• Kampus
  • Bangunan Tahan Gempa tidak Harus Modern, Nenek Moyang sudah Membuktikannya

Bangunan Tahan Gempa tidak Harus Modern, Nenek Moyang sudah Membuktikannya

Bambu menjadi salah satu komponen penting dalam arsitektur zaman nenek moyang. Sifatnya yang lentur membuat bambu mampu bertahan dari gempa.

Rumah adat Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Rumah adat ini memiliki komponen utama bambu yang tahan gempa. (Sumber Foto: ITB)*

Penulis Iman Herdiana26 Januari 2023


BandungBergerak.idNenek moyang kita rupanya sudah paham tentang mitigasi gempa. Hal ini terlihat dari arsitektur masyarakat zaman dahulu yang bahkan bisa bertahan dari gempa berkekuatan sampai 9 atau 10 skala richter.

Roza Rahmadjasa Mintaredja, pemerhati budaya Sunda dari Lembaga Adat Karatuan Padjadjaran, mengatakan salah satu komponen penting arsitektur zaman nenek moyang adalah bambu. Bambu memiliki daya lentur yang tinggi sehingga mampu menghadapi goncangan lindu. Penggunaan bambu pada bangunan dinilai sebagai bentuk pemahaman nenek moyang terhadap pentingnya mengurangi risiko bencana gempa.

Sebagai wilayah yang masuk kawasan zona cincin api (ring of fire) dengan jumlah 140 gunung berapi dan pertemuan antara lempeng bumi, Indonesia – tatar Sunda di dalamnya – rawan mengalami gempa vulkanik ataupun tektonik.

Namun Roza menyayangkan masyarakat masa kini yang seakan tidak memiliki antisipasi tinggal di cincin api (ring of fire) dan rawan terkena bencana gempa. Padahal, tinggal di zona cincin api, harus dilengkapi dengan mitigasi bencana secara serius. 

“Gempa-gempa itu mengakibatkan bencana yang tidak bisa kita anggap remeh karena bangunannya yang tidak sesuai dengan antisipasi gempa,” kata Roza, dikutip dari laman Unpad, Kamis (26/1/2023). 

Untuk itu, dalam membuat banguan, diharapkan tidak sembarangan dan turut mengantisipasi adanya bencana gempa. Roza pun menilai bahwa bambu adalah bahan untuk masa depan.

“Jangan sembarangan kita membuat rumah itu. Karena rumah bambu itu dianggap rumah kampungan, orang-orang ada yang malu memakai rumah bambu. padahal justru itu yang paling ramah terhadap lingkungan dan ramah terhadap gempa. Jadi gempa itu bisa diantisipasi,” pungkasnya.

Sudah banyak ahli yang menyatakan bambu sebagai komponen penting bangunan tahan gempa. Misalnya pascagempa Cianjur, Jawa Barat, 22 November 2022 lalu, tim ITB dan Rumah Amal Salman mendirikan shelter berbahan bambu untuk tempat pengungsian sementara.

Shelter bambu dirancang oleh desainer dan dosen SAPPK ITB, Andry Widyowijatnokoyang sudah lama dikenal sebagai ahli struktur bambu. Menurutnya, bambu juga mudah diakses, ketersediaannya melimpah, dan harganya murah.

“Sejak dulu juga sudah sangat dikenal bahwa bambu merupakan material semi-permanen temporer yang amat baik,” jelas Andry (laman ITB, diakses Kamis, 26/1/2023). 

Masyarakat secara tradisional sudah familier dengan bambu. Namun, pendekatan modern diperlukan untuk merancang bambu sebagai komponen bangunan, misalnya diperlukan teknik pasang mur dan baut dengan bambu.

Baca Juga: Kebijakan Menaikkan Tarif Parkir di Kota Bandung untuk Siapa?
Tahun Baru Imlek sebagai Momentum Menegakkan Toleransi di Kota Bandung
Ketimpangan Sosial di Jawa Barat Kian Lebar

Rumah Adat Tahan Gempa

Bukti bahwa nenek moyang telah berusaha melakukan mitigasi bencana gempa bisa dilihat dari rumah-rumah adat nusantara. Bukti ini sekaligus menunjukkan bahwa rumah tahan gempa tidak selalu harus modern.

Contohnya, pascagempa 7,0 SR di Lombok Agustus lalu, banyak rumah-rumah tembok rusak dan roboh. Rumah adat yang justru dibangun hanya dengan kayu dan bambu serta beratapkan alang-alang masih kokoh berdiri.

Fakta tersebut yang menginspirasi Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Institut Teknologi Bandung (LPPM ITB) bersama tim dari Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB melakukan riset untuk membuat desain kolaboratif rumah tahan gempa dengan konsep rumah adat setempat di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Riset ini dimulai dengan survei dan pengukuran data awal rumah adat sebagai referensi desain selama 10 hari sejak tanggal 22-31 Desember 2018 di Dusun Semokan Ruak dan Dusun Sembage, Desa Sukadana,  Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat.

“Pascagempa itu, masyarakat lebih senang membangun seperti ini (rumah adat),” jelas Kepala Dusun Semokan Ruak, Nulyangsi, kepada Reporter Kantor Berita ITB di Lombok.

Rumah adat yang dimaksud adalah rumah Sasak. Rumah tersebut beralaskan tanah, memiliki pondasi dari kayu, dengan bilik dari anyaman bambu dan rotan yang disebut pager. Atapnya terbuat dari alang-alang, bukan genteng. Arsitektur rumah adat juga didesain khas dengan interior yang memiliki aturan-aturan tertentu.

Dalam proses risetnya, Tim ITB melakukan pengukuran dan penggambaran rumah adat setempat serta mendokumentasikannya dalam bentuk foto baik eksterior maupun interior. Keterangan tentang rumah adat juga dicari dari warga dan pemangku kepentingan di dusun Semokan Ruak dan Sembage.

“Dua dusun ini dipilih karena memiliki dua karakteristik rumah adat yang berbeda. Nantinya, desain yang dibuat adalah desain kolaboratif antara tim ITB dengan masyarakat,” kata Eljihadi Alfin, asisten dosen dari Kelompok Keilmuan Manusia dan Ruang Interior FSRD-ITB sekaligus anggota tim ITB untuk riset ini.

Proses desain awal dilaksanakan bersama masyarakat setempat dalam sesi survei ini. Sementara  pengembangan desain akan dilaksanakan di Bandung pascasurvei.

“Kami harapkan nantinya ini jadi desain kolaboratif bersama masyarakat yang sesuai dengan kebutuhan mereka,” pungkas Eljihadi.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//