• Kolom
  • SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #8: Delik Pers

SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #8: Delik Pers

Sipatahoenan sempat dua kali disita oleh polisi. Penyebabnya, memuatkan surat yang diterima Inggit Garnasih yang isinya memberi semangat sekalipun Soekarno dibui.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Dalam Sipatahoenan edisi 31 Juli 1935 dimuat proses pengadilan E.M. Dachlan, yang dilaporkan secara verbatim. (Sumber: Sipatahoenan)

3 Februari 2023


BandungBergerak.idDalam tulisan pendahuluan “Sipatahoenan 10 Taoen” (1933), redaksi Sipatahoenan memasukkan dua hal yang berkaitan dengan delik pers. Pertama, tulisan bertajuk “Delicten” dan yang kedua berjudul “Doea kali dibeslag”. Ini mengandung arti, sejak terbitnya pada 1924 hingga 1933, Sipatahoenan mengalami beberapa kali delik pers dan dua kali disita.

Dalam tulisan “Delicten” dikatakan, “Dina djero 10 taoen oemoerna Sipatahoenan, babakoena ti sabarang dikaloearkeun saminggoe doea kali djeung dina saenggeusna djadi dagblag, ieu soerat kabar njorang 9 kali katarik kana papariksaan politie, lantaran toelisan noe dimoeatkeun” (Dalam tempo 10 tahun usia Sipatahoenan, terutama sejak diterbitkan seminggu dua kali dan setelah terbit menjadi harian, surat kabar ini sempat sembilan kali diperiksa oleh polisi, karena tulisan yang dimuatkannya).

Alhasil, sejak 1924 dan terutama setelah 1929 hingga 1933, Sipatahoenan pernah menghadapi sembilan kali delik pers. Semua delik, kata redaksi, dihadapi oleh pemimpin redaksinya, Bakrie Soeraatmadja (“Kana ieu papariksaan politie kabeh oge disanghareupan koe noe djadi hoofdredacteurna bae, Djrg. Bakrie Soeraatmadja”).

Secara rinci, tiga kali mendapatkan hukuman denda, yaitu sebesar f. 40, f.50, dan f. 7,5 (“3 kali meunang hoekoeman dengda, nja eta mimitina f. 40, ti dinja f. 50 sarta noe pangpandeurina f. 7,50 henteu atjan kaitoeng majar ongkos perkarana, gerechskosten”). Tiga perkara dilepas oleh pengadilan dan tiga lagi tidak sempat masuk ke pengadilan (“noe 3 perkara dilepas koe pangadilan sarta noe tiloe deui mah henteu koengsi dipasrahkeun ka pangadilan”).

Siapakah pembela Sipatahoenan di pengadilan untuk urusan delik pers? Ternyata redaksi menyebutkan R. Idih Prawira di Poetra yang menjadi pembela mereka dan tanpa dipungut bayaran (“Di lebah dieu, tangtoe henteu koedoe dipopohokeun kana djasana Rechtskundige Rd. Idih Prawira di Poetra, noe salawasna djadi advocaat Sipatahoenan kalawan gratis. Noehoen!”).

Selanjutnya, dalam tulisan “Doea kali dibeslag”, redaksi menyatakan setelah menjadi harian, Sipatahoenan sempat dua kali disita oleh polisi (“Saenggeusna Sipatahoenan djadi dagblad, geus ngarasa doea kali dibeslag koe polisi”). Penyebabnya, yang pertama karena memuatkan surat anonim yang diterima oleh Inggit Garnasih, yang memberi semangat agar tetap berbesar hati sekalipun Soekarno sedang dibui. Ini terjadi saat Sipatahoenan masih diterbitkan di Tasikmalaya (“Noe ka 1, keur dikaloearkeun di Tasikmalaja keneh lantaran ngamoeatkeun soerat [anoniem] salinan berictkaart noe katampa koe Mevr. Soekarno di Bandoeng. Maksoedna eta soerat njeboetkeun oelah leutik hate sanadjan Ir. Soekarno keur aja di djero boei oge, da bakal rea noe miloe ngabelaan, enz, enz”).

Sitaan pertama itu konon menyebabkan Sipatahoenan tidak sempat disebarkan, karena semua hasil cetaknya disita oleh polisi Kota Tasikmalaya (“Koe ieu sitaan nepi ka Sipatahoenan henteu bisa dikaloearkeun pisan, da kabeh diringkid ka kantor Stadspolitie Tasikmalaja”).

Sitaan kedua kali dialami oleh Sipatahoenan saat sudah diterbitkan di Bandung dan penyebabnya karena memuatkan mosi “dari Rajat kepada Rajat” sebagai hasil pertemuan umum di Cirebon, yang berkaitan dengan ordonansi sekolah liar (“Noe ka 2 kalina, saenggeusna Sipatahoenan dikaloearkeun di Bandoeng, lantaran ngamoeatkeun motie ‘dari Rajat kepada Rajat’ boeahna openbare vergadering di Tjirebon, tina bab Wildescholen Ordonanntie”).

Yang disitanya hanya lembaran kedua yang memuatkan mosi, sementara lembaran pertama Sipatahoenan dapat disebarkan kepada masyarakat luas (“Koe ieu beslahan mah, Sipatahoenan bisa keneh dikaloearkeun, da noe dibeslag koe politie teh, ngan lambaran kadoea bae, djadi ari lambaran ka 1 mah, bisa dikaloearkeun sakoemaha biasana”). Meski demikian, hingga 1933, semua lembaran kedua yang dibawa itu ada di Biro Kepala Polisi di Cicendo (“Lambaran kadoeana, kabeh dibawa sarta nepi ka ajeuna diampihan di Hoofdbureau van Politie di Tjitjendo, Bandoeng”).

Sipatahoenan edisi 1 Agustus 1935 menyajikan pembelaan Rd. Idih Prawira di Poetra yang diterjemahkan dari bahasa Belanda ke bahasa Sunda. (Sumber: Sipatahoenan)
Sipatahoenan edisi 1 Agustus 1935 menyajikan pembelaan Rd. Idih Prawira di Poetra yang diterjemahkan dari bahasa Belanda ke bahasa Sunda. (Sumber: Sipatahoenan)

Pemimpin Redaksi hingga Loper Dipanggil Polisi

Karena delik pers yang dialami oleh Bakrie Soeraatmadja, bahkan hingga ia mendekam di penjara Sukamiskin selama tiga bulan, sudah saya tuliskan sebelumnya, dalam tulisan ini saya akan melanjutkan rincian delik pers lainnya.

Namun, secara ringkas, saya akan mengulangi edisi-edisi Sipatahoenan yang menyebabkan Bakrie harus berurusan dengan polisi karena delik pers. Bakrie antara lain harus menghadap ke kantor polisi karena pemuatan tulisan dan berita dalam Sipatahoenan edisi 4 Mei 1929, 10 Juli 1929, 27 Juli 1929, 16 November 1929, 31 Agustus 1930, dan delik 5 Januari 1934 yang menyebabkan Bakrie Soeraatmadja dibui di Sukamiskin.

Ternyata setelah delik itu, Bakrie Soeraatmadja beserta beberapa pegawai Sipatahoenan, termasuk percetakannya, harus pula berurusan dengan polisi. Mengenai hal ini, berita-beritanya dapat kita ikuti dari Sipatahoenan sejak Maret 1934.

Dalam edisi 6 Maret 1934, disebutkan hari itu, sesudah pemimpin redaksi dan korektor Sipatahoenan, giliran administratur Sipatahoenan Asikin dan Chef Drukkerij percetakan Sipatahoenan, I. Sasmitaatmadja, yang diperiksa di Hoofdbureau van Politie Cicendo. Dua hari kemudian, pada edisi 8 Maret 1934 yang dipanggil dan diperiksa oleh polisi hari itu adalah Mardjoek, krantenlooper (loper koran) untuk dalam Kota Bandung.

Besoknya, dalam edisi 9 Maret 1934, yang dipanggil oleh Afdeeling Politiek, Hoofdbureau van Politie di Cicendo itu adalah loper bernama Idi. Alhasil, hingga saat itu yang dipanggil oleh polisi adalah Hoofdredacteur Bakrie Soeraatmadja, Administrateur Asikin, Chef Drukkerij I. Sasmitaatmadja, Corrector Onong Soma di Nata, Expediteur Soemirat, Krantenlooper Mardjoek, Krantenlooper Idi, dan hari itu (9 Maret 1934) juga bertambah dengan Opmaker Gandamihardja dan Drukker Wahjoe. Pada 13 Juli 1934, Chef Drukkerij I. Sasmitaatmadja, Corrector Onong Soma di Nata, Expediteur Soemirat, dipanggil lagi oleh polisi. Dan akhirnya, sebagaimana yang sudah saya tulis, buntut kasus delik 5 Januari 1934 adalah Bakrie dibui selama tiga bulan di Sukamiskin pada tahun 1935.

Baca Juga: SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #5: Bersanding dengan Somah Moerba dan Langlajang Domas
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #6: Terbit Dua Kali Seminggu
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #7: Karier Jurnalistik Bakrie Soeraatmadja

Kasus E.M. Dachlan

Pegawai Sipatahoenan lainnya yang harus berurusan dengan polisi akibat delik pers Bakrie Soeraatmadja adalah redaktur E.M. Dachlan. Saya sendiri baru dapat menyimak berita-beritanya sejak Sipatahoenan edisi 18 Oktober 1934. Pada edisi itu dikatakan, hari itu, E.M. Dachlan akan diperiksa di Hoofdbureau van Politie Cicendo setelah sakit (“Ajeuna sanggeus saminggoe katoendana, ieu papariksaan teh ti mimiti powe ieu diteroeskeun deui ngahantja [noeloejkeun] papariksaan anoe katoekang”).

Sejak 18 Oktober 1934 hingga hari-hari berikutnya Dachlan terus diperiksa oleh polisi. Pada pemerikasaan tanggal 19 Oktober 1934 (Sipatahoenan, 20 Oktober 1934), prosesnya terbilang lama, karena Dachlan terpaksa harus menjelaskan kata-kata puitis yang jarang digunakan dalam percakapan bahasa Sunda sehari-hari, seperti kata “nastiti”, “titi surti”, dan lain-lain (“Noe matak ieu papariksaan beunang diseboetkeun rada lila, sabab kapaksa koedoe nerangkeun ketjap-ketjap anoe tjarang kapakena dina ngomong [njarita Soenda] saperti ‘nastiti’, ‘titi-soerti’ djeung sadjabana”).

Selain itu, yang membuat lama pemeriksaan adalah bahan deliknya, yaitu puisi berikat yang dimuat dalam rubrik “Leleson Dinten Minggoe”, sebagian baitnya harus diterjemahkan ke dalam bahasa lain, terutama Melayu (“Sadjaba ti kitoe sabagian tina ieu Leleson Dinten Minggoe teh, kapaksa koedoe disalin kana basa sedjen, babakoena kana Malajoe”). Karena agar sukar diterjemahkan ke dalam bahasa lain, akhirnya diterjemahkan secara harfiah, ditambah dengan penjelasannya (“Koe lantaran dipindahkeun kana basa sedjen teh dina ketjap-ketjap anoe saroepa kitoe mah katjida pisan hesena, kapaksa woordelijk bae, anoe sateroesna make katerangan noe tetela”).

Meski pada edisi 20 Oktober 1934 dikatakan pemeriksaan akan selesai hari itu, tetapi ternyata ada lanjutannya, sebagaimana disebutkan dalam edisi 22 Oktober 1934. Di situ disebutkan, “Tapi, ajeuna bisa diwawarkeun deui, jen ieu papariksaan teh masih aja keneh [teu atjan tamat] da powe ieu oge papariksaan teh diteroeskeun keneh” (Tapi, sekarang bisa diumumkan lagi bahwa pemeriksaan ini masih ada [belum tamat] sebab hari ini akan dilanjutkan).

Pada edisi 24 Oktober 1934 disebutkan lebih dari 100 pertanyaan diajukan kepada E.M. Dachlan pada pemeriksaan tanggal 23 Oktober 1934 pukul 14.00. Selain itu, meski pemeriksaan dinyatakan selesai, konon, pada hari Kamis sore (25 Oktober 1934) akan dilakukan pertemuan antara yang memeriksa dan yang diperiksa. Dan ternyata yang dikatakan selesai itu ada buntutnya lagi, sebab dalam Sipatahoenan edisi 27 Oktober 1934 dikatakan “Powe ieu Djoeragan E.M. Dachlan geus dipariksa deui di kantoor politie, sabab masih keneh aja kakoeranganana” (Hari ini Tuan E.M. Dachlan telah diperiksa lagi di kantor polisi, sebab masih ada yang kurang).

Dalam Sipatahoenan edisi 28 November 1934 ada lagi berita pemanggilan E.M. Dachlan. Saat itu Assistent Wedana Politie Afdeeling VID Djanakoem Natasoebrata datang ke kantor Sipatahoenan untuk memberitahu E.M. Dachlan besok (29 November 1934) harus menghadap kepada H.H. Albreght di Hoofdbureau van Politie. Delik pers yang dikenakan kepada Dachlan adalah pemuatan tulisan tanggal 28 Juli 1934.

Kasus Dachlan terus berlanjut hingga tahun 1935. Ia antara lain diperiksa lagi pada 4 Juni 1935, tetapi sekarang kasusnya sudah dilimpahkan ke Landraad Bandoeng (pengadilan Bandung). Tetapi karena pembelanya Rd. Idih Prawira di Poetra berhalangan hadir, maka pemeriksaan diundurkan ke tanggal 9 Juli 1935.

Dalam edisi 4 Juni 1935 itu, redaksi Sipatahoenan menyatakan “Ieu perkara teh meh sataoen tjampleng, eta bae noe ngalantarankeun persdelict teh toelisan dina Sipatahoenan tanggal 28 Juli 1934, ajeuna bakal dipariksana tanggal 9 Juli 1935” (Kasus ini hampir genap setahun, karena yang menyebabkan delik pers itu tulisan dalam Sipatahoenan tanggal 28 Juli 1934, dan kini akan diperiksa pada tanggal 9 Juli 1935”).

Dalam Sipatahoenan edisi 31 Juli 1935 dimuat proses pengadilan E.M. Dachlan tanggal 30 Juli 1935 secara verbatim dan pada edisi 1 Agustus 1935 tersaji pembelaan Rd. Idih Prawira di Poetra yang diterjemahkan dari bahasa Belanda ke bahasa Sunda (“Persdelict Sipatahoenan: Biantara Pledooi Rechtskundige Idih Prawira di Poetra”). Sedangkan vonis yang dijatuhkan pengadilan kepada E.M. Dachlan pada pagi tanggal 6 Agustus 1935 adalah hukum denda sebesar f. 50 atau hukum bui selama dua bulan. Dalam Sipatahoenan edisi 6 Agustus 1935 dikatakan “Tadi isoek pangadilan Landraad Bandoeng geus nibankeun poetoesanana, nja eta noe didakwa teh dihoekoem dengda f. 50 [lima poeloeh roepia] atawa lamoen henteu majar dihoekoem boei 2 boelan lilana”.

Dari Sipatahoenan edisi 7 Agustus 1935, dalam tulisan “Pamandangan kana  persdelict Sipatahoenan”, kita jadi tahu Dachlan yang merupakan redaktur Sipatahoenan itu didakwa melanggar artikel 153 bis, 154 dan 156 (“Redacteur E.M. Dachlan didakwa ngalanggar artikel 153 bis, 154 djeung 156 tina S.w.b”).

Selain kasus E.M. Dachlan, tahun berikutnya, 1936, Sipatahoenan mengalami delik pers lagi karena pengaduan Kepala Desa Sukagalih, Onderdistrik Tarogong, Garut. Namun, pada gilirannya, kepala desa tersebut juga akhirnya dituntut oleh pengadilan Garut. Kepala desa yang telah mengadukan Sipatahoenan itu juga dibela oleh Rd. Idih Prawira di Poetra, pembela Sipatahoenan untuk kasus-kasus delik pers (“Perkara Sipatahoenan djeung Loerah Soekagalih di Garoet” dalam Sipatahoenan edisi 9 Juli 1936).

Untuk memahami apa yang terjadi pada Sipatahoenan selama rentang 1929 hingga 1936, ada baiknya kita membaca penjelasan singkat yang disampaikan Mirjam Maters (Dari Perintah Halus ke Tindakan Keras: Pers Zaman Kolonial antara Kebebasan dan Pemberangusan, 1906-1942, 2003: 29). Maters menjelaskan lima periode yang berkaitan dengan kebijakan pers di Hindia Belanda.

Kata Maters, tahun 1906, pemerintah kolonial Hindia mencoret sensor preventif aturan tentang barang cetakan 1856 yang mengatur ketentuan pers. Periode 1906-1913, penerangan jadi tema dominan bagi kebijakan pers kolonial; periode 1913-1918 terjadi pengetatan yang pertama dalam pelaksanaan hukum pidana; periode 1918-1927 pemerintah kolonial ketakutan terhadap komunisme dan nasionalisme radikal sehingga mendorong strukturisasi penerangan dan pengetatan lebih lanjut hukum pidana; periode 1927-1931 pusat perhatiannya pada pemberlakuan pemberangusan pers; dan 1931-1942 perkembangan politik luar negeri, terutama kebijakan ekspansionis Jepang, menjadi perhatian dalam kebijakan pers pemerintah Hindia Belanda.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//