• Kolom
  • BIOGRAFI MOCHAMAD ENOCH #13: Menghidupkan Lagi Paguyuban Pasundan

BIOGRAFI MOCHAMAD ENOCH #13: Menghidupkan Lagi Paguyuban Pasundan

Pada hari Minggu, 4 Mei 1947, bertempat di Alun-alun Bandung, R.A.A.M. Suriakartalegawa memproklamirkan Negara Pasundan.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Pada 4 Mei 1947, proklamasi Negara Pasundan di Bandung disimak di Bogor dan Mochamad Enoch bereaksi dengan menghidupkan kembali Paguyuban Pasundan di Yogyakarta. (Sumber: Algemeen Indisch Dagblad, 6 Mei 1947)

27 Desember 2022


BandungBergerak.id - Tahun 1942, ketika Jepang mulai berkuasa di Indonesia, Paguyuban Pasundan dibekukan. Fakta ini saya baca dari buku karya Nina H. Lubis (Si Jalak Harupat: Biogfrafi R. Oto Iskandar di Nata, 1897-1945, 2003) dan Iip D. Yahya (Oto Iskandar di Nata: The Untold Stories, 2008).

Kata Nina, “Jabatan tersebut diembannya [Oto Iskandar di Nata] sampai tahun 1942 karena sejak tahun itu Pagoejoeban Pasoendan secara formal dibubarkan oleh pemerintah Bala Tentara Jepang yang mengakhiri pemerintahan Hindia Belanda pada tahun itu”. Padahal kata Iip, “Sebagaimana diketahui, PP ketika dibubarkan pada 1942, sedang dalam puncak keemasannya. Organisasi massa ini bergerak di banyak bidang sosial, pendidikan dan ekonomi. Ada rumah sakit dan sekolah. Ada koperasi dan perbankan. Ada penerbitan dan percetakan. Ada organisasi perempuan dan pemuda. Dan banyak hal lain lagi”.

Lalu, bagaimana perkembangan Paguyuban Pasundan selanjutnya? Organisasi yang diikuti dan turut membesarkan Mochamad Enoch itu nampaknya “mati suri” selama 1942-1947, karena baru Enoch yang menghidupkannya lagi sejak 3 Mei 1947.

Latar belakang pembangkitan kembali Paguyuban Pasundan adalah reaksi atas pembentukan Partai Rakyat Pasundan (PRP) pada 18 November 1946 dan proklamasi Negara Pasundan pada 4 Mei 1947 oleh R.A.A.M. Suriakartalegawa. Oleh karena itu, dalam tulisan kali ini, saya akan membahas dulu sekilas mengenai PRP dan Negara Pasunda versi Suriakartalegawa, sebelum menguraikan langkah Mochamad Enoch di Yogyakarta.

Pada 6 Mei 1947, Kantor Berita Aneta dan Antara menyiarkan protes-protes terhadap proklamasi Negara Pasundan, termasuk protes Paguyuban Pasundan. (Sumber: Algemeen Indisch Dagblad, 7 Mei 1947)
Pada 6 Mei 1947, Kantor Berita Aneta dan Antara menyiarkan protes-protes terhadap proklamasi Negara Pasundan, termasuk protes Paguyuban Pasundan. (Sumber: Algemeen Indisch Dagblad, 7 Mei 1947)

Partai Rakjat Pasundan

Ihwal PRP dan Negara Pasundan versi Suriakartalegawa sudah banyak dibahas. Saya antara lain membaca karya Tanu Suherly (Sekitar Negara Pasundan, 1970), Junaedi (Runtuhnya Negara Pasundan, 1989), Helius Sjamsuddin, dkk. (Menuju Negara Kesatuan: Negara Pasundan, 1992), Susanto Zuhdi (Suria Kartalegawa dan Negara Pasundan dalam Dinamika Politik di Daerah Pendudukan di Jawa Barat, 1947-1948, 1994), Agus Mulyana (Negara Pasundan 1947-1950: Gejolak Menak Sunda Menuju Integrasi Nasional, 1996), dan Erik Andang Kurnia (Peran TNI dalam Melikuidasi Negara Pasundan sebagai Negara Bagian RIS 1947-1950, 2006).

Dari berbagai pustaka itu saya tahu Negara Pasundan pernah dua kali diproklamirkan. Pertama oleh PRP pada 4 Mei 1947 dan yang kedua pada 24 April 1948. Dalam tulisan ini, saya akan membatasi pembahasan pada Negara Pasundan yang didirikan PRP dan Suriakartalegawa, termasuk menguraikan latar belakang pendiriannya.

Benang merahnya adalah peristiwa pengangkatan Sutarjo Kartohadikusumo sebagai gubernur Jawa Barat pada 2 September 1945, Konferensi Malino (15-25 Juli 1946), Konferensi Pangkal Pinang (1-12 Oktober 1946), Perjanjian Linggarjati (7 Oktober-15 November 1946, 25 Maret 1947), Perjanjian Renville (17 Januari 1947, dan pengangkatan Mr. Datuk Jamin sebagai pengganti Sutarjo Kartohadikusumo pada Maret 1947.

Konon, berdasarkan Nota Abdulkadir Widjojoatmojo (penasihat Dinas Kabinet Letnan Gubernur Jenderal) kepada Direktur Kabinet Letjen Koets, ini bermula saat Suriakartalegawa yang menjadi anggota Badan Penasehat Indonesia dicopot dari keanggotannya karena tindakan-tindakan Suriakartalegawa pada zaman pendudukan Jepang. Kekecewaan atas pencopotan tersebut diperparah dengan pengangkatan Sutarjo Kartohadikusumo yang notabene non-Sunda.

Oleh karena itu, Suriakartalegawa menggagas pendirian PRP pada 18 November 1946. Dalam Tudjuan Partai Rakjat Pasundan (1948: 2, dalam Suherly, 1970: 6-7) disebutkan “Untuk mempersatukan rakjat Pasundan, maka pada tanggal 20 Nopember 1946, berdirilah atas kemauan rakjat, Partai Rakjat Pasundan, jang berdirinja berdasarkan:

1. Hasilnja Conferentie Malino dan landjutannja, dimana diletakkan dasar2 Negara Serikat Indonesia, jang terdiri dari gabungan negara2 bagian dikepulauan Indonesia.

2. Sesuai dengan djalannja dan hasilnja perundingan2 politik antara Belanda dan Republik Indonesia.

3. Sesuai dengan pernjataan rakjat Pasundan, bahwa rakjat Pasundan bukan rakjat jang ikut-ikutan sadaja kepada Proclamatie Kemerdekaan Indoensia dari Ir. Sukarno-Drs. Hatta tetapi bahwa kemauan bernegara merdeka, berdaulat dan democratis, adalah kemauan Rakjat Pasundan sendiri dalam Gabungan Negara Serikat Indonesia, jang merdeka, berdaulat, dan democratis, bekerdja bersama-sama Belanda atas Dasar Penghargaan jang sama deradjatnja sehingga tiba waktunja bangsa Indonesia menentukan politiknja sendiri dalam gelanggang Internationaal.”

Oleh karena itu, konon, PRP bertujuan: “Menurut supaja Daerah Pasundan mendjadi Negara Pasundan, jang merdeka, berdaulat dan democratis, sebagai anggota Negara Serikat Indonesia, jang merdeka, berdaulat dan democratis, bekerdja bersama-sama Belanda atas dasar penghargaan jang sama deradjatnja, sementara waktu dalam lingkungan Keradjaan Belanda, sehingga tiba waktunja, bahwa Indonesia menentukan politiknja sendiri dalam gelanggang Internationaal.”

Lebih jelasnya, dikatakan: “Tudjuan partai ialah mentjapai kesempurnaan dan kemuliaan Negara Pasundan jang merdeka dan berdaulat dan berdasarkan democratis (kerakjatan) dalam ikatan setjara Federatie dan termasuknja Negara Pasundan sebagai Negara (tidak sebagai daerah dari Republik Djawa dan Sumatra) dari Negara Indonesia Serikat dalam sementara waktu dalam lingkungan Keradjaan Belanda”.

Selanjutnya, latar belakang lebih jauh dari pembentukan PRP diterangkan oleh Residen Priangan M. Klassen dalam laporannya pada 27 Desember 1946. Menurut Klassen, gerakan PRP merupakan respons sekelompok masyarakat Sunda setelah adanya konferesnsi Malino dan Pangkal Pinang. Menjelang konferensi di Pangkal Pinang, ada sekelompok Sunda terkemuka yang memohon secara tertulis kepada Mayor Soebroto agar masyarakat Sunda ada yang mewakili dalam konferensi itu. Namun, permohonannya tidak disampaikan Soebroto, sehingga membuat curiga kelompok masyarakat Sunda tersebut kepada Soebroto sebagai orang Jawa. Maka tanpa ada perwakilan masyarakat Sunda terhadap konferensi di Pangkal Pinang, didirikanlah PRP.

Adapun butir-butir surat kepada Ratu Belanda itu antara lain berisi: 1. Rakyat Sunda sampai sekarang belum memperoleh kesempatan memberikan suaranya dalam konferensi yang diadakan pemerintah; Bangsa Sunda sudah berabad-abad, secara militer, ekonomis maupun politik terkalahkan oleh tetangga-tetangganya; bangsa Sunda berkeinginan melihat bahasanya, adat dan kebudayaannya terlindung sebagai bagian daerah yang otonom; dan rakyat Sunda takut akan diambil keputusan mengenai nasibnya tanpa kehadirannya.

Klassen selanjutnya menyatakan bahwa bendera yang dipakai oleh PRP adalah hijau putih, yang berarti warna keagamaan dan putih kesucian. PRP sangat anti terhadap warna merah-putih yang dipakai RI, karena mengingatkan kepada warna Kerajaan Mataram.

Susunan pengurus PRP sebagaimana yang dilaporkan Klassen adalah: Raden Sadikin (ketua), Mas Soepenah (wakil ketua), Mas Machmoed (sekretaris), R. Wiradimadja (bendahara), M. Soemeng Kawidjaja, Mas Adimihardja, Joesoef, Djajadisastra, Soekarsa (komisaris).

Proklamasi Negara Pasundan

Pada hari Minggu, 4 Mei 1947, bertempat di Alun-alun Bandung, R.A.A.M. Suriakartalegawa memproklamirkan Negara Pasundan. Sehari sebelumnya, pada 3 Mei 1947, H.J. van Mook mengirim surat kepada komandan Divisi B de Waal untuk membantu menyukseskan peristiwa tersebut, termasuk pembentukan kabinet dan badan pekerja. Bantuan yang diminta van Mook berupa transportasi, penyebaran undangan dengan pesawat terbang, meminjamkan uang, dan kalau perlu senjata. Penyebarluasan beritanya dilakukan surat kabar yang dikelola RVD (Regerings Voorlichtingdienst) (Berita Indonesia, 3 Mei 1947).

Untuk itu ia mendapat dukungan dari pejabat-pejabat militer dan sipil Belanda seperti Kolonel Thomson di Bogor, Residen Priangan M. Klaassen di Bandung, dan penjabat Gubernur Jakarta C.W.A. Abbenhuis. Karena menurut Suriakartalegawa, Pasundan dalam waktu 100 tahun belum bisa merdeka, sehingga membutuhkan bantuan Belanda. Bantuan tersebut bukan artinya belas kasih Belanda terhadap orang Sunda, karena orang Sunda telah “diber-yahudikan” oleh Republik, sehingga perlu berdiri sendiri (Berita Indonesia, 24 Mei 1947).

Begitulah, pada 4 Mei 1947, di Alun-alun Bandung, Suriakartalegawa memproklamirkan Negara Pasundan di hadapan sekitar 4.000 orang rakyat. Mereka berasal dari Ujungberung dan Kiaracondong yang diangkut dengan truk Belanda. Saat proklamasi itu Suriakartalegawa sendiri mengangkat dirinya sebagai presiden dan Mr. R. Kustomo sebagai perdana menterinya. Van Mook pun saat itu hadir.

Isi proklamasi Negara Pasundan dimuat dalam Berita Indonesia edisi 5 Mei 1947. Isinya sebagai berikut: PRP dengan ini memproklamirkan kemerdekaannya Negara Pasundan dengan kemauan rakyat Sunda, dalam hubungan federatif, karena jalan ini adalah satu-satunya untuk politik ‘negara’ di kemudian hari; PRP akan menentang usaha-usaha untuk memasukkan daerah-daerah yang telah dimerdekakannya ke dalam Republik; PRP mendorong supaya di daerah-daerah yang telah dimerdekakan maupun di daerah Republik diadakan plebisit (pemungutan suara); PRP menjadikan Bandung sebagai ibu negeri Negara Pasundan; PRP akan mengurus pengembalian pabrik-pabrik dan onderneming-onderneming kepunyaan bangsa asing kepada yang punya; PRP meminta pengakuan pemerintahan sementara di daerah yang dimerdekakannya, jika pemungutan suara berhasil; PRP minta pemerintahan sementara ini statusnya yang sama dengan pemerintahan Indonesia Timur; dan PRP memilih anggota pemerintahan sementara dari Negara Pasundan Raden Moch. Soeria Kartalegawa Presiden dan Dr. (Mr). Koestomo sebagai pembentuk kabinet”.

Dua hari kemudian, Berita Indonesia (7 Mei 1947) menyiarkan kabar pencabutan proklamasi Negara Pasundan. Di situ dikatakan, “Kami seluruh anggota Partai Rakyat Pasundan dengan ini menerangkan setia kepada cita-cita kebangsan Indonesia, kesatuan Republik Indonesia. PRP dengan ini kami bubarkan, proklamasi ditarik kembali”. Pertanyaaan tersebut dibuat oleh R.A.A. Suriakatalegawa di Bandung, pada 6 Mei 1947.

Namun, siaran itu ditolak anggota PRP, bahkan dikatakan sengaja disebarkan oleh pihak RI (Berita Indonesia, 8 Mei 1947). Suriakatalegawa sendiri dalam pidato radionya menyatakan selebaran yang menyatakan proklamasi dan pembubaran PRP adalah dusta belaka. Bahkan bersikukuh Pasundan ingin tetap mendirikan negara merdeka sebagai anggota negara Indonesia Serikat yang sederajat dengan RI (Berita Indonesia, 10 Mei 1947).

PRP kemudian membentuk cabang-cabang, bahkan melakukan kudeta terhadap pemerintahan RI. Pada 11 Mei 1947 mereka membentuk cabang Jakarta, 20 cabang di Karawang, dan pada 23 Mei 1947 menyerang sisa-sisa pemerintahan RI di Bogor termasuk menculik para pemimpin dan menyita tempatnya. Rangkaian peristiwanya dilaporkan Berita Indonesia pada edisi 28 hingga 30 Mei 1947. Negara Pasundan sempat pula membentuk Tentara Pasundan di Cianjur.

Selain ada protes, Kantor Berita Aneta yang pro-Belanda mewancarai narasumber-narasumber yang menyetujui pembentukan Negara Pasundan, termasuk bekas pengurus Paguyuban Pasundan di Jakarta. (Sumber: Algemeen Indisch Dagblad, 9 Mei 1947)
Selain ada protes, Kantor Berita Aneta yang pro-Belanda mewancarai narasumber-narasumber yang menyetujui pembentukan Negara Pasundan, termasuk bekas pengurus Paguyuban Pasundan di Jakarta. (Sumber: Algemeen Indisch Dagblad, 9 Mei 1947)

Reaksi Paguyuban Pasundan

Proklamasi Negara Pasundan menimbulkan reaksi keras. Dalam Berita Indonesia edisi 5 Mei 1947 dikatakan menurut tokoh-tokoh Paguyuban Pasundan, Suriakartalegawa tidak dikenal oleh rakyat kebanyakan. Ditambah fakta di masa penjajahan Belanda, tindakan Suriakartalegawa tidak disukai oleh rakyat (Berita Indonesia, 7 Mei 1947).

Sementara keluarga Wiranatakusumah yang sedang mengungsi di Garut, pada 6 Mei 1947, mengirimkan telegram kepada Presiden Soekarno. Isinya menentang pembentukan Negara Pasundan. Keluarga Suriakartalegawa sendiri di Garut menyatakan tidak mengakui dan tetap taat kepada pemerintah RI pada 28 Mei 1947.

Konon ibu kandung dan anak perempuan Suriakartalegawa sendiri pun menolaknya. Ibunya angkat bicara atas nama keluarga di corong Radio RI di Garut: “Uca (nama panggilan Suriakartalegawa), Ibu tidak mengerti kau berbuat yang bukan-bukan. Tak ingatkah kau kepada Ibu dan saudara-saudaramu, sehingga kau memisahkan diri dari keluarga. Ibu dan saudara-saudaramu bahkan Mang Abas Cianjur (bekas bupati Cianjur dan tinggal di Tasikmalaya) tidak menyetujui kau mendirikan Negara Pasundan”.

Di Yogyakarta, tempat banyak tokoh Sunda turut mengungsi, Mochamad Enoch bahkan mengutuk keras proklamasi Negara Pasundan. Bahkan ia dan kawan-kawan menghidupkan lagi Paguyuban Pasundan yang sempat dibekukan pada zaman Jepang.

Mengenai langkah Enoch itu, saya dapat mengikutinya dari laporan  Algemeen Indisch Dagblad edisi 6 hingga 9 Mei 1947. Dalam edisi 6 Mei 1947, ada gambaran mengenai proklamasi Negara Pasundan yang terjadi di Bogor. Judul laporannya, “Pasoendan-Beweging Buitenzorg”. Di situ diwartakan pagi hari tanggal 4 Mei 1947 merupakan hari besar bagi orang-orang Sunda yang berkumpul di Bogor.

Pagi itu orang-orang berkerumun di depan gedung AMVJ, tempat disimpannya pengeras suara yang menyiarkan kembali peristiwa yang terjadi di Bandung. Kerumunan itu benar-benar menyimak apa yang diucapkan di Bandung. Setelah proklamasi Negara Pasundan dibacakan, terdengar riuh rendah dan bendera hijau-putih dikibarkan. Setelah itu, Nyonya Koestomo, istri kepala formatur kabinet dan pengurus PRP Bogor, mengadakan resepsi. Ia banyak disalami orang. Rombongan kemudian menuju Istana Bogor untuk menemui komandan  grup brigade infanteri pertama Kolonel A.A.J.J. Thomson, yang dengan khidmat menyampaikan proklamasi Negara Pasundan. Thomson dan Residen J. H. Statius Muller menyatakan terima kasih dan mengungkapkan harapan akan terbinanya kerja sama antara Negara Pasundan dengan Kerajaan Belanda.

Di sisi lain, Kantor Berita Antara, dari Yogyakarta, tanggal 4 Mei 1947, menyiarkan kabar “Pagoejoeban Pasoendan herleeft” (Paguyuban Pasundan bangkit lagi). Di situ dikatakan, pengurus pusat Paguyuban Pasundan dari RI, yang sudah dihidupkan lagi sejak 3 Mei 1947, meminta semua cabang Paguyuban Pasundan dan Pasundan Istri di Jawa Barat, atas nama pemerintah pusat RI, agar berdiri dan hidup sebagai lembaga resmi yang diakui dan didukung oleh pemerintah negara RI.

Pengurus pusat menyebutkan cabang-cabangnya yaitu Bandung, Cianjur, Bogor, Jakarta, Serang, Purwakarta, Cirebon, Ciamis, Tasikmalaya, Garut dan Sukabumi. Perhatian harus ditujukan kepada fakta bahwa pada dasarnya Paguyuban Pasundan terbuka untuk semua warga negara RI, tidak hanya bagi orang Sunda. Anggota baru sekarang dapat direkrut.

Lebih jauhnya, Paguyuban Pasundan hendak membuka kembali dan mengelola sekolah-sekolahnya lagi, seraya membawa kurikulum yang sesuai dengan haluan Negara RI, dan juga ingin membuka lagi Bank Pasundan dan lembaga-lembaga koperasi, termasuk lembaga dana pensiun, dana kematian, dan perawatan bagi orang miskin dan tunawisma. Akhirnya, Paguyuban Pasundan hendak menyerukan gagasan bahwa Pasundan adalah bagian dari Negara RI dan sangat menentang pembentukan Negara Pasundan oleh NICA Kartalegawa. Pengumuman ditandatangani oleh Mochamad Enoch atas nama Paguyuban Pasundan.

Selengkapnya pernyataan Enoch (A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, VII, 1992, dalam Erik Endang Kurnia, 2006) adalah sebagai berikut:

 “Atas nama Pengurus Paguyuban Pasundan Republik Indonesia, maka dengan ini dipermaklumkan:

1. Mulai tanggal 3 Mei 1947 menghidupkan lagi Paguyuban Pasundan yang berdiri dan hidup sebagai badan hukum untuk mengakui dan menyokong Negara Republik Indonesia.

2. Memohon dan mewajibkan kepada pemimpin-pemimpin cabang yang ada di Bandung (Cicalengka, Ciparay, Soreang, Cimahi, Cililin, Ujungberung). Untuk mengurus harta benda dan utang pitang Paguyuban Pasundan dengan anggota sebaik-baiknya. Minta perhatian, bahwa Paguyuban Pasundan dari semula dibuka untuk seluruh warganegara bukan untuk orang Sunda asli saja. Sejak saat ini dapat diterima pula anggota-anggota baru.

3. Mengurus dan membuka lagi semua sekolahnya dengan menyesuaikan Leerplan-nya dengan keadaan negara Republik Indonesia.

4. Membuka lagi bank-bank Paguyuban Pasundan, badan-badan koperasi, sambil mengurus utang-piutangnya. Juga harus dibuka kembali badan-badan sosial seperti fonds-fonds pensiun, kematian dan urusan fakir miskin.

5. Membangkitkan semangat, bahwa Tanah Pasundan, adalah bagian dalam Negara Republik Indonesia dan menentang sekeras-kerasnya akan dibentuknya Negara Pasundan NICA Kartalegawa.”

Baca Juga: BIOGRAFI MOCHAMAD ENOCH #9: Direktur Sementara Sipatahoenan
BIOGRAFI MOCHAMAD ENOCH #11: Direktur Pekerjaan Umum Kabupaten Bandung
BIOGRAFI MOCHAMAD ENOCH #12: Menjadi Dosen Zaman Pendudukan Jepang

Tanggapan terhadap Paguyuban Pasundan

 

Dalam Algemeen Indisch Dagblad edisi 7 Mei 1947 masih tersaji protes-protes terhadap Negara Pasundan, termasuk dari Paguyuban Pasundan. Di situ dikatakan, Kantor Berita Antara pada 5 Mei 1947 mengabarkan Goeniwa Kartalegawa atau Juliana Kartalegawa, anak perempuan Suriakartalegawa, yang tinggal di Tasikmalaya, mengatakan kepada Antara bahwa  “sandiwara” proklamasi Negara Pasundan tidak akan banyak menuai hasil. Ia mengatakan sikap ayahnya selama sebelum Perang Dunia II yang selalu berselisih.

Otto Soebrata, salah seorang bekas pengurus Paguyuban Pasundan, berpendapat rakyat Pasundan, termasuk bekas anggota Paguyuban Pasundan, akan tetap setia kepada RI dan RIS. Antara juga mewawancarai Wiranatakoesoema, ketua DPA RI dan bekas bupati Bandung, yang sedang berada di rumah sakit Garut. Ia menyatakan Negara Pasundan tidak punya dasar sejarah. Dia menyatakan rakyat Pasundan di daerah yang dikuasai Belanda dipaksa untuk bergabung dengan PRP. Ia juga menyebutkan tindakan Suriakartalegawa bertentangan dengan demokrasi dan Perjanjian Linggarjati. Dari sisi ekonomi, menurut Wiranatakoesoema, tidak mungkin mendirikan Negara Pasundan secara mandiri.

Sedangkan Mochamad Enoch memberi keterangan lebih lanjut perihal motivasi di balik penghidupan kembali Paguyuban Pasundan. Katanya, tindakan tersebut merupakan respon terhadap aksi PRP dan pembentukan Negara Pasundan yang bertentangan dengan Perjanjian Linggarjati. Enoch lebih jauh menyatakan bahwa statuta Paguyuban Pasundan akan seiring sejalan dengan konstitus RI. Kepanitiaan untuk menuju ke arah sana sudah terbentuk yang terdiri atas Ir. Djuanda, Mochamad Enoch, Achmad Natanegara, King Natawijoga, sementara Dr. Koesoema Atmadja akan bertindak sebagai penasihat hukumnya.

Dalam Algemeen Indisch Dagblad edisi 7 Mei 1947 disajikan pula berita protes-protes terhadap Negara Pasundan yang terjadi pada 6 Mei 1947 sebagaimana dilaporkan Kantor Berita Aneta dan Antara. Konon, pada 6 Mei 1947, berbagai organisasi orang menentang proklamasi Negara Pasundan. Misalnya, Antara melaporkan pertemuan di Tasikmalaya, Jum’at lalu, yang menghimpun 170 ribu orang Sunda dari Distrik Singaparna. Mereka menentang klaim Suriakartalegawa yang mengatasnamakan semua orang Sunda.

Anggota pengurus Paguyuban Pasundan yang baru dihidupkan lagi, Oekar Bratakoesoema, menyatakan kepada Antara, bahwa proklamasi Negara Pasundan adalah taktik Belanda dan Suriakartalegawa adalah pionnya. Wiranatakoesoema yang sedang di rumah sakit Garut sangat tidak setuju proklamasi PRP. Antara melaporkan tentang Djoenaedi, namanya tertera dalam proklamasi Negara Pasundan, yang memprotes pencatutan namanya. Antara pun melaporkan tanggapan atas proklamasi PRP oleh berbagai cabang Paguyuban Pasundan yang pro RI.

Untuk mengimbangi protes-protes tersebut, Aneta pada 7 Mei 1947 (dalam Algemeen Indisch Dagblad, 9 Mei 1947) mewawancarai tokoh Sunda yang tinggal di Jakarta dan sempat aktif menjadi pengurus Paguyuban Pasundan. Menurutnya, tujuan utama Paguyuban Pasundan yang pertama-tama adalah demi kepentingan budaya dan pemeliharan identitas orang Sunda. Saat ditanya mengenai pernyataan Mochamad Enoch yang akan menyesuaikan pendidikan di sekolah Paguyuban Pasundan dengan kurikulum RI, si tokoh tak bisa memastikan, sebab katanya mustahil pernyataan Enoch mengimplikasikan pengorbanan bahasa Sunda di sekolah-sekolah yang dikelola oleh Paguyuban Pasundan.

Aneta juga mengontak beberapa orang Belanda sipil yang menyaksikan PRP pada hari Minggu baik di Bandung dan Bogor. Menurut mereka, tindakan PRP merupakan ekspresi murni dari perasaan orang-orang Sunda, sebagaimana yang diungkapkan oleh banyak orang Sunda.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//