BIOGRAFI JONATHAN RIGG 1809-1871 #2: Mengembara ke Pulau Jawa
Jonatan Rigg terlacak tiba di Jawa pada Maret 1830 . Ia membeli lahan di Jasinga Bogor milik Robert Addison, kakek jauhnya yang sudah lebih dulu menetap di sana.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
8 Februari 2023
BandungBergerak.id – Saya belum menemukan keterangan taraf pendidikan yang dicapai Jonathan Rigg (1809-1871). Apakah lulusan perguruan tinggi atau hanya tamat sekolah menengah? Pertanyaan tersebut belum dapat saya jawab sekarang. Namun, pengembaraannya ke Pulau Jawa sudah terlacak sejak 1830.
Tahun 1830 merupakan tahun sangat berarti bagi kolonialisme Belanda di Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Mengenai hal ini, M.C. Ricklefs (A History of Modern Indonesia Since C.1200, 2008: 153) menulis, “Tahun 1830 merupakan tahun sebenarnya bagi awal periode kolonial dalam sejarah Jawa. Untuk pertama kalinya, Belanda berada dalam posisi mengeksploitasi dan mengendalikan seluruh pulau, tidak ada tantangan serius bagi dominasinya hingga abad ke-20”.
Namun, kata Ricklefs, “Posisi mereka, betapapun, jadi aneh. Sebab lebih dari 200 tahun mereka terlibat di Jawa dan lebih dari 150 tahun langsung terlibat di pedalaman. Perang Jawa merupakan investasi orang dan uang mereka yang besar dan terakhir untuk memperjuangkan hegemoninya. Pada 1830, dominasi politik di seantero Jawa akhirnya tercapai, tetapi bagi kesetimbangan, upaya itu menyebabkan gagalnya keuangan. Bila pun ada keuntungan di Jawa Tengah dan Timur, selama lebih dari dua abad, tidak berhasil mengeduknya, kecuali individu-individu yang korup. Hanya perkebunan kopi di Priangan (Jawa Barat) yang selalu mendatangkan keuntungan. Tapi di Jawa Tengah dan Timur, keuntungan habis oleh biaya militer dan administratif. Soalnya, apakah dominasi yang dicapai Belanda tahun 1830 dapat menguntungkan.”
Menurut Ricklefs, keuntungan dari Jawa sangat penting demi menutup biaya administrasi dan menyokong merosotnya posisi keuangan Belanda. Sebab, setelah Perang Napoleon, hutang domestik Belanda beserta bunganya merangkak naik. Apalagi posisinya kian memburuk kala uni Belanda-Belgia yang terbentuk melalui Kongres Wina tahun 1815 hancur karena Revolusi Belgia tahun 1830. Saat Belanda hendak menguasai Belgia lagi, mereka kalah pada 1831 dan 1832, hingga akhirnya Belanda mengakui kemerdekaan Belgia pada 1839.
Dengan kejadian tersebut, Belanda kehilangan bagian negaranya dan uang yang diinvestasikan belum dapat dikembalikan. Untuk di Jawa, selama Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830) berlangsung, Belanda memikirkan cara-cara untuk mengeduk keuntungan. Akhirnya, pada 1829, Johannes van den Bosch (1780-1844) mengajukan proposal yang nanti dikenal sebagai cultuurstelsel atau sistem tanam paksa. Raja Belanda menerimanya dan van den Bosch tiba di Jawa pada Januari 1830 sebagai gubernur jenderal (1830-1803).
Di Pulau Jawa sendiri, pada 1830, sudah berlangsung pembatasan kepemilikan lahan luas oleh swasta. Kebijakan ini dijalankan Gubernur Jenderal Baron van der Capellen (1778-1848) sejak diangkat pada 16 Januari 1819 hingga diberhentikan pada 1 Januari 1826. Korban kebijakannya terbilang banyak. Misalnya Andries de Wilde yang sempat mempunyai lahan luas Ujungberung dan Sukabumi mau tidak mau harus menjualnya kembali kepada pemerintah kolonial.
Baca Juga: BIOGRAFI JONATHAN RIGG 1809-1871 #1: Kelahiran County North Yorkshire
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #8: Delik Pers
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #7: Karier Jurnalistik Bakrie Soeraatmadja
BIOGRAFI MOCHAMAD ENOCH #17: Jejak-jejak sebagai Wali Kota
Robert Addison
Latar belakang di atas akan saya tambah dengan kehadiran pengusaha Inggris di Pulau Jawa, meskipun Inggris tidak lagi berkuasa di pulau ini (1811-1816). Menurut Donald Maclaine Campbell (Java: Past and Present, Vol I dan II, 1915) beberapa orang Inggris di Jawa bahkan mengusahakan beberapa lahan luas.
Dua di antaranya tanah Jasinga dan Kuripan. Kata Campbell, Jasinga semula dimiliki oleh pemilik Buitenzorg (Bogor). Lalu pada 1812, lahan itu dikuasai Sir Charles Forbes, James Shrapnell, dan Philip Skelton. Satu dasawarsa kemudian, Jasinga, pada 1822, dimiliki Sir Charles Forbes, David Alexander Fraser, dan Simon Fraser. Robert Addison baru memilikinya tahun 1831 dan Jonathan baru sepenuhnya menguasai Jasinga sejak 1853.
Sementara Kuripan yang terletak di jalan utama antara Batavia dan Buitenzorg, antara 1822-1824 dimiliki oleh Gillian Maclaine, William Menzies, dan William Thompson. Antara 1824-1825 dikuasai G. Maclaine & Co., Addison & Co., Thompson, Whiteman & Co., Macquoid, Davidson & Co. Selanjutnya antara 1826-1828 oleh G. Maclaine, J. A. Maxwell, P. McLachlan, D. McIntyre, dan D. McLachlan. Antara 1829-1833 oleh G. Maclaine, E. Watson, dan D. McIntyre.
Dari wikitree.com, saya tahu Robert Addison (1775-1862) dilahirkan pada 18 Oktober 1775 di Westmorland dan meninggal di Crossrigg Hall, dekat Bolton, Westmorland, England, pada 6 April 1862. Ayahnya Christopher Addison dan ibunya Elizabeth (Graham) Addison. Pada 23 Maret 1821, Robert Addison terpilih menjadi “Parliamentary Select Committee” bidang perdagangan di Asia Tenggara.
Tetapi dari koran-koran lama, saya mendapatkan data lebih lama terkait kehadiran Robert Addison di Pulau Jawa. Ia tercatat sudah ada sejak masa kekuasaan Inggris. Dari Java Government Gazette edisi 21 dan 28 Mei 1814, saya tahu sejak 6 April 1814, di Batavia, James Ainslie dan Robert Addison membentuk usaha bersama yang diberi nama Firm of Ainslie and Addison.
Lalu, sejak 23 September 1815, John Rowe bergabung dengan Ainslie dan Addison, sehingga nama usahanya menjadi Firm of AINSLIE, ADDISON and CO (Java Government Gazette, 23 September 1815). Bersama John Williams, Robert membentuk usaha Firm of ADDISON and WILLIAMS pada 12 Desember 1818 di Batavia (Bataviasche Courant, 9 Januari 1819). Tapi kerja sama ini berakhir pada September 1819 (Bataviasche Courant, 11 September 1819).
Usaha Robert Addison antara lain berkaitan dengan penyediaan kapal laut Melpomene, yang dapat disewa sebagai kapal penumpang atau kapal barang ke Inggris atau pelabuhan lainnya di Eropa (Bataviasche Courant, 4 Maret 1820). Ia juga berdagang anggur Madeira, terigu, mentega, keju Amerika, serta lilin Spermaceti (Bataviasche Courant, 3 Februari 1821). Pelelangan pun ia lakukan, misalnya pada rumah Nyonya Christin di Molenvliet, akhir 1830 (Javasche Courant, 2 Desember 1830) dan hal-hal yang berkaitan dengan almarhum Benjamin Corneille Verploegh (Javasche Courant, 11 Agustus 1831).
Barangkali dalam kerangka mengurus bisnisnya, Robert kerap bepergian. Ia antara lain pernah tercatat pergi ke Semarang dengan menggunakan kapal laut Theban pada 4 Mei 1815 (Java Government Gazette, 6 Mei 1815). Dari Semarang, pada 20 November 1818, Robert menumpangi kapal Fortuin ke Batavia (Bataviasche Courant, 28 November 1818). Pada 12 Juni 1827, ia tercatat ke Semarang lagi, dengan menggunakan kapal Lain (Bataviasche Courant, 14 Juni 1827). Pada 20 April 1833, dengan menggunakan kapal Mathilda, ia menuju Surabaya (Javasche Courant, 23 April 1833).
Bersama Kakek Jauh Membeli Jasinga
Jonathan Rigg sendiri mulai tercatat berada di Jawa pada 17 Maret 1830. Sebagaimana yang ditulis Mr. P.C. Bloys van Treslong Prins (Genealogische en heraldische gedenkwaardigheden betreffende op Java, Vol 1 (1934: xvii), hari itu Jonathan membeli atau menerima 1/8 porsi tanah Jasinga dari Robert Addison.
Artinya, saat itu Jonathan Rigg baru saja berusia 21 tahun dan barangkali karena dukungan keuangan keluarganya dia bersama kakek jauhnya, Robert Addison, dapat membeli tanah Jasinga. Bukti lebih jauh Jonathan sudah ada di Jawa sejak 1830, terbaca dari berita Javasche Courant edisi 19 Oktober 1830. Di situ dikatakan Jonathan Rigg tiba di Batavia pada 16 Oktober 1830 setelah melakukan perjalanan lewat laut dari Cirebon, menggunakan kapal Marquiz of Hasting.
Hubungan Jonathan Rigg dengan Robert Addison dapat dibaca dari berita Javasche Courant edisi 22 Mei 1832. Dalam berita disebutkan, pada 14 Mei 1832 di Batavia, Addison & Co memberi kewenangan kepada Jonathan sebagai pihak yang diberi kuasa. Ini mengandung arti, hingga 14 Mei 1832, agaknya peran Jonathan Rigg masih dapat dibilang minor terkait keputusan-keputusan mengenai Jasinga dan usaha lain yang dimiliki oleh Addison & Co atau kakek jauhnya, Robert Addison.
Dalam konteks aturan pajak dalam Staatsblad 1836 No 19, ada surat-menyurat antara pihak administrasi dan pemilik tanah Jasinga (eigenaar van het land Djasinga). Dalam surat bertiti mangsa 6 April 1838, dalam konteks melakukan pembelaan terhadap keluahan dari sebagian besar orang yang tinggal di tanah miliknya pada wedana Jasinga, Jonathan Rigg menegaskan bahwa setelah tuntutan kriminalitas pada pemilik Jasinga sebelumnya, Crozier dan Fraser, tahun 1821, sebagian penduduk Jasinga menuntut sang pemilik, sementara sebagian lainnya tetap membayar pajak seperti sebelum tahun 1821.
Dari data tersebut, kita mendapatkan fakta bahwa sebelum dikuasai oleh Sir Charles Forbes, David Alexander Fraser, dan Simon Fraser pada 1822, tanah Jasinga antara 1812 hingga 1821 dikuasai oleh Crozier dan Fraser.
Dalam kapasitasnya sebagai salah seorang pemilik Jasinga, pada 10 September 1839, Jonathan Rigg terlibat dalam kontrak penyewaan dan pembelian lahan Jasinga dengan James Newland. Peristiwa terekam dalam Het Regt In Nederlandsch-Indie: Regtskundig Tijdschrift, Jrg 4, Zevende Deel (1852). James Newland adalah Opzichter Waterstaat (pengawas pengairan) dan meninggal di Kampung Melayu pada 24 September 1876 dalam usia 44 tahun. James mempunyai adik bernama Robert Newland, yang bekerja sebagai pemilik tanah Soekaradja dan meninggal pada 5 Maret 1868 dalam usia 37 tahun. Dengan demikian, saya tidak tahu bagaimana kontrak antara Jonathan dengan James itu? Apakah Jonathan menyewa dan membeli sebagian lahan Jasinga yang dimiliki oleh James atau sebaliknya?
Apakah hal tersebut bertalian dengan kembalinya Robert Addison ke Inggris? Karena sudah sejak Januari 1840 sudah dikatakan Robert dan keluarganya akan berangkat ke Eropa (Javasche Courant, 8 Januari 1840; Javasche Courant, 2 Januari 1841). Jadinya, Robert sekeluarga menuju Rotterdam pada 31 Maret 1841 dengan menggunakan kapal Admiraal van Kinsbergen (Javasche Courant, 3 April 1841). Kepulangan ini bahkan didahului oleh Jonathan Rigg yang pergi ke Rotterdam pada 17 Desember 1839 dengan menggunakan kapal Emanuel (Javasche Courant, 25 Desember 1839; Javasche Courant, 8 Januari 1840). Alhasil, kemungkinan yang terjadi pada 10 September 1839 adalah Jonathan Rigg atas nama Robert Addison menjual atau menyewakan sebagian lahan Jasinga kepada James Newland.
Seiring waktu, hingga 1852, Jonathan Rigg dan Robert Addison sudah berganti dua agen untuk usaha yang dijalankannya di tanah Jasinga. Pertama, pada tahun 1843 hingga 1 Oktober 1845, wakil Jonathan dan Robert adalah Maclaine, Watson & Co. Kedua, sejak 1 Oktober 1845, yang mewakili Jasinga adalah Adam & Co. Dan sejak 1852, sebagaimana diterangkan dalam Het Regt in Nederlandsch-Indie (1852), sudah dikatakan Jonathan Rigg adalah tuan tanah di Surabaya dan Robert Addison adalah warga di London.
Artinya, besar kemungkinan, setelah pulang ke Inggris tahun 1841, Robert sekeluarga tidak kembali ke Hindia Belanda. Mereka tidak menetap di tempat asalnya di Westmorland, melainkan menetap di London. Lalu, bagaimana bisa Jonathan Rigg menjadi tuan tanah di Surabaya? Saya akan berusaha menjawabnya dalam tulisan mendatang.