• Nusantara
  • Wabah Campak Menyebar di 31 Provinsi, Pencegahannya dengan Protokol Kesehatan dan Imunisasi

Wabah Campak Menyebar di 31 Provinsi, Pencegahannya dengan Protokol Kesehatan dan Imunisasi

Penurunan cakupan imunisasi campak kepada anak-anak terjadi pada masa pandemi Covid-19. Dampaknya, wabah campak kini tersebar di semua provinsi.

Petugas kesehatan menyuntik vaksin pada anak balita dalam kegiatan Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN) di halaman Masjid At Taqwa di Sukagalih, Bandung, Jawa Barat, 2 Agustus 2022. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana21 Januari 2023


BandungBergerak.idKementerian Kesehatan menetapkan kejadian luar biasa (KLB) atas tingginya penularan wabah campak di Indonesia. Hingga Desember 2022, tercatat 31 provinsi melaporkan adanya kasus penularan campak. Persebaran wabah campak dipengaruhi absennya imunisasi selama pandemi Covid-19.

Pada masa pandemi, khususnya di awal pagebluk melanda, terjadi penurunan cakupan imunisasi campak kepada anak-anak. Penurunan ini akhirnya menurunkan kekebalan komunitas (herd immunity) di masyarakat.

“Karena pandemi Covid-19 awal-awal, maka sekarang ‘panennya’,” kata Djatnika Setiabudi, Kepala Staf Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad), diakses dari laman Unpad, Sabtu (21/1/2023)

Dokter spesialis anak dari Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung ini mengatakan, berbeda dengan masa sebelum pandemi, penyebaran penyakit campak sudah dapat dikendalikan. Artinya, kasus penularan campak hanya bersifat sporadis, tidak berbentuk wabah atau KLB.

Pencegahan campak hanya bisa diperoleh dari imunisasi. Namun keadaan di Indonesia dua tahun terakhir atau hampir 3 tahun sejak terdampak dari pandemi Covid-19 membuat implikasi yang tidak baik terhadap cakupan imunisasi.

Cakupan imunisasi terlihat turun secara signifikan karena pandemi Covid-19 yang menyebabkan banyak anak tidak diimunisasi. Indonesia sepanjang tahun 2022 sudah ada 12 provinsi yang mengeluarkan pernyataan kejadian luar biasa (KLB) campak.

Suatu daerah disebut KLB kalau ada minimal 2 kasus campak di daerah tersebut yang sudah terkonfirmasi secara laboratorium dan kasus ini memiliki hubungan epidemiologi.

“Selama tahun 2022 yang lalu jumlah kasus campak yang ada di negara kita memang cukup banyak lebih dari 3.341 laporan kasus. Kasus-kasus ini menyebar di 223 kabupaten/kota di 31 provinsi,” terang Prima Yosephine, Direktur Pengelolaan Imunisasi Kementerian Kesehatan RI.

Jumlah kasus tersebut didapat selama kurun waktu 1 tahun dari Januari sampai Desember 2022. Jika dibandingkan dengan tahun 2021 ada peningkatan yang cukup signifikan kurang lebih 32 kali lipat.

Di sisi lain, meningkatnya penularan campak juga tidak lepas dari masih banyaknya kantong-kantong yang menolak vaksin. Maka dari itu ia menyarankan kepada pemerintah untuk meneliti kasus campak ini.

“Harusnya KLB ini juga dilihat juga populasinya yang mana. Apakah di wilayah yang termasuk banyak imunisasinya ataukah yang tidak,” jelasnya.

Djatnika mengatakan, campak merupakan salah satu penyakit yang sangat menular. Jika seseorang tidak memiliki kekebalan yang baik, kemungkinan terinfeksi campak sebesar 90 persen. Karena sangat menular, maka kekebalan komunitas yang dibutuhkan juga tinggi.

Campak tidak hanya menyerang pada anak-anak. Pada remaja ataupun orang dewasa yang kekebalannya rendah, dia berisiko terkena infeksi.

“Jika seseorang tidak divaksin campak, kemungkinan tertular campak makin besar,” imbuhnya.

Kemungkinan tertular campak juga bisa terjadi kepada anak yang belum lengkap vaksinasinya. Hanya saja, dampak dari penyakitnya tidak terlalu berat karena sudah memiliki tingkat kekebalan yang sedikit.

Dampak berat dari campak akan dirasakan oleh mereka yang belum sama sekali diimunisasi, yaitu rentan mengalami komplikasi penyakit lain seperti pneumonia, radang otak, hingga gizi buruk. Untuk itu, pemberian vaksin campak dinilai penting untuk meningkatkan kembali kekebalan komunitas.

Kemenkes sendiri telah menetapkan jadwal imunisasi vaksin campak lengkap, yaitu pada usia 9 bulan, 18 bulan, serta ketika anak menginjak kelas 1 SD.

“Tidak ada istilah terlambat kalau untuk imunisasi itu. Bagi yang belum mendapatkan vaksin, segeralah divaksin. Diimunisasi saja, nanti akan diberikan jadwal ulangan,” kata Djatnika.

Baca Juga: Tahun Kelinci setelah Pagebluk
Ketimpangan Sosial di Jawa Barat Kian Lebar
Peringatan 16 Tahun Aksi Kamisan di Bandung, Pelanggaran HAM di Masa Lalu Belum Selesai

Segera Tangani

Seseorang yang tertular campak akan mengalami fase gejala awal, seperti demam tinggi, batuk pilek, hingga mata merah. Fase ini merupakan fase yang paling mudah menularkan. Selain itu, penularan campak dilakukan tidak melalui sentuhan kulit, tetapi melalui percikan droplet di udara.

Untuk itu, Djatnika mendorong jika sudah menunjukkan gejala terkena campak, segeralah untuk berobat ke fasilitas kesehatan. Anak yang terkena campak sebaiknya diam di rumah, sehingga tidak menularkan ke orang lain. Jika anak yang sakit sudah bisa menggunakan masker, maka sebaiknya menggunakan masker. Dengan kata lain, pencegahan penularan bisa menggunakan protokol kesehatan seperti penggunaan masker.

“Yang sehat juga perlu memakai masker, karena penularan campak melalui pernapasan,” jelasnya. Pemerintah, lanjut Djatnika, dalam menghadapi KLB ini perlu menggiatkan surveilans epidemiologinya. Pemerintah harus dapat menemukan populasi penularan virus dengan tujuan untuk melindungi mereka yang sehat atau belum terkena.

“Ring immunization juga bisa dilakukan. Artinya daerah yang fokus penyakitnya dipagari dengan diberikan imunisasi massal di daerah sekelilingnya,” kata Djatnika.

Campak semakin Bahaya jika terjadi Komplikasi

Campak akan sangat berbahaya jika terjadi komplikasi. Dampaknya dapat menyebabkan diare berat hingga kematian.

“Komplikasi campak ini umumnya berat, kalau campak mengenai anak yang gizinya jelek maka anak ini bisa langsung disertai komplikasi seperti diare berat, pneumonia, radang paru, radang otak, infeksi di selaput matanya sampai menimbulkan kebutaan. Ini yang kita khawatirkan,” ujar Yosephine.

Secara umum, gejala campak dapat berupa demam, batuk pilek, mata berair, lalu disertai timbulnya bintik-bintik kemerahan di kulit. Biasanya muncul 2 sampai 4 hari setelah dari gejala awal.

Campak ini disebabkan oleh virus campak dan penularannya melalui droplet, percikan ludah saat batuk, bersin, bicara, atau bisa melalui cairan hidung.

Langkah pemerintah menghadapi wabah campak dengan melakukan penguatan surveilans campak dan rubella. Jadi kasus yang diduga campak rubella, yaitu pasien yang mengalami demam dan ruam-ruam, harus diambil spesimennya dan diperiksa di laboratorium.

“Pemerintah menargetkan eliminasi campak rubella tahun 2023 secepatnya. Eliminasi itu adalah suatu keadaan di mana kita bisa menekan sedemikian rupa angka dari kesakitan akibat campak ini, sehingga tentu tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat lagi. Tapi dengan adanya kenaikan kasus campak di negara kita tentu mimpi untuk mencapai eliminasi ini menjadi agak sulit untuk bisa merealisasikannya tahun ini,” ungkap Prima.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//