2023).
Satu-satunya observatorium di katulistiwa ini dianggap tidak layak untuk mengadakan pengamatan. Kawasan Lembang, umumnya Bandung utara, terus-menerus tersentuh pembangunan secara besar-besaran. Kawasan yang tadinya hutan berubah menjadi rumah, hotel, kafe, dan bangunan lainnya yang memerlukan lampu.
“Akibatnya banyak intensitas cahaya dari kawasan pemukiman yang menyebabkan terganggunya penelitian atau kegiatan peneropongan yang seharusnya membutuhkan intensitas cahaya lingkungan yang minimal,” lanjut laman resmi Bosscha.
Kurang tegasnya pemerintah atau dinas terkait semakin mempercepat kematian observatorium. Bosscha merilis data dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) bahwa selama kurun waktu 1994-2001 terjadi perubahan besar-besaran terhadap Kawasan Bandung Utara (KBU). Hutan sekunder yang semula luasnya 39.349,3 hektare tinggal 5.541,9 hektare pada tahun 2001.
Sebaliknya, kawasan permukiman di wilayah KBU mengalami peningkatan dari 29.914,9 hektare menjadi 33.025,1 hektare. Peningkatan juga terjadi untuk kawasan industri, dari 2.356,2 hektare menjadi 2.478,8 hektare.
Data dari Observatorium Bosscha menunjukkan, dalam radius 1 km atau di lahan seluas 400 hektare luas peneropongan bintang ini, terdapat lima lokasi yang sudah berubah fungsi, yaitu:
Di arah barat laut terdapat kebun campuran seluas 187,36 ha atau 46,8 persen dari luas wilayah. Di arah barat terdapat pemukiman penduduk seluas 61,88 ha (15,40 persen luas wilayah). Di arah barat daya terdapat sawah/tegalan/kebun campuran seluas 119,38 ha (29,8 persen luas wilayah). Di sekitar arah timur terdapat peternakan seluas 1,8 ha (0,45 persen luas wilayah) dan emplasemen seluas 12,5 ha (3,1 persen luas wilayah). Observatorium Bosscha hanya memiliki luas 1,8 ha atau 0,45 persen luas wilayah.
Tahun 2004, Observatorium Bosscha dinyatakan sebagai Benda Cagar Budaya oleh pemerintah. Keberadaan Observatorium Bosscha dilindungi UU Nomor 2/1992 tentang Benda Cagar Budaya. Selanjutnya, tahun 2008, pemerintah menetapkan Observatorium Bosscha sebagai salah satu Objek Vital nasional yang harus diamankan.
Meski demikian, status tersebut tak mampu mencegah Bosscha dari paparan polusi cahaya. Di saat yang bersamaan pembangunan berjalan lancar-lancar saja. Bahkan Kawasan Bandung Utara yang sejatinya daerah konservasi, kondisinya semakin mengkhawatirkan.
Wilayah administrasi KBU meliputi tiga kecamatan di Kabupaten Bandung, 10 kecamatan di Kota Bandung, dua kecamatan di Kota Cimahi, serta enam kecamatan di Kabupaten Bandung Barat. Semua kecamatan mengalami alih fungsi lahan secara masif.
Menurut penelitian dalam Jurnal Wilayah dan Lingkungan menganalisa penggunaan lahan di KBU tahun 2015 telah menurunkan fungsi konservasi aktual yang menyebabkan adanya wilayah konservasi kritis sebesar 68,37 persen. Jumlah ini meningkat pada tahun 2018 menjadi 69,78 persen.
“Maraknya pembangunan di KBU menunjukkan kondisi yang mengkhawatirkan,” tulis peneliti Putraarta Samodro, Mudiyati Rahmatunnisa, dan Cipta Endyana, dikutip dari jurnal mereka.
Jurnal tersebut membeberkan, koefisien wilayah terbangun KBU sudah mencapai lebih dari 70 persen yang berdampak pada kerusakan lingkungan, ekologis dan memberikan dampak sosial ekonomi. Padahal KBU sudah ditetapkan sebagai kawasan konservasi yang memberikan perlindungan ekologis dan kebutuhan air bagi wilayah di bawahnya di wilayah Bandung Raya.
Hingga 2018, para peniliti dari kampus Unpad tersebut mengungkap data penggunaan penggunaan lahan (alih fungsi) KBU dari 2015-2018. Misalnya luas hutan yang digunakan pada 2015 mencapai 4.400,51 hektare (11,32 persen). Jumlah ini meningkat menjadi 6.669,84 hektare (17,15 persen.
Perluasan alih fungsi juga terjadi pada danau, sawah, dan tegalan. Sementara penggunaan permukiman juga meningkat. Pada 2015 permukiman memakan lahan 6.244,01 hektare, meningkat menjadi 9.427,64 hektare pada 2018.
“Perluasan kawasan permukiman dikhawatirkan akan menurunkan nilai konservasi kawasan secara keseluruhan. Perubahan penggunaan lahan di KBU didominasi oleh pergeseran kawasan tegal/ladang menjadi kawasan permukiman, serta kawasan perkebunan/kebun menjadi sawah dan permukiman,” demikian tulis para peneliti.
Alih fungsi lahan memang tidak bisa dihindari seiring ledakan jumlah penduduk setiap tahunnya. Peran pemerintah seharusnya mengatur penggunaan lahan ini, agar perubahan lahan tidak terjadi secara membabi buta.
Tanpa aturan yang jelas dan penegakan aturan yang tegas, dikhawatirkan bukan hanya Bosscha yang kehilangan ketajamannya dalam mengamati bulan dan bintang. Anak cucu dikhawatirkan tidak bisa melihat galaksi Bima Sakti dengan mata telanjang seperti orang-orang tua mereka. Bosscha sebagai warisan dari Karel Albert Rudolf Bosscha (1865-1928) pun mungkin tinggal bangunan saja nantinya.
Alih fungsi lahan yang tak terkendali bahkan bisa mengundang bencana ekologis yang menakutkan, mulai dari banjir, longsor, krisis air bersih.