• Kolom
  • NGABANDUNGAN: Pameran Kekayaan Pejabat Pajak Melukai Rakyat Susah

NGABANDUNGAN: Pameran Kekayaan Pejabat Pajak Melukai Rakyat Susah

Publik jadi menduga selama ini pejabat pajak hidup bergelimang motor gede yang harganya ratusan juta hingga Jeep Wrangler Rubicon dengan harga miliaran.

Iman Herdiana

Editor BandungBergerak.id, bisa dihubungi melalui email: [email protected].

Warga tuna wisma bersama anaknya di atas gerobak melintasi jalanan di Bandung, Jawa Barat, (29/10/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

5 Maret 2023


BandungBergerak.idAkhir-akhir ini istilah pajak sangat ramai dibicarakan. Yang jadi topik utama bukan soal program perpajakan yang selalu digaungkan pemerintah dengan selogan “orang bijak, taat pajak” atau yang sejenisnya, melainkan kasus penganiayaan berat oleh anak pejabat pajak yang kemudian merembet ke gaya hidup mewah si penganiaya dan para pejabat pajak lainnya.

Kasus tersebut membuka mata publik betapa wahnya kehidupan pegawai institusi di bawah komando Menteri Keuangan itu. Publik jadi menduga bahwa selama ini mereka bergelimang motor gede yang harganya ratusan juta hingga Jeep Wrangler Rubicon dengan harga miliaran. Kendaraan-kendaraan mewah tersebut menunjukkan betapa tingginya gaya hidup anak pejabat pajak yang melakukan penganiayaan itu.

Kenapa disebut gaya hidup? Karena moge dan Rubicon adalah wujud dari keinginan hidup mewah, bukan kebutuhan. Kita butuh kendaraan untuk transportasi bukan berati kita harus punya moge dan Rubicon, bukan? Bagi kebanyakan rakyat Indonesia yang jumlahnya mencapai 275.361.267 jiwa per Juni 2022 (Tempo.co, 23 Desember 2023), cukuplah dengan sepeda motor merek apa pun yang harganya bisa 10 atau 20 kali lebih murah dibandingkan moge.

Namun tidak semua rakyat Indonesia mampu memiliki sepeda motor. Banyak rakyat miskin yang tidak memiliki alat transportasi pribadi. Sehari-hari mereka sibuk bergelut memenuhi kebutuhan utama, yaitu makan. Sepeda motor bagi mereka adalah kebutuhan yang sulit dijangkau mengingat pendapatan mereka per bulan kurang lebih hanya 500 ribu saja (Garis Kemiskinan yang diliris BPS pada September 2022 tercatat sebesar Rp535.547,00/kapita/bulan). 

Menurut BPS, jumlah penduduk miskin Indonesia pada September 2022 sebesar 26,36 juta orang, meningkat 0,20 juta orang terhadap Maret 2022. Angka-angka BPS ini kalau dibaca sekilas hanya sebatas angka. Namun jika dipikirkan sejenak, di balik jutaan warga miskin tersebut ada anak-anak yang putus sekolah dan harus bekerja demi membantu keluarga, ada orang-orang yang sakit dan tak sanggup berobat karena keterbatasan transportasi, ada orang yang sehari hanya makan sekali. Warga miskin ini mungkin saja tidak tahu dengan perkembangan gaya hidup mewah pejabat pajak karena mereka tidak punya gawai.

Di sisi lain, tak salah jika publik kemudian menyimpulkan betapa enaknya menjadi pejabat pajak. Atau bisa jadi publik melakukan generalisasi bahwa pegawai pajak identik dengan gaya hidup mewah. Kesimpulan publik semakin menguat ketika warganet dan pers terus menginformasikan barang-barang mewah yang dipamerkan, bahkan langkah Menteri Keuangan membubarkan klub motor gede di Ditjen Pajak, Belasting Rijder, semakin menguatkan generalisasi ini.

Pamer kehidupan mewah yang menjadi sorotan publik membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani khawatir akan runtuhnya kepercayaan publik pada institusi negara yang mengurus perpajakan.

“Kemenkeu mengecam gaya hidup mewah dan sikap pamer harta yang dilakukan oleh keluarga jajaran Kemenkeu yang menimbulkan erosi kepercayaan terhadap integritas Kemenkeu dan menciptakan reputasi negatif terhadap seluruh jajaran Kemenkeu yang telah dan terus bekerja secara jujur, bersih, dan profesional,” kata Juru Bicara Kementerian Keuangan Yustinus Prastowo (kemenkeu.go.id, diakses Minggu (5/3/2023)).

Tetapi saya kira erosi kepercayaan itu sudah terjadi. Pameran kemewahan oleh pejabat negara ini sudah lama terjadi dan sering diberitakan jauh sebelum munculnya kasus penganiayaan oleh anak pejabat tadi. Silakan tengok beritanya di mesin pencarian tentang pameran kemewahan pejabat dari institusi mana pun, pasti informasinya bertebaran seperti debu. Dan fenomena ini selalu berulang.

Pejabat yang digaji dari uang negara telah terlalu sering memamerkan kemakmuran pribadi di saat masih banyak rakyat yang hanya berpenghasilan 500 ribu rupiah per bulan! Mungkin para pejabat yang suka pamer lupa bahwa penghasilan mereka bersumber dari rakyat, dari pajak yang dibayarkan rakyatnya.

Sebelum kasus penganiayaan oleh anak pejabat pajak mencuat, Kementerian Keuangan merilis pendapatan negara tahun 2022 yang luar biasa (kemenkeu.go.id). Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pendapatan negara tahun 2022 terealisasi 2.626,4 triliun rupiah atau 115,9 persen dari target sebesar 2.266,2 triliun rupiah. Realisasi ini tumbuh 30,6 persen. Dari total realisasi pendapatan negara tersebut, realisasi penerimaan perpajakan mencapai 2.034,5 triliun rupiah atau 114 persen dari target sebesar 1.784 triliun rupiah, tumbuh 31,4 persen dari realisasi tahun 2021 sebesar 1.547,8 triliun rupiah. Realisasi penerimaan perpajakan ini didukung oleh penerimaan pajak dan kepabeanan dan cukai.

Penerimaan pajak berhasil mencapai 1.717,8 triliun rupiah atau 115,6 persen berdasarkan target, tumbuh 34,3 persen jauh melewati pertumbuhan pajak tahun 2021 sebesar 19,3 persen. Hal ini berarti kinerja pajak membaik ditunjukkan oleh realisasi yang melampaui target selama dua tahun berturut-turut.

Sementara itu, penerimaan kepabeanan dan cukai melampaui target dengan mengumpulkan 317,8 triliun rupiah atau 106,3 persen target, tumbuh 18 persen. Jumlah pendapatan dari sektor pajak, kepabeanan, dan cukai ini jauh lebih besar dibandingkan dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Realisasi PNBP tahun 2022 menunjukkan 588,3 triliun.

Baca Juga: Dari Jejak-jejak Intoleransi
Tolak Wacana Sekolah Kena Pajak
Kenaikan Pajak Bukan Solusi Tepat untuk Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Ke Mana Fungsi Sosial Pajak?

Jadi jelas, pajak yang dipungut negara dari rakyatnya menjadi penghasilan utama negara ini. Naiknya pendapatan negara menunjukkan bahwa orang Indonesia sudah bijak dengan taat membayar pajak. Bayangkan, setiap jengkal kehidupan kita tidak lepas dari pajak. Setiap barang yang kita konsumsi sudah ada nilai pajaknya. Belum lagi dengan pajak kendaraan bermotor, pajak bumi dan bangunan, pajak penghasilan, dan seterusnya. Untuk itu pantas jika rakyat menuntut timbal balik dari semua pajak itu. Rakyat akan marah jika yang mencuat justru pameran kekayaan pribadi.

Pajak adalah mandat dari rakyat agar negara menjalankan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Mungkin pejabat yang suka pamer kekayaan pribadi lupa membedakan pajak dan upeti. Pajak merupakan hasil kesepakatan rakyat dan negara. Sedangkan upeti hanya hidup di zaman kolonial atau penjajahan. Menurut KBBI, upeti memiliki arti: pertama, emas dan sebagainya yang wajib dibayarkan (dipersembahkan) oleh negara(-negara) kecil kepada raja atau negara yang berkuasa atau yang menaklukkan; kedua, uang dan sebagainya yang diberikan (diantarkan) kepada seorang pejabat dan sebagainya dengan maksud menyuap.

Pajak menurut KBBI adalah pungutan wajib, biasanya berupa uang yang harus dibayar oleh penduduk sebagai sumbangan wajib kepada negara atau pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli barang, dan sebagainya.

Jelaslah istilah pajak mengandung definisi yang positif, bahkan mulia, karena rakyat menyumbangkan hartanya kepada negara agar negara bisa menjalankan fungsinya, yaitu melayani rakyatnya. Artinya, pajak yang dipungut harus dikembalikan lagi kepada rakyat dalam bentuk pelayanan negara: pendidikan yang murah, sistem kesehatan yang tangguh dan adil, transportasi publik yang memadai, dan kepentingan umum lainnya.

Rakyat wajar tersinggung dengan pamer moge milik pejabat Ditjen Pajak. Pantas Menkeu Sri Mulyani khwatir terjadi erosi kepercayaan pada institusi pajak. Bisa dibayangkan kerugian negara seandainya rakyat kapok membayar pajak.

Slamet Sutrisno dalam artikel i “Perspektif Filsatat Sosial Budaya terhadap Pajak” menjelaskan bagaimana hubungan rakyat dan negaranya melalui pajak. Ringkasnya begini: manusia adalah makhluk sosial yang hidup berkelompok. Dari kelompok ini terbentuklah negara yang bertugas mengurusi kehidupan masyarakat. Kesepakatan membentuk negara menghasilkan kesepakatan lain bahwa untuk menjalankan negara, negara membutuhkan uang yang bersumber dari rakyat yang disebut pajak. Salah satu poin penting dari pajak adalah menghentikan kemiskinan atau menciptakan keadilan sosial.

“Tanpa dukungan yang kuat dari sektor perpajakan, berbagai kebutuhan masyarkat sukar terpenuhi secara merata. Sebagian golongan masyarakat miskin yang layak mendapatkan pertolongan akan terlantar sebab negara akan keurangan untuk memecahkan masalah itu” (Slamet Sutrisno, Media Neliti, diakses Minggu (5/3/2023)).

Slamet Sutrisno menjelaskan, pajak memiliki fungsi sosial. Dengan fungsi ini, orang-orang miskin akan tercukupi kebutuhannya dan terangkatlah martabatnya sebagai manusia. Pertanyaannya, apakah pajak di Indonesia sudah menjalankan fungsi sosialnya? 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//