Difteri, Wabah yang Berulang di Jawa Barat
Pandemi turut memicu terjadinya wabah difteri. Namun sebelum pandemi, wabah difteri sudah pernah merebak di Jawa Barat.
Penulis Iman Herdiana1 Maret 2023
BandungBergerak.id - Kasus penyakit difteri kembali merebak. Delapan orang menjadi korban jiwa di Garut. Di Kota Bandung dilaporkan ada dua kasus dan berhasil ditangani. Penyakit difteri, yang sudah ada vaksinnya, bukanlah yang pertama di Jawa Barat. Fenomena antiimunisasi turut mendorong terjadinya wabah. Pemerintah harus gencar memberikan edukasi dan sosialisasi tentang pentingnya imunisai difteri.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bandung Ira Dewi Jani menjelaskan, pihaknya sempat mendapatkan laporan dua kasus difteri klinis di Kota Bandung. Kasus ini kemudian menjadi awal penyelidikan epidemologi difteri di Kota Bandung.
"Alhamdulillah diketahui hasilnya dari dua orang itu negatif," kata Ira, dalam siaran pers yang dikutip Rabu (3/1/2023).
Pandemi turut memicu terjadinya wabah yang ditandai dengan batuk, pilk, dan sesak napas itu. Selama tahun pertama pandemi (2020-2021), imunisasi wajib termasuk DPT (difteri, pertusis, dan tetanus) bagi anak-anak sempat tersendat karena pembatasan sosial. Anak yang telah mendapat imunisasi lengkap akan mampu terhindar dari difteri.
"Waktu pandemi memang cakupannya sudah bagus di atas 90 persen. Kemarin pas kita pandemi semua layanan kesehatan dibatasi. Posyandu juga tidak dibuka waktu itu. Sehingga cakupan vaksinasi DPT kita turun jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya," ungkap Ira.
Namun sebelum pandemi, wabah difteri sudah pernah merebak di Jawa Barat. Fenomena antiimunisasi disinyalir menjadi penyebabnya. Karena itu sosialisasi dan edukasi oleh pemerintah tentang pentingnya imunisasi tidak boleh kendur.
Pada 2017, Kementerian Kesehatan merilis kejadian luar biasa (KLB) difteri. Sebagai penyakit yang telah ada vaksinnya, maka satu kasus saja yang ditemukan membuat status epidemologinya menjadi KLB. Tahun itu KLB ditetapkan di 3 provinsi yakni Banten, Jawa Barat, dan DKI Jakarta.
Sejak 1 Januari sampai 4 November 2017, telah ditemukan sebanyak 591 kasus difteri dengan 32 kematian di 95 Kabupaten/Kota di 20 Provinsi di Indonesia.
Kementerian Kesehatan menyatakan penyebab KLB tahun 2017 adalah adanya kesenjangan imunitas (immunity gap) di kalangan penduduk suatu daerah. Ada kelompok masyarakat yang yang tidak mendapatkan imunisasi atau status imunisasinya tidak lengkap sehingga tidak terbentuk kekebalan tubuh terhadap infeksi bakteri difteri yang mudah menular.
Menguatnya paradigma antivaksin menyebabkan beberapa masyarakat menghindari imunisasi. Padahal, penyakit yang disebabkan bakteri Corynebacterium diphtheriae ini dapat dicegah melalui imunisasi. Namun, isu vaksin bertentangan dengan agama ditambah dengan isu hoaks yang beredar menyebabkan masyarakat menolak melakukan imunisasi.
Menurut Guru Besar Fakultas Kedokteran Unpad Kusnadi Rusmil seyogyanya, imunisasi dilakukan untuk melindungi manusia dari penularan penyakit tertentu. Kasus difteri menjadi contoh bagaimana rendahnya kekebalan tubuh manusia dapat berdampak pada rentannya tertular penyakit. Fatalnya, penyakit ini dapat mematikan manusia.
Baca Juga: SUARA SETARA: Menstruasi dan Inferioritas Perempuan
Turun ke Jalan, Mahasiswa Bandung Menolak Perpu Cipta Kerja
Menyulap Brandgang Kumuh Menjadi Ruang Publik yang Cantik
Difteri Menyerang Usia Dewasa
Pada 2018, Provinsi Jawa Barat menduduki provinsi kedua dengan kasus penderita difteri terbanyak di Indonesia, setelah Jawa Timur di posisi pertama. Ini pula yang menjadikan angka penderita difteri di Indonesia meningkat.
Buruknya, penyakit ini tidak hanya menyerang kelompok usia anak-anak, namun juga menyerang usia remaja dan orang tua. Menurut Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Alex Chairul Fatah, rentannya usia dewasa terserang difteri disebabkan meningkatnya jumlah populasi dewasa dengan kekebalan tubuh yang lemah.
“Ini dapat mengancam kehidupan. Apabila tidak diobati dan penderita tidak mempunyai kekebalan, angka kematiannya akan mencapai 50 persen. Bila diobati akan turun 10 persen,” ujar Alex, dikutip dari laman Unpad.
Sebelumnya, difteri rentan menular ke anak-anak. Namun, melihat data penderita difteri di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, ditemukan penderita berusia 71 tahun. Sementara di Surabaya, saat ditemukan kasus difteri pada usia dewasa, para tenaga medis sempat menduga bahwa penyakit tersebut bukanlah difteri. Hampir seluruh wilayah di Indonesia ditemukan adanya kasus difteri. Rata-rata, kasus ini menyerang kelompok usia 4-8 tahun dan kelompok usia 15 tahun ke atas.
Alex menilai, perubahan paradigma masyarakat yang menolak vaksin menjadi penyebab tingginya penyebaran difteri pada orang dewasa. Beberapa faktor lainnya yaitu perubahan jadwal imunisasi pada kelompok usia tertentu dan masih buruknya pelayanan kesehatan di Indonesia.
Di sisi lain, Kusnadi Rusmil mengatakan, pola imunisasi ulangan (booster) tidak banyak dilakukan di Indonesia. Rendahnya pola imunisasi ini menjadikan kekebalan imunitas (herd immunity) masyarakat Indonesia rendah. Dalam beberapa lama, berbagai macam penyakit akan dengan mudah menyerang populasi dengan kekebalan yang rendah dan menularkan kembali kepada yang lainnya.
Dalam kasus difteri saja, satu penderita berisiko menularkan difteri kepada 6-7 orang. Jika kekebalan tiap orang rendah, wabah ini berisiko menularkan ke sejumlah orang lainnya. Satu orang akan kebal terhadap difteri jika kekebalan imunitasnya di atas 85 persen.
Difteri adalah penyakit menular dan ditandai dengan adanya peradangan pada selaput saluran pernapasan bagian atas, hidung, dan kulit. Selain itu, bakteri tersebut juga mengakibatkan gangguan jantung dan sistem saraf.
Imunisasi untuk mencegah Difteri sudah termasuk ke dalam program nasional imunisasi dasar lengkap, meliputi: (1) tiga dosis imunisasi dasar DPT-HB-Hib (Difteri, Pertusis, Tetanus, Hepatitis-B dan Haemofilus influensa tipe b) pada usia 2, 3 dan 4 bulan, (2) Satu dosis imunisasi lanjutan DPT-HB-Hib saat usia 18 bulan, (3) Satu dosis imunisasi lanjutan DT (Difteri Tetanus) bagi anak kelas 1 SD/sederajat, (4) Satu dosis imunisasi lanjutan Td (Tetanus difteri) bagi anak kelas 2 SD/sederajat, dan (5) Satu dosis imunisasi lanjutan Td bagi anak kelas 5 SD/sederajat.
Imunisasi difteri dimulai sejak anak usia 2, 3, dan 4 bulan. Lalu untuk meningkatkan antibodi, imunisasi ulang perlu dilakukan pada usia 2 tahun, 5 tahun, dan usia sekolah dasar.