BIOGRAFI MOCHAMAD ENOCH #17: Jejak-jejak sebagai Wali Kota
Mochamad Enoch mengembuskan napasnya yang terakhir pada 2 April 1957. Total ia menjabat sebagai Wali Kota Bandung selama tujuh tahun.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
25 Januari 2023
BandungBergerak.id - Setelah menjabat sebagai wali Kota Bandung sejak 1 Desember 1949 hingga kematiannya pada 2 April 1957, Mochamad Enoch banyak terlibat dalam perkembangan Kota Bandung. Pembangunan infrakstruktur, penamaan jalan, perhelatan-perhelatan, penyiaran pengumuman, dan lain-lain, termasuk berubahnya status Kota Bandung sendiri.
Memang sebelum berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1950, pemangku jabatan Presiden Republik Indonesia sekaligus Menteri Dalam Negeri Assaat menetapkan Undang-Undang No. 16 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kota Besar dalam Lingkungan Propinsi Djawa Timur, Djawa Tengah, Djawa Barat, dan dalam Daerah Istimewa Jogjakarta pada 14 Agustus 1950, di Yogyakarta. Undang-undang tersebut mulai berlaku sejak 15 Agustus 1950 atau dua hari sebelum Indonesia menjadi NKRI.
Dengan status baru itu, Bandung mulai berbenah. Nama-nama jalan yang sejak 1949 diusulkan diubah karena mengandung banyak nama Belanda mulai diwujudkan pada 1950. Komunitas Manado di Bandung menyampaikan petisi kepada dewan perwakilan daerah untuk mengganti nama Oude Hospitaalweg, menjadi Jalan Lembong, untuk mengenang Letnan Kolonel Lembong yang tewas saat APRA beraksi 23 Januari 1950 (AID De Preangerbode, 23 September 1950).
Demikianlah, atas keputusan residen Priangan, sejak 1 Oktober 1950, nama jalan Oude Hospitaalweg diubah menjadi Jalan Lembong, Van der Hoopweg (Djalan Dr. Abdurrachman Saleh), Gang Conducteur (Gang Ergulo), De Kadtstraat (Djalan Tjisanggarung), Hartmanweg (Djalan Somawinata), Kapt-Gielweg (Djalan Linggawatsu), Kruisweg (Djalan Bagawan Sempani), Pelikaanweg (Djalan Hadisutjipto), Postjagerweg (Djalan Kapten Sumantri), dan Van Weerden Poelmanweg menjadi Djalan Aruna (AID, 25 Oktober 1950).
Bahkan untuk urusan pembangunan perumahan sudah mulai dibahas sejak 1949, dengan adanya “plan Schon-stedt”, berupa pembangunan 541 rumah. Sementara untuk 1950, pemerintah Kota Bandung akan membangun 75 rumah pemerintah (De Locomotief, 19 Juni 1950). Di Bandung, pada 31 Agustus 1950 ditutup kongres pembangunan perumahan yang dihadiri perwakilan dari 85 pemerintah daerah, termasuk wali kota (De Locomotief, 1 September 1950). Konon, kongres tersebut muncul atas inisiatif Mochamad Enoch.
Dalam waktu yang berdekatan, Enoch terlibat dalam kepanitiaan pembangunan masjid raya di Bandung, Masjid Quattul Islam. Kepanitiannya dibentuk di Jakarta dan terdiri atas ketua Enoch, wakil ketua (Ardiwinangun dan R. Enoeh), sekretaris (R. Djerman Prawirawinata), Presiden Sukarno dan Perdana Menteri M. Natsir, K. Wahid Hasjim (ketua kehormatan), dan para penasihat Sjafrudin, Djuanda, Wiranatakoesoema, Gubernur Sewaka (AID, 11 September 1950).
Dalam sidang 23, 26, dan 29 Desember 1950, dewan Kota Bandung membicarakan perubahan anggaran belanja Kota Besar Bandung tahun 1950. Antara lain berupa item kontijensi sebesar 150.000 rupiah untuk 1950, yang di antaranya 17.792,02 rupiah dibelanjakan 4.714,58 rupiah untuk pengeluaran selama rapat para wali kota dan para sekretarisnya di Bandung pada 24 Agustus 1950 dan rupiah 11.250 untuk perbaikan instalasi listrik di gedung balai kota. Anggaran perubahannya untuk 1950 sebesar 1.753.520 rupiah, karena untuk mengerjakan berbagai tugas darurat, termasuk perbaikan Jalan Pajajaran, Jalan Pungkur, Jalan Aceh, dan Jalan Jawa. Lebih jauhnya untuk memperbaiki riol dan got.
Dalam rapat 23 dan 26 Desember didiskusikan pula perubahan sebagian Jalan Cihapit yang akan diberi nama Jalan Menado, sebagian Jalan Tegallega menjadi Jalan Pasar Baru, dan sebagaian Jalan Pasar Baru menjadi Jalan Gubernuran. Saat itu pun ditetapkan komite teknik-ekonomi, komite keuangan, komite personil, komite untuk regulasi bangunan dan komite untuk perawatan sosial, meskipun para anggotanya belum ditetapkan (AID, 29 Desember 1950).
AID edisi 31 Desember 1950 menyajikan tinjauan selama 1950. Antara lain disebutkan pada awal 1950, Bandung sebagai ibu kota Negara Pasundan mengalami fase akhir negara tersebut, disusul pengunduran diri Wali Negara R.A.A.H. Wiranatakoesoema dan kedatangan komisaris RIS yang kemudian menjadi Gubernur Jawa Barat Sewaka. Kemudian timbul demonstrasi rakyat yang menghendaki dibubarkannya Negara Pasundan. Pada Maret 1950, Bandung mulai mempunyai nama-nama jalan yang baru, dan pada bulan tersebut Mr. Assaat berkunjung ke Bandung. Sanatorium untuk TNI dibuka dan dewan kota Bandung rapat terakhir untuk membicarakan anggaran belanja yang mengalami defisit. Wali Kota Enoch harus menunggu hingga 1 Oktober 1950 dengan adanya dewan perwakilan darurat.
Baca Juga: BIOGRAFI MOCHAMAD ENOCH #14: Anggota DPA, Wali Kota Yogyakarta, dan Menteri PU
BIOGRAFI MOCHAMAD ENOCH #15: Peninjau Konferensi Jawa Barat III
BIOGRAFI MOCHAMAD ENOCH #16: Wali Kota Bandung, Senat RIS dan DPRS
Meninggal Dunia saat Dini Hari
Demikianlah, Mochamad Enoch sangat sibuk selama menjadi wali Kota Bandung. Saya antara lain mendapat catatan bahwa ia menjadi pelindung Frans-Indonesische Vereniging atau perhimpunan Prancis-Indonesia (Java-bode, 7 Januari 1952), hadir pada pembukaan pertandingan bola voli antarsiswa se-Jawa Barat (Java-bode, 18 Maret 1952), mengumumkan kepada warga Bandung agar segera mendaftar sebagai warga atau akan dikenai sanksi (Java-bode, 2 April 1952), menghadiri konferensi beras internasional di Bandung pada 5 Mei 1952 (De vrije pers, 6 Mei 1952), mengumumkan larangan tidak bolehnya menggembalakan ternak di sepanjang jalan, bermain panah, katapel, bedil angin atau semacamnya di jalan (Indische courant voor Nederland, 4 Juni 1952), menghadiri Kongres Wanita Indonesia (Het nieuwsblad voor Sumatra, 26 November 1952).
Menginjak 1953, antara lain Mochamad Enoch menjadi pelindung bagi panitia derma bagi korban banjir di Aceh (Het nieuwsblad voor Sumatra, 13 Februari 1953), menghadiri hari ulang tahun ketujuh Divisi Siliwangi (Java-bode, 21 Mei 1953), mengajak warga Bandung untuk mengumpulkan derma dan pakaian bagi korban teror gerombolan di Ciawi (Java-bode, 20 Juni 1953), datang ke acara ulang tahun pertama anak kembar empat di Bandung yaitu Ahmad, Muhammad, Mahmud dan Hamid Fachrudidin (AID, 3 Maret 1954), menghadiri pembukaan Akademi Djawatan Kereta Api (De locomotief, 9 September 1954), mengucapkan selamat ulang tahun untuk Ratu Juliana kepada komisaris Belanda di Bandung (AID, 2 Mei 1955), menghadiri peringatan ketujuh Republik Rakyat Tiongkok di Kebonjati (AID, 1 Oktober 1956), turut dalam acara peringatan Dewi Sartika (AID, 5 Desember 1956).
Namun, ternyata, Mochamad Enoch mengidap penyakit yang sukar disembuhkan. Karena sakitnya itu ia sempat cuti dari tugas-tugasnya sebagai wali kota dan menyerahkan tanggung jawabnya kepada wakilnya R. Ernawan dan Residen Priangan R. Ipik Gandamana. Baru pada 2 Agustus 1956, Enoch menjabat lagi sebagai wali Kota Bandung (AID, 3 Agustus 1956).
Atas riwayat sakitnya itulah tersiar kabar burung Mochamad Enoch akan meletakkan jabatannya sebagai wali kota. Sebagai penggantinya, konon Prijatnakusuma, yang sedang menjabat sebagai bupati Tasikmalaya. Namun, kabar itu konon prematur. Memang kabar Enoch akan mengundurkan diri benar adanya, tetapi tidak akan dilakukan sebelum selesainya pemilihan anggota dewan kota. Bila berjalan lancar, pemilihan tersebut akan berlangsung sepuluh bulan mendatang (AID, 13 Oktober 1956).
Awal 1957, Mochamad Enoch nampaknya jatuh sakit lagi, hingga harus dioperasi. Semula operasi tersebut diduga dilakukan oleh dr. Soediono, tetapi yang betul adalah oleh dr. Tan Ping Ie, dibantu oleh dr. Soediono sebagai asistennya (AID, 26 Januari 1957).
Tiga bulan setelah dioperasi, Mochamad Enoch mengembuskan napasnya yang terakhir pada 2 April 1957, pukul 03.15 dini hari. Secara total ia menjabat sebagai wali Kota Bandung selama tujuh tahun. Namun, sebagaimana yang saya utarakan sebelumnya, keterangan pada obituari dalam AID edisi 2 April 1957 dan Het Nieuwsblad voor Sumatra edisi 4 April 1957 mengandung kekeliruan yang fatal. Dalam dua koran dikatakan Mochamad Enoch kelahiran Tasikmalaya, lulusan OSVIA, dan sempat menjadi wedana, lalu commies-redacteur dan loco-burgemeester Cirebon zaman Perang Dunia Kedua, zaman Jepang menjabat sebagai bupati Majalengka, dan selama revolusi kemerdekaan Indonesia diangkat sebagai sekretaris gubernur Jawa Barat. Padahal itu semua keliru sama sekali.
Sore hari, masih 2 April 1957, Mochamad Enoch dikuburkan di permakaman Karanganyar, Bandung, tidak seperti mendiang kakaknya yang dibawa ke permakaman keluarga di Purwakarta. Kerandanya ditutupi bebungaan dan diikuti sekitar 90 mobil. Iring-iringan berangkat dari rumah Enoch di Jalan Supratman, lalu berhenti dulu di balai kota. Di depan balai kota, semua pejabat dan pihak berwenang lainnya berkumpul untuk mengucapkan salam perpisahan kepada kepala daerah yang dicintainya.
Saat akan dikebumikan, seorang anggota keluarga Enoch mengucapkan terima kasih atas kerja sama dan simpati yang telah diberikan, terutama kepada Gubernur Jawa Barat Sanusi Hardjadinata yang terus menemani pada jam-jam terakhir sebelum Enoch mengembuskan napasnya yang terakhir. Pada gilirannya, Sanusi berpidato atas nama kepala provinsi dan sahabat almarhum. Ia menegaskan perihal Mochamad Enoch yang merupakan sosok pekerja keras, sehingga patut dicontoh oleh semua orang. Sebagai sahabat, ia mengenang masa-masa yang sulit dan penuh perjuangan yang dialaminya bersama dengan Enoch.