• Dunia
  • Mengungkap Negara Pengekspor Sampah ke Indonesia

Mengungkap Negara Pengekspor Sampah ke Indonesia

Selepas Cina menghentikan ekspor sampah pada 2017, Uni Eropa mulai menjadikan negara-negara lain di Asia menjadi targetnya, tak terkecuali Indonesia.

Sampah menumpuk di Tempat Pembuangan Sementara (TPS) Pangaritan, Kota Bandung, Sabtu (14/1/2023) sore, akibat tersendatnya proses pengangkutan ke TPA Sarimukti, Kabupaten Bandung Barat. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Penulis Tofan Aditya26 Januari 2023


BandungBergerak.idIndonesia menempati posisi ke-5 dunia sebagai negara penyumbang sampah plastik terbanyak di laut, berdasarkan data World Population Review. Pada 2021, sampah Indonesia di lautan mencapai 56.333 ton. Dalam data tersebut, menariknya, 4 negara di atas Indonesia juga berasal dari benua Asia, yakni: Filipina (356.371 ton), India (126.371 ton), Malaysia (73.098 ton), dan Tiongkok (70.707 ton).

Meskipun negara-negara di Asia penyumbang sampah terbesar, hal tersebut tidak terlepas dari adanya kolonialisasi sampah, yaitu ekspor sampah dari negara berpenghasilan tinggi ke negara berpenghasilan rendah yang kurang siap menangani sampah.

“Selama bertahun-tahun, publik dikondisikan untuk percaya bahwa permasalahan polusi sampah plastik, yang sekarang terwujud dalam dampak tidak terduga dan merusak akibat kontaminasi seluruh aspek kehidupan di planet ini, disebabkan oleh cara mereka yang tidak disiplin,” ucap Von Hernandez, Koordinator Global gerakan #BreakFreeFromPlastic, dalam konferensi pers.

Konferensi pers digelar oleh Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA) bersama Ecowaste Coalition, Mother Earth Foundation (MEF), dan Ocean Conservancy, bertajuk “Under the Microscope: GAIA Asia Pacific puts waste colonialism on the stand” di Filipina, Selasa (24/1/2023).

Selain permasalahan kolonialisasi sampah, konferensi pers ini juga memaparkan temuan audit merek yang telah dilakukan oleh gerakan #BreakFreeFromPlastic. Hasil dari audit membuktikan bahwa perusahaan fast-moving consumer goods (FMCGs), seperti Coca-Cola, PepsiCo, Nestlé, Unilever, dan Mondel?z, adalah aktor pencemar plastik yang sebenarnya.

“Kita tidak dapat menyelesaikan krisis polusi plastik tanpa mengurangi produksi plastik murni, terutama plastik sekali pakai,” seru Nicholas Mallos, Wakil Presiden Ocean Plastics dari Ocean Conservancy.

Pemerintah di negara-negara, termasuk Indonesia, didorong agar ikut andil dalam penanganan krisis sampah plastik yang sedang terjadi. Beberapa usulan antara lain memilah sampah dari sumbernya, membangun fasilitas pengolahan sampah, meminta tanggung jawab produsen sampah, mengurangi produksi plastik sekali pakai, dan mengintegrasikan serta memberdayakan sektor informal pengelola sampah.

“Tidak ada kata terlambat untuk membalikkan keadaan,” pungkas Froilan Grate, Koordinator Regional GAIA-Asia Pasifik, “kami akan terus mengungkap kebenaran dari krisis sampah ini,” lanjutnya.

Audit Merek Sampah Plastik di Indonesia

Meski Coca-Cola, PepsiCo, Nestlé, Unilever, dan Mondel?z dinobatkan sebagai aktor produsen sampah plastik terbesar di muka bumi, Indonesia memiliki aktornya sendiri. Dalam “5 Years of Brand Audits: 2018-2022” yang dirilis oleh #BreakFreeFromPlastic, Danone mendapat predikat Top Polluter selama tiga tahun berturut-turut sejak 2019.

Selain Danone, perusahaan lain yang ikut andil dalam produksi sampah plastik terbesar bagi Indonesia adalah Wings, Mayora Indah, dan Indofood.

“Pemerintah di seluruh dunia sekarang memiliki pembenaran dan kesempatan untuk secara efektif mengatasi dan membalikkan krisis polusi plastik dengan membuat perjanjian plastik global yang memangkas produksi plastik, membuat perusahaan bertanggung jawab atas polusi yang mereka sebabkan, dan mengutamakakn alternatif berbasis penggunaan kembali,” ucap Vox Hernandez, dalam situs web #BreakFreeFromPlastic.

Dalam 258 kali audit, dengan dibantu 10.715 relawan dan 39 organisasi, telah terkumpul sebanyak 97.052 keping sampah plastik dari 97 wilayah di Indonesia. Berdasarkan jenisnya, sampah plastik dengan jenis Other adalah yang terbanyak, yakni 34.119 keping. Kemudian disusul dengan sampah plastik berjenis Polypropylene (16.935 keping) dan Low Density Polyethylene (14.700 keping).

Selain berdasarkan jenisnya, pengelompokkan juga ditentukan berdasarkan tipe produk asal sampahnya. Di Indonesia, kemasan makanan menjadi yang tertinggi, yakni 56.769 keping. Lalu disusul oleh produk rumah tangga sebanyak 7.588 keping. Kemudian material rokok sebanyak 6.722 keping.

"Audit merek baru-baru ini sekali lagi menunjukkan siapa pencemar sebenarnya. Perusahaan-perusahaan ini gagal memenuhi janji mereka,” ucap Froiland Grate dalam situs web #BreakFreeFromPlastic, “dan kami akan terus menyertakan audit merek untuk menjaga agar pencemar teratas tetap bertanggung jawab,” lanjutnya.

Baca Juga: Data Sebaran TPS di Kota Bandung serta Jumlah Sampah yang Masuk dan Diangkut per Harinya Tahun 2016: Sampah akan Menggunung Apabila Pengangkutan Tersendat
Sampah, Limbah, dan Pentingnya Kerja Kolaboratif di Sungai Cikapundung
Kang Pisman vs Bom Waktu Sampah

Kolonialisasi Sampah: dari Standarisasi hingga Eksploitasi

Belakangan ini, sampah menjadi isu yang mendapat perhatian seluruh negara-negara di dunia. Berbagai kerja sama antarnegara dilakukan demi mewujudkan laju pembangunan yang ramah lingkungan. Beberapa kebijakan yang lahir demi pencegah perubahan iklim antara lain Kyoto Protocol dan Basel Convension.

Uni Eropa merupakan salah satu anggota yang terlibat dalam Kyoto Protocol dan Basel Convension. Di balik keterlibatannya tersebut, Uni Eropa masih melakukan ekspor sampah ke ke negara-negara Asia. Melalui global waster trade, sampah-sampah tersebut dikirimkan ke negara-negara tujuan dengan maksud dapat didaur ulang.

Dalam jurnal Ekspor Sampah Uni Eropa ke Indonesia Sebagai Bentuk Eco-Imperialism (2021), Meyfitha Dea Khairunnisa mengatakan bahwa selepas Cina menghentikan impor sampah pada 2017, Uni Eropa mulai menjadikan negara-negara lain di Asia menjadi targetnya, tak terkecuali Indonesia.

“Namun, kebijakan ekspor sampah yang dilakukan oleh Uni Eropa ke Indonesia bertentangan dengan berbagai kebijakan lingkungan yang ada,” tulis Meyfitha.

Bagi Meyfitha, ekspor sampah adalah salah satu perwujudan superioritas negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang. Melalui standarisasi di berbagai sektor, khususnya perdagangan, muncul perbedaan dan gap antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang. Dampaknya adalah monopoli industri terhadap negara-negara berkembang.

“Standardisasi akan membuat negara-negara maju terus memproduksi barang-barang yang sesuai dengan standar buatan mereka dan menjualnya ke negara-negara berkembang dengan doktrin bahwa barang tersebut diproduksi dengan etika lingkungan yang tinggi,” lanjut mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Indonesia tersebut.

Selain monopoli industri, ekspor sampah yang dilakukan negara-negara maju juga menjadi bentuk ekspolitasi terhadap negara-negara berkembang. Pengiriman sampah dengan bahan baku plastik, selain bertentangan dengan hukum Uni Eropa, juga dapat berdampak kepada perekonomian masyarakat.

“Dengan meningkatnya jumlah sampah yang tidak bisa didaur ulang, maka kemungkinan besar sampah tersebut akan menjadi landfill waste yang dapat menghasilkan gas emisi rumah kaca,” terang Meyfitha.

Selain menumpuknya sampah di tempat pembuangan akhir (TPA), peningkatan volume sampah juga dapat berdampak kepada permasalahan lahan dan juga berkaitan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat di sekitar TPA.

“Volume sampah yang meningkat menimbulkan masalah kesehatan bagi penduduk yang bermukim di sekitar TPST Bantar Gebang karena adanya pencemaran udara, air, dan tanah,” tulis Meyfita dengan mengambil studi kasus di tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) Bantar Gebang.

Bagi Meyfita, Uni Eropa selama ini telah gagal dalam memainkan peran sebagai pemelihara lingkungan seperti yang selama ini diberitakan. Ekspor sampah yang dilakukan oleh Uni Eropa kepada Indonesia menunjukkan adanya upaya penggeseran tanggung jawab mengenai masalah linkungan. Padahal, Indonesia sendiri sudah memiliki volume sampah domestik yang sangat banyak dan belum memiliki teknologi serta sumber daya manusia yang mumpuni dalam pengelolaan sampah.

“Dengan melakukan ekspor sampah, Uni Eropa membiarkan Indonesia mengalami peningkatan karbon dioksida, baik dari sektor industri maupun dari sektor rumah tangga,” tuturnya.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//