SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #7: Karier Jurnalistik Bakrie Soeraatmadja
Selama menjabat pemimpin redaksi Sipatahoenan, Bakrie Soeraatmadja beberapa kali dituduh dengan delik pers. Puncaknya harus mendekam di penjara Sukamiskin.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
26 Januari 2023
BandungBergerak.id - “Djoeragan Bakrie Soeraatmadja anoe anjar keneh pisan menta eureun tina pagawean Gouvernement, mimiti ti tanggal 1 Januari 1929, baris djadi Redacteur tina ieu soerat kabar” (Tuan Bakrie Soeraatmadja yang baru saja mengundurkan diri dari dinas pemerintah, sejak 1 Januari 1929 akan menjabat sebagai redaktur surat kabar ini).
Demikian yang tertulis dalam berita singkat bertajuk “Journalistiek” (Sipatahoenan, 25 Desember 1928). Berita tersebut jelas menyuratkan peran besar Bakrie Soeraatmadja (1895-1971) bagi perkembangan Sipatahoenan antara 1924-1935, yaitu sejak menjadi kontributor, redaktur hingga pemimpin redaksi koran tersebut.
Peran Bakrie sebagai kontributor awal Sipatahoenan diakui Ahmad Atmadja dalam “Pangeling-eling Sipatahoenan 10 Taoen” (1933). Ahmad mengatakan, “Noe djadi pembantoe seueur, ngan noe pangageungna ngabantoe ti kaanggangan nja eta Djrg. Bakrie Soeraatmadja ti Soerabaja sarta beuki soson-soson ngabantoena nepi ka wantoen kaloear tina padamelanana soepaja tiasa ngawoengkoel didamel pikeun Sipatahoenan” (Yang menjadi kontributor banyak, tapi yang paling banyak membantu dari jauh adalah Tuan Bakrie Soeraatmadja dari Surabaya dan ia kian bersungguh-sungguh membantu hingga berani mengundurkan diri dari pekerjaannya agar bisa fokus untuk Sipatahoenan).
Pernyataan Ahmad seiring pula dengan pendahuluan peringatan sepuluh tahun Sipatahoenan (1933). Di situ dikatakan, setelah muncul gagasan hendak menerbitkan Sipatahoenan seminggu dua kali, gagasannya ditindaklanjuti diskusi pihak administrasi Sipatahoenan dengan Bakrie Soeraatmadja yang saat itu bekerja di Hoofdbureau PTT di Bandung).
Saat Sipatahoenan menjadi harian di Tasikmalaya, Bakrie diangkat sebagai kepala kantor di Bandung (“Minangka keur pamoeka djalan hiroepna Sipatahoenan di Bandoeng, nja Djrg. Bakrie Soeraatmadja pisan anoe kapilih ngamoedi bijkantoor Sipatahoenan di Bandoeng teh”). Begitu pun saat Sipatahoenan diserahkan dari Paguyuban Pasundan Cabang Tasikmalaya ke Pengurus Besar Paguyuban Pasundan, Bakrie pula yang ditugaskan untuk mengemudikan koran tersebut di Tasikmalaya.
Kontributor Paling Produktif dari Surabaya
Itulah peran besar Bakrie Soeraatmadja bagi Sipatahoenan. Agar mendapatkan gambaran rinci, saya akan menggambarkan dulu riwayat hidup singkat Bakrie sebagaimana yang dapat saya baca dari Soebagijo IN (Sebelas Perintis Pers Indonesia, 1976; Jagat Wartawan Indonesia, 1981), Ajip Rosidi (Ensiklopedi Sunda, 2000), dan Rahim Asyik (“Sipatahoenan: Riwayat Koran Tiga Zaman”, dalam Pikiran Rakyat, 3-13 Februari 2015; dan Konflik dan Harmoni: Sipatahoenan di Bawah Tiga Pemimpin Redaksi, 1924-1942, 2018).
Berdasarkan bacaan di atas, Bakrie bernama lengkap Raden Bakrie Soeraatmadja. Ia dilahirkan di Bogor pada 26 Juni 1895. Ayahnya Raden Mh. Hassan Tanoediredja. Saat berumur enam tahun, Bakrie belajar di Tweede Klasse School (TKS). Di samping itu, karena ayahnya menginginkannya menjadi santri, setelah sekolah umum, Bakrie belajar di sekolah agama, bahkan pada akhirnya sempat dimasukkan ke pesantren di daerah Bogor.
Setelah sekolah umum dan pesantren, Bakrie sempat berganti-ganti pekerjaan. Antara lain ia pernah bekerja di perusahaan sepatu, bengkel sepeda, perkebunan di Jampang Kulon (Sukabumi), juru tulis desa (Bogor), kemudian menjadi kurir di Gemeentelijke Secretarie (Bogor). Setelah itu, diangkat sebagai penulis pembantu di Jasinga, kemudian dipindahkan ke kantor Controleur Kota di Bogor, sehingga berakhir di kotapraja Bogor.
Setelah berganti-ganti pekerjaan, Bakrie menjadi santri lagi di sebuah pesantren di Cianjur. Dari situ kemudian ia bekerja di kantor telefon atau PTT, mula-mula di Purwakarta, kemudian Karawang, Bogor, dan Surabaya (sekitar 1922). Dari Surabaya, Bakrie ditarik ke kantor pusat PTT di Bandung sekitar 1925. Pada 1927, ia berhenti bekerja di PTT dan sepenuhnya aktif di Paguyuban Pasundan dan Sipatahoenan.
Aktivitas berorganisasinya dimulai dengan perkenalannya dengan Sarekat Islam Cabang Purwakarta saat Bakrie bekerja di situ (sekitar 1916). Namun, karena Paguyuban Pasundan juga membuka cabang di Purwakarta, Bakrie tertarik untuk menjadi anggotanya. Dengan demikian, ia melepaskan Sarekat Islam kemudian bergabung di Paguyuban Pasundan. Bahkan, selanjutnya ia menjadi ketua Paguyuban Pasundan Cabang Purwakarta, ketua Paguyuban Pasundan Cabang Bogor dan mendirikan serta menjadi ketua Paguyuban Pasundan Cabang Surabaya.
Untuk Sipatahoenan, Bakrie sudah mulai menulis sejak 1924 atau tahun pertama Sipatahoenan. Tulisan-tulisan politiknya banyak ia tulis saat menjadi ketua Paguyuban Pasundan Cabang Surabaya. Sebagaimana yang saya lihat dari korannya, tahun 1924, Bakrie antara lain menulis artikel “Ambtenaar djeung Politiek” (Sipatahoenan, 16 Desember 1924), “Salaris Commissie” (23 Desember 1924), dan laporan bertajuk “Kekengingan ti Soerabaja” (30 Desember 1924).
Kemudian pada tahun 1925, Bakrie menulis antara lain sambungan “Kekengingan ti Soerabaja” (6 Januari 1925), surat kiriman “Kahatoer hing pajoeneun pilenggah Para Djoeragan di Bogor” (13 Januari 1925), “Opendeur Politiek” (27 Januari 1925), “Rasa Kabangsaan” (3 Februari 1925), “Pakasaban Oerang Priboemi” (24 Februari 1925), “Rasa Kabangsaan djeung Islam” (10 Maret 1925), surat kiriman “Kahatoer Djoeragan Wiratmadja di Manondjaja” (24 Maret 1925), “Kamadjoean Bangsa djeung Lemah Tjai” (31 Maret 1925), “Sareundeuk Saigel” (7 Juli 1925), “Hajang Njatoe Dibere Tjaoe” (14 Juli 1925), “NIC Bandoeng-Soerabaja” (28 Juli 1925), “Timbangeun” (18 Agustus 1925), “Kommunisten di Indonesia” (8-15 September 1925), “Verslag Vergadering Pas. Tjabang Soerabaja” (22 September 1925), “Revolutionair Natioanalistisch” (17 November 1925), “Economie” (27 April 1926), “Wet Anjar” (25 Mei 1926), “Bangsa Tiong Hwa di Indonesia” (28 Agustus 1928), dan “Miss Riboet” (28 Agustus 1928).
Dari daftar di atas, saya dapat menyimpulkan memang betul yang dikatakan Ahmad Atmadja, meskipun dari jauh, dari Surabaya, Bakrie Soeraatmadja sangat besar perannya untuk membantu mengisi Sipatahoenan. Dengan kata lain, Bakrie sangat produktif menulis untuk Sipatahoenan antara 1924-1928. Cakupan tulisannya berkisar di sekitar masalah-masalah politik, organisasi, ekonomi, ideologi yang berkembang saat itu (Islam, nasionalisme, komunisme), dan turut terlibat dalam perang pena seputar hal-hal tersebut. Tidak aneh, ketika pindah kerja ke Bandung, bersama Oto Subrata dan Sutisna Sendjaja dari Paguyuban Pasundan, Bakrie aktif pada PPPKI (1927).
Baca Juga: SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #4: Memperkenalkan Istilah Marhaen
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #5: Bersanding dengan Somah Moerba dan Langlajang Domas
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #6: Terbit Dua Kali Seminggu
Bui Sukamiskin dan Pengunduran Diri
Dari berbagai pustaka di atas, saya tahu bahwa antara 1926-1927, Bakrie Soeraatmadja dipercaya menjadi penanggung jawab surat kabar bulanan Somah Moerba yang diterbitkan Paguyuban Pasundan. Kemudian bersama Soeriadiraja, R. Moh. Enoch, dan Soetisna Sendjaja, Bakrie menjadi redaktur mingguan Langlajang Domas (1927-1928), yang juga diterbitkan oleh Paguyuban Pasundan, sebagai pengganti Somah Moerba.
Untuk Sipatahoenan, Bakrie Soeraatmadja sejak 1 Januari 1930 diangkat menjadi pemimpin redaksinya. Jabatan ini diembannya hingga 30 Agustus 1935. Selama menjabat pemimpin redaksi, dia mengalami beberapa kali pemanggilan atas tuduhan delik pers dan puncaknya terjadi antara 22 Februari-23 Mei 1935, saat harus mendekam di penjara Sukamiskin.
Pengalaman pertama Bakrie berurusan dengan delik terjadi pada 8 Agustus 1929, atas aduan Nain Gelar Chatib Manso, pegawai Balai Pustaka, yang merasa tersinggung atas artikel dalam Sipatahoenan edisi 27 Juli 1929 No. 60 (Sipatahoenan, 14 Agustus 1930). Atas pemberitaan 10 Juli 1929, Bakrie diminta datang ke kantor Camat Kota Tasikmalaya (Sipatahoenan, 4 September 1929). Demikian pula atas pemberitaan 4 Mei 1929, ia diadukan Wedana Banjar (Sipatahoenan, 28 September 1929) dan berita 16 November 1929 diadukan oleh Francicus de Blok (Sipatahoenan, 11 Desember 1929).
Atas dugaan pencemaran nama baik polisi di Singaparna, Sipatahoenan didenda sebesar 40 gulden. Kemudian pada 21 Januari 1930, Bakrie mulai diperiksa pengadilan Tasikmalaya untuk delik berita 10 Juli 1929 (Sipatahoenan, 22 Januari 1930). Lalu, atas berita berjudul “Perkara Disidem?” edisi 31 Agustus 1939, lagi-lagi Bakrie diminta keterangan oleh polisi Tasikmalaya (Sipatahoenan, 13 Februari 1930).
Delik 5 Januari 1934 yang menyebabkan Bakrie Soeraatmadja dibui di Sukamiskin. Prosesnya, ia antara lain diminta datang ke kantor Keresidenan Priangan pada 10 April 1934, dan diperiksa pada 28 September 1934 (Sipatahoenan, 11 April 1934; 28 September 1934). Ternyata kasusnya berupa pemuatan artikel “Ir. Soekarno” yang ditulis orang dengan nama samaran Hasbi (Sipatahoenan, 29 September 1934). Oleh pengadilan Jakarta, Bakrie divonis tiga bulan penjara dan dia menyatakan naik banding (Sipatahoenan, 15 Februari 1935).
Atas kejadian tersebut, EM menulis puisi berikat bentuk Dangdanggula dengan judul “Wadal Sipatahoenan” (rubrik “Leleson Dinten Minggoe”, Sipatahoenan, 23 Februari 1935). Ia menyatakan semata-mata yang dialami Bakrie adalah nasib yang harus dihadapi (“Abong takdir teu beunang dipoengkir kadar awak teu beunang disinglar. Papasten Goesti Jang Manon, moen tjoendoek kana dawoeh tepi kana wantjina boekti, teu bisa disingkahan, nadjan oerang emboeng, boekti geuningan ajeuna noe kalakon perkara Djoeragan Bakrie, koedoe nandang hoekoeman”).
EM menyatakan Bakrie adalah pemimpin redaksi pertama yang menjadi korban delik pers, sehingga harus berpisah dengan istri dan anaknya serta berganti dengan baju tahanan, tanpa disengaja, sebagai sebuah ujian (“Wadal delict anoe nomer hidji. Hoofdredacteur noe njangga dododja, papisah djeung anak bodjo, dihoekoem ganti badjoe, takdir diri nepi ka djangji, oelah rek marodjengdja, koedoe teroes madjoe, da lain niat dihadja, ngan tadina koe rasa henteu kaoedji, bakal kitoe nja bagdja”).
Bakrie mulai dibui sejak pukul 09.00, hari Jum’at, 22 Februari 1935. Atas kejadian itu pula, direktur Sipatahoenan Oto Iskandar di Nata mengumumkan selama Bakrie menjalankan vonis (“Sakoemaha anoe geus didjentrekeun dina ieu soerat kabar, hoofdredacteur Sipatahoenan Djoeragan Bakrie Soeraatmadja teh ajeuna keur ngadjalankeun vonnis Raad van Justitie anoe ditibankeun ka andjeunna”), kemudi Sipatahoenan diserahkan kepada Mohamad Koerdie (Sipatahoenan, 8 Maret 1935).
Akhirnya, setelah tiga bulan dipenjara, Kamis pagi, pukul 06.00, 23 Mei 1935, Bakrie dibebaskan (Sipatahoenan, 23 Mei 1935). Atas kebebasan itu, ia berterima kasih kepada semua pihak yang telah mengirimkan surat dukungan baik ketika berada di Sukamiskin maupun setelah keluar dari bui (Sipatahoenan, 31 Mei 1935).
Setelah sempat menjadi pemimpin redaksi lagi antara 3 Juni 1935 (Sipatahoenan, 3 Juni 1935) hingga 29 Agustus 1935, Bakrie mengundurkan diri dari posisinya terhitung sejak 30 Agustus 1930, dengan alasan yang kurang jelas. Pengunduran dirinya ia umumkan dalam Sipatahoenan edisi 30 Agustus 1935, dengan tajuk “Kapaksa Segah”. Katanya, “Henteu koedoe dipedar didadarkeun heula, naon noe djadi marga lantaranana, ngamimitian ti powe ieu pisan, djisim koering ‘kapaksa segah’ ninggalkeun hoofdredactie Sipatahoenan”.
Perintis Pers Indonesia
Masih terkait dengan perkembangan pers di tanah air, Bakrie Soeraatmadja dianggap sebagai salah seorang pendiri Perdi (cikal bakal PWI), pada 23 Desember 1933 di Solo, sekaligus pendiri PWI. Selain menjadi anggota Perdi pusat, Bakrie pernah menjadi ketua Perdi Cabang Bandung.
Kemudian, ketika tren berkunjung ke tempat-tempat pesiar demikian marak di Bandung tahun 1930-an, Bakrie dan kawan-kawan di redaksi Sipatahoenan dan jurnalis lainnya mendirikan Bandoengsche Excursie Comite (BEC) pada 1934. Ia menjadi ketuanya, dengan sekretaris Sunaryo, bendahara Sukarto, dan anggota-anggota Sukiman Dipowiyono, Sukarso, Mohamad Koerdie, dan S. Martoyo. Organisasi ini antara lain sempat membawa rombongan mengunjungi kawasan wisata Talaga Bodas, Garut (Februari 1934), Bogor via Puncak (Oktober 1934) dan Pangandaran (November 1934).
Satu dasawarsa lebih kemudian, saat revolusi pecah, Bakrie memimpin pasukan yang terdiri atas 400 orang di Kebon Kawung. Pada 1946, saat terjadinya Bandung Lautan Api, ia membawa pasukannya ke Sukamiskin, Leuwipanjang, Cicalengka, Tarogong, hingga berakhir di daerah Ciamis. Pada 1949, Bakrie diangkat sebagai Kepala Jawatan Penerangan Tasikmalaya, dan pada 1950 dipindahkan ke Keresidenan Priangan. Memasuki 1955, ia pensiun sebagai pegawai negeri, dengan status akhir sebagai pegawai Jawatan Sosial Kotamadya Bandung.
Saat aktif sebagai jurnalis, Bakrie Soeraatmadja ternyata aktif pula menulis buku. Buku-bukunya antara lain Elmoening Kabangsaan (Drukkerij Panghiboer), roman Sunda Jodo nu Didago-dago (Boekhandel & Drukkerij Economy, 1928), Panggeuing Galih, Angkeuh Kageulisan (Drukkerij Panghiboer, Bandung), dan buku pertama tentang jurnalistik dalam bahasa Sunda dengan judul Boekoe Djoernalistik (1937).
Atas jasa-jasanya untuk perjuangan di tanah air, pada 1964, Bakrie Soeraatmadja menerima Satyalencana Perintis Kemerdekaan. Ia meninggal dunia pada 1 Juni 1971 di rumahnya di Jalan Pajajaran 100 Bandung, yang semula di Jalan Astanaanyar No. 174 A. Atas permintaan Gubernur Jawa Barat Solihin GP (1970-1974), kerangka Bakrie dimakamkan kembali di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung. Ia meninggalkan seorang istri, Nyi Iyar Wiarsih, dengan 12 orang anak. Atas jasa-jasanya pula, pada 1974, Bakrie dianugerahi gelar Perintis Pers Indonesia oleh Pemerintah Indonesia melalui Menteri Penerangan.