• Kolom
  • NGULIK BANDUNG: 100 Tahun Observatorium Bosscha, yang Terbesar di Bumi Selatan (2)

NGULIK BANDUNG: 100 Tahun Observatorium Bosscha, yang Terbesar di Bumi Selatan (2)

K.A.R Bosscha diangkat menjadi Warga Kehormatan Kota Bandung, yang pertama dan satu-satunya. Voûte diangkat menjadi Direktur Observatorium di Lembang.

Ahmad Fikri

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman

Suasana jalan menuju Observatorium di Lembang. Foto diambil sekitar tahun 1930. (Koleksi KITLV 182137, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

3 Maret 2023


BandungBergerak.id – Rencana Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV) atau Perhimpunan Astronomi Hindia Belanda membangun observatorium yang di gadang menjadi yang terbesar di bagian bumi belahan selatan berjalan lancar. Karel Albert Rudolf Bosscha yang memimpin perhimpunan yang berdiri pada 12 September 1920 tersebut bergerak cepat.

Harian Deli courant tanggal 30 November 1920 memberitakan penunjukan firma arsitektur Schoemaker en Associatie untuk merancang bangunan observatorium tersebut di atas lahan sumbangan perusahaan Peternakan Baroe Adjak milik keluarga Ursone. Lokasi observatorium dipilih di atas bukit yang paling lereng selatan Lembang di lahan pertanian tersebut.

Diceritakan di  koran tersebut bahwa di atas lahan untuk observatorium tersebut akan dibangun dua bangunan utama. Satu bangunan berukuran besar dengan kubah raksasa di puncaknya, satu lagi bangunan serupa dengan ukurannya lebih kecil. Kubah bangunan sendiri akan didatangkan dari Eropa, sementara struktur bagian bawahnya dibuat di sini.

Yang terpenting dukungan pemerintah Hindia Belanda untuk membangun observatorium tersebut. “Kami juga mengetahui bahwa Pemerintah telah memutuskan untuk mendukung secara finansial pendirian observatorium tersebut,” tulis Deli courant, 30 November 1920.

Rencana tersebut juga membuat Bosscha ada dalam sorotan. Bukan kali ini saja administratur perkebunan teh Malabar tersebut memberikan sumbangsih yang memberi warna pada Bandung.

Kiprah Bosscha merentang sepanjang hidupnya di Priangan. Rencana pembangunan observatorium menjadi puncaknya. Rencana tersebut terwujud karena kesediaan Bosscha menyumbangkan teleskop yang akan menjadikan observatorium di Lembang menjadi yang fasilitas pengamatan bintang terbesar di bumi bagian selatan.

Rapat Gemeenteraad van Bandeong atau Dewan Kota Bandung yang digelar di 1 Desember 1920 membahas jasa Bosscha secara khusus. Koran De Preanger-bode tanggal 2 Desember 1920 memberitakan, rapat tersebut di hadiri anggota Dewan Kota yakni S.A. Reitsma selaku wali kota, Dr. De Groot, Stapel, Van Hede, Bouman, Gerber, Tjen Djin Tjong, Arifin, Soebroto, dan Wiriamihardja, Sleebom sekalu direktur perusahaan konstruksi dan pekerjaan kota, serta Petrus selaku sekretaris kota merangkap sekretaris keuangan.

Koran tersebut menceritakan, rapat tersebut membahas kembali hasil musyawarah rahasia yang dilakukan pada 3 November 1920 yang membahas mengenai jasa-jasa Bosscha yang mewarnai perkembangan Bandung. Di antaranya mendirikan institut untuk penelitian kanker, rumah sakit, perguruan tinggi, hingga yang terbaru observatorium di Lembang.

Karel Albert Rudolf Bosscha (1865-1928). (Foto: Koleksi Tropenmuseum)
Karel Albert Rudolf Bosscha (1865-1928). (Foto: Koleksi Tropenmuseum)

Baca Juga: NGULIK BANDUNG: 100 Tahun Observatorium Bosscha, yang Terbesar di Bumi Selatan (1)
NGULIK BANDUNG: Paus Biru van Garut
NGULIK BANDUNG: Perayaan Natal di Zaman Kolonial
NGULIK BANDUNG: Palagan Medan Prijaji di Bandung (Bagian 5)

Warga Kehormatan Kota Bandung

Rapat tersebut akhirnya membukakan rencana diam-diam, untuk memberi kejutan pada Bosscha yang akan menerima penghargaan Eereburgerschap der Gemeente Bandoeng alias Warga Kehormatan Kota Bandung. Koran De Preanger-bode menyebutkan pemberian sertifikat keputusan pengangkatan tersebut akan diserahkan pada Bosscha tanggal 20 Desember 1920. Bersamaan, pemerintah Kota Bandung secara resmi akan menyematkan nama Bossca pada jalan menuju Villapark di Lembangweg

Bosscha sebagai menjadi warga kota pertama yang mendapat penghargaan Warga Kehormatan Kota Bandung. Koran Algemeen Indisch dagblad tanggal 1 Februari 1947 menyebutkan Bosscha menjadi satu-satunya yang mendapatkan penghargaan Eereburger van Bandoeng hingga saat itu.

Pemberian penghargaan pada Bosscha tersebut juga menandai peringatan 25 tahun berdirinya perkebunan kina dan teh Malabar di dataran tinggi Pangalengan. Bosscha menjadi direktur di perusahaan N.V. Aasem Malabar yang menjadi pengelola perkebunan teh tersebut.

Koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie? tanggal 11 Desember 1920 menurunkan berita khusus mengenai peringatan 25 tahun perkebunan Malabar. Perkebunan yang berdiri tahun 1896 tersebut sesungguhnya akan genap berusia seperempat abad tahun 1921.

N.V. Aasem “Malabar” awalnya menguasai 191 bouw (1 bouw setara 0.74hektare) atau kira-kira luasnya 141,34 hektare di lahar saat berdiri tahun 1896. Lahan yang dikuasai kemudian diperluas tahun 1893 dengan tambahan lahan di Pangharepan dengan luas 266 bouw atau kira-kira 196,84 hektare. Perkebunan tersebut kini dilengkapi pembangkit tenaga air untuk memasok listrik untuk menggerakkan mesin di pabrik teh Malabar. Bosscha sempat mendirikan perusahaan telepon yang kemudian diambil alih oleh negara.

Tak lengkap kiranya jika tidak menukil sedikit kisah Bosscha. Dalam buku Bandoeng Beeld van een stad karya R.P.G.A Voskuil E.A terbitan Asia Maior tahun 1999 disebutkan Karel Albert Rudolf Bosscha lahir 15 Mei 1865 putra pasangan Johannes Bosscha seorang fisikawan sekaligus Direktur Sekolah Teknik Delft, dan istrinya Paulina Emilia. Ia menderita cacat pada pinggul yang membuatnya tidak bisa dipisahkan dari tongkatnya. Bosscha sempat belajar di di sekolah teknik Delft, tapi tidak selesai dan memutuskan pergi Hindia Belanda pada tahun 1887.

Bosscha memulai karirnya di perusahaan Teh Sinagar di Tjibadak Sukabumi milik pamannya E.J. Kerkhovern. Ia sempat tertarik pergi ke Kalimantan untuk mencoba peruntungan menambang emas di Sambas Kecil tahun 1888  atas ajakan kakaknya, Jan Bosscha.

Bersamaan, sepupunya R.E. Kerkhoven merintis membuka perkebunan teh di Gamboeng di Pangalengan. Seiring waktu, sepupunya tersebut meminta Bosscha untuk bertindak sementara sebagai administratur perkebunan sambil menunggu putranya, R.A. Kerkhoven cukup umur untuk mengambill alih perkebunan teh tersebut.

Di tangan Bosscha, perkembangan perkebunan teh di bawah perusahaan N.V Assam Thee Onderneming Malabar tumbuh sangat pesat. Begitu pun kiprah Bosscha. Ia sempat diangkat menjadi ketua dewan teh, memimpin perhimpunan peneliti teh, hingga mengenalkan sistem penghitungan metrik. Bosscha memperkenalkan skala ukuran hektare untuk menggantikan bouw atau bahu yang lazim dipergunakan saat itu, serta memperkenalkan penggunaan satuan kilometer untuk jarak. Ia menggunakan satuan metrik untuk penanda yang dipergunakan di perkebunan Malabar.

Hingga di penghujung hayatnya nama Bosscha tercatat dalam puluhan perusahaan. Koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie? tanggal 26 November 1928 yang menuliskan obituari Bosscha menyebutkan bahwa nama tuan tanah Malabar tersebut terdapat dalam akte 33 perusahaan. Diantaranya sebagai administratur di perusahaan teh dan kita N.V. Assam Malabar di Pangalengan, komisiaris pada perusahan teh Assam Ardjoena, perusahaan karet di Basilam, Boekit Lawang, Kaba Wetan, dan banyak lagi.

Demikian sorotan pada Bosscha yang pada puncaknya pada rencana pendirian observatorium di Lembang.

J.G.EG Voûte (1879-1963), duduk di tengah. Diambil dari foto staf personil Koninklijk Magnetisch en Meteorologisch Observatorium di Batavia. (Koleksi KITLV 29018, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)
J.G.EG Voûte (1879-1963), duduk di tengah. Diambil dari foto staf personil Koninklijk Magnetisch en Meteorologisch Observatorium di Batavia. (Koleksi KITLV 29018, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Pengangkatan Voûte sebagai Direktur Observatorium

Nama selanjutnya yang menjadi sorotan adalah J.G.EG Voûte (1879-1963). Nama tersebut disebutkan sejumlah koran, di antaranya De locomotief dan Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie? yang terbit tanggal 14 Januari 1921. Voûte  karyawan di Koninklijk Magnetisch en Meteorologisch Observatorium di Batavia akan ditunjuk menjadi direktur observatorium di Lembang.

Koran De locomotief tanggal 18 Januari 1921 seakan menguatkan sinyal tersebut. Koran tersebut memberitakan Voûte diperkenalkan langsung oleh Bosscha yang memintanya memberikan kuliah astronomi dalam pertemuan NISV.  Voûte diminta bercerita tentang gambaran perkembangan astronomi, terutama minimnya penelitian terkait pengamatan bintang di langit bumi selatan. Voûte menceritakan, penelitian bintang di Hindia Belanda sesungguhnya telah dirintis lama sekali. Diantaranya oleh Pendeta Mohr yang sempat mendirikan observatorium di Batavia. Astronom senior Belanda, Prof. Kopper memberikan pidato penutup dalam pertemuan malam itu.

Pada buku Seabad Observatorium Bosscha 1923-2023: Pengembangan Astronomi Modern di Indonesia yang dibagikan khusus sebagai buku acara peringatan 100 tahun Observatorium Bosscha menukil kisah Pendeta Mohr. Dalam bagian buku tersebut yang dituliskan oleh Karel A. van der Hucht dan Constant L.M. Kerkhoven yakni The Early History of the Bosscha Obsevatoriy in Indonesia yang menyebutkan bahwa observatorium pertama sudah berdiri di Jawa sekitar tahun 1760 oleh Pendeta Johan Mauritz Mohr (1737-1775) dari Gereja Portugis di Glodok, Batavia. Observatorium tersebut kini tidak lagi bersisa. Diyakini lokasinya dulu berada di Gang Torong di Jakarta.

Nampaknya pembangunan observatorium di Lembang akan berjalan lancar. Bangunan observatorium dalam waktu dekat akan rampung. Tinggal menunggu kiriman teleskop dari pabriknya di Jerman. Tapi yang terjadi tidak semulus yang dibayangkan.

Berturut-turut sejumlah koran kala itu memberitakan kabar buruk tersebut. Koran De locomotief tanggal 26 September 1921 memberitakan pemerintah Hindia Belanda batal mengalokasikan dana untuk membantu pembangunan observatorium di Lembang. Upaya Bosscha melobi Departement van Koloniën memasukkan anggaran tersebut gagal. “Kami sekarang mengandalkan proposal inisiatif dari Tweede Kamer,” tulis koran itu.

Koran De Preanger-bode tanggal 28 September 1921 menuliskan tulisan panjang soal batalnya pemerintah memasukkan anggaran membangun observatorium di Lembang dalam item anggaran pemerintah tahun 1922. Bantuan pemerintah tersebut sedianya untuk membiayai konstruksi sekaligus pengoperasian observatorium. Editorial koran tersebut mengkritik pemerintah yang ingkar janji, dan mempertanyakan alasan penghematan yang diberikan. Batalnya kucuran anggaran tersebut akan berimbas pada rencana pengoperasian observatorium tersebut yang ditargetkan rampung pada 1923. Pengamatan peristiwa gerhana tahun 1923 yang menandai pengoperasian perdana observatorium di Lembang dipastikan juga batal.

Seretnya anggaran, tidak membuat rencana pendirian observatorium berhenti. Bosscha tetap pada rencana semula memesan teleskop raksasa untuk observatorium tersebut.

Koran De Preanger-bode tanggal 09 Mei 1922 memberitakan, pada awal tahun 1921, Bosscha bersama Voûte berangkat ke Eropa. Keduanya menghubungi sejumlah observatorium yakni di Leiden, Cambridge, Greenwich, Hamburg, Postdam dan Babelsberg untuk mematangkan rencana tersebut. Keduanya juga pergi ke Jerman mendatangi pabrik Carl Zeiss di Jena dan pabrik teleskop Bamberg di Berlin.

Bosscha disebutkan memesan teropong raksasa dengan lensa yang memiliki refraktor ganda di pabrik Zeiss di Jena. Teropong tersebut disebutkan memiliki panjang 10,5 meter dengan panjang fokus 60 cm. Teropong tersebut bisa dipergunakan untuk memotret sekaligus observasi visual.

Bosscha juga membantu memesankan teropong kedua yang ukurannya lebih kecil di pabrik Bamberg di Berlin. Teropong tersebut disumbangkan salah satu anggota NISV. Teropong Bamberg tersebut memiliki panjang fokus 1 meter dan lensa objektif 90 mm. Observatorium di Lembang tersebut juga akan mendapatkan pinjaman teleskop dari Observatorium Leidsceh yang memiliki diameter 180 mm dan panjang fokus 3 meter.

Koran De Preanger-bode tersebut juga menceritakan dukungan NISV untuk ekspedisi pengamatan gerhana matahari di Pulau Christmas yang akan berlangsung pada 21 September 1922. Peristiwa gerhana tersebut tadinya direncanakan akan menjadi agenda pembuka pengoperasian observatorium di Lembang, yang belakangan batal karena masalah biaya. Ekspedisi tersebut akan di ikuti oleh astronom berbagai negara seperti Jerman dan Australia.

Koran De Preanger-bode tanggal 16 Agustus 1922 memberitakan sebagian peralatan yang dipesan Bosscha sedang dalam perjalanan. NISV kemudian mempercepat pembangunan observatorium di Lembang dengan dana yang ada. Sebuah bangunan sederhana didirikan di lahan sumbangan peternakan Baroe Adjak di Lembang untuk menyimpan peralatan yang akan segera tiba di Hindia Belanda.

Menjelang penghujung tahun 1922 sejumlah bangunan terlihat sudah berdiri di atas bukit yang tinggi lereng selatan Lembang. Koran De Preanger-bode tanggal 7 Desember 1922 memerincinya. Bangunan rumah  yang akan ditempati direktur observatorium didirikan di kaki bukit, di atasnya ada sedikitnya dua bangunan yang sedang dibangun yang salah satunya menjadi tempat untuk memasang teleskop raksasa.

Koran De Preanger-bode tanggal 7 Desember 1922 tersebut juga mengumumkan penunjukan J.G.EG Voûte, asisten di Meteorologisch Observatorium di Weltevreden, Batavia, sebagai Direktur Observatorium. Voûte secara resmi menduduki jabatan sebagai Direktur Observatorium terhitung sejak 1 Januari 1923. Pengangkatan jabatan direktur tersebut menjadi penanda observatorium tersebut resmi berdiri.

Voûte secara resmi diperkenalkan sebagai Direktur Observatorium dalam rapat umum NISV tanggal 8  Maret 1923 di kediaman Wakil Admiral Umbgrove di Weltevreden, Batavia. Di rapat tersebut Bosscha juga mengumumkan sebagian observatorium telah resmi beroperasi. Sementara pembukaan observatorium secara resmi akan dilaksanakan beberapa minggu lagi (De Preanger-bode, 12 Maret 1923).

*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman

Editor: Redaksi

COMMENTS

//