IWD 2023: Perlindungan, Inklusivitas, dan Aksesibilitas Masih Menjadi Persoalan Perempuan
Tema peringatan International Women’s Day (IWD) atau Hari Perempuan Internasional 2023 di Bandung seputar perlindungan, inklusivitas, dan aksesibilitas.
Penulis Awla Rajul6 Maret 2023
BandungBergerak.id – Perempuan masih kerap dipandang sebagai warga kelas dua. Di bawah sistem yang cenderung patriarki dan kapitalisme, perempuan masih harus berjuang untuk melawan diskriminasi, kekerasan, subordinasi, stereotip, beban kerja ganda, dan persoalan kemiskinan. Perjuangan perempuan untuk mencapai kesetaraan di berbagai sektor harus terus digerakkan.
Di Bandung ada beberapa titik lokasi penggusuran yang menimbulkan banyak dampak dan kerugian besar bagi perempuan dan anak. Perwakilan Forum Dago Melawan, Eristia menyebutkan perempuan merupakan pihak yang mengalami dampak besar karena ancaman penggusuran. Sebab peran dan sumbangsih perempuan terhadap keberlangsungan kehidupan keluarga sangat besar. Belum lagi saat upaya mempertahankan lahan.
"Aparat seringkali melakukan upaya kekerasan dan upaya paksa sehingga perempuan sering menjadi korban kekerasan fisik dan kekerasan seksual," ungkap Eristia yang kerap disapa Ayang, saat Konferensi Pers menuju peringatan International Women's Day (IWD) 2023 di Balai RW 02 Dago Elos, Bandung, Sabtu (4/3/2023).
Selain perempuan, anak-anak korban penggusuran mengalami trauma, persoalan psikis dan mental, stres, serta kehilangan kebahagiaan masa kecil. Pendidikan yang ditempuh anak juga akan terhambat. Ayang juga menyebutkan, kaum perempuan di Dago Elos merupakan salah satu pihak yang paling dominan dalam melakukan perlawanan terhadap penggusuran yang akan terjadi di lokasi tersebut.
Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Militan (F-Sebumi), Aan Aminah menyebutkan, dampak pasca pandemi masih sangat dirasakan oleh buruh. Pandemi Covid-19 dijadikan momen bagi perusahaan untuk memutus hubungan kerja (PHK), khususnya bagi buruh perempuan yang dinilai banyak tuntutan sehingga menjadi penghalang bagi perusahaan. Ia juga membeberkan, usai di PHK tidak ada pesangon yang diterima oleh buruh.
Ia menyebutkan, pada momen IWD tahun ini, ia berharap suara-suara dan tuntutan dari perempuan buruh didengarkan dan ditindaklanjuti oleh pemerintah. Namun tidak hanya sebatas bagi buruh pabrik, melainkan juga buruh-buruh tani. Ia dan pihaknya juga menuntut kepada pemerintah agar segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT).
“PPRT yang hari ini tidak pernah dilirik, padahal mereka ini benar-benar dibutuhkan tenaganya. Saya berharap kawan-kawan menyuarakan terhadap perlunya PPRT ini,” ungkapnya pada konferensi pers.
Selain itu, pada peringatan IWD 2023 yang jatuh pada 8 Maret mendatang ia akan menuntut kepada pemerintah agar peringatan hari perempuan ini dijadikan hari libur nasional khusus bagi perempuan.
Baca Juga: Seruan Darurat Iklim dari Jalanan Kota Bandung
Penduduk Kota Bandung Didominasi Anak Muda, Kebijakan Pemkot tidak Boleh Kolot
Peran Masyarakat Sipil di Balik Plakat Adipura untuk Babakan Siliwangi Kota Bandung
Difteri, Wabah yang Berulang di Jawa Barat
Transpuan dan Kekerasan Seksual
Transpuan juga masih mengalami posisi yang rentan. Sebab, masih banyak ketidakadilan yang dirasakan oleh transpuan. Farah dari Srikandi Pasundan menjelaskan bahwa transpuan masih mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan dan mendapatkan kekerasan. Padahal transpuan memiliki kemampuan, namun tetap saja tidak diterima sebab dinilai berbeda.
Akibat sulitnya pekerjaan yang bisa diperoleh transpuan membuat kemiskinan menjadi isu yang laten. Di tahun 2022, Farah menyebutkan ada dua kasus transpuan yang bunuh diri. Satu kasus terjadi di Caringin, waria pekerja seni mengakhiri hidupnya dengan gantung diri di kos. Satu kasus lainnya terjadi di sebuah hotel.
Bunuh diri dilakukan sebab bermasalah dengan pinjaman online (pinjol) dan disebarkan identitasnya. Merasa persoalan pinjol ini aib, transpuan tidak menceritakannya kepada orang lain hingga menanggung bebannya sendiri.
“Mau curhat juga ke siapa, dia sendiri malu gitu. Akhirnya jalan satu-satunya itu dia mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri,” beber Farah, yang juga menjadi Ketua Srikandi Priangan.
Farah menyampaikan, stigma dan diskriminasi bagi transpuan seharusnya tidak ada lagi. Ia berharap kepada masyarakat dan pemerintah untuk tidak memberikan stigma dan diskriminasi kepada transpuan.
Salah seorang transpuan lainnya, Reza menimpali diskriminasi dan kekerasan yang dialami oleh perempuan tidak hanya terjadi di lingkup yang besar, namun sejak di lingkup keluarga. Ia juga menyebutkan bahwa transpuan merupakan perempuan sosial. Sebab dalam skema pemerintahan transpuan tetaplah dipandang seperti jenis kelaminnya.
Di tempat kerja, transpuan mengalami pembatasan, seperti dilarang memanjangkan rambut dan mengekspresikan dirinya. Ia menekankan bahwa transpuan juga manusia dan warga negara yang juga harus mendapatkan hak dan kewajiban dari negara, sama seperti warga lainnya.
"Kita bisa berdaya, kita bisa berupaya, kita bisa melakukan hal-hal yang orang lain lakukan, bukan karena wujud kita yang begini," timpalnya.
Persoalan yang tidak bisa dihindari lainnya adalah transpuan merupakan kelompok yang paling rentan dari komunitas Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Sebab identitasnya yang tidak bisa disembunyikan, masyarakat bisa langsung menilai secara fisik. Berbeda dengan komunitas lesbian, gay, maupun biseksual yang tidak bisa dinilai secara fisik. Itulah mengapa menurutnya pembatasan dan diskriminasi masih kerap dialami oleh kelompok ini.
Persoalan kekerasan seksual juga cerita lain yang masih harus terus diperangi. Nida dari Gender Research Student Center (GREAT) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menyebutkan bahwa kekerasan seksual masih kerap terjadi di lingkungan kampus yang seharusnya menjadi ruang aman bagi warga kampus.
Disahkannya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) pertengahan tahun lalu pun bukan akhir dari perjuangan. Sebab menghapus kekerasan seksual berbasis gender itulah yang harus diwujudkan. Di ranah kampus, melalui Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi mewajibkan bagi setiap kampus untuk memiliki satgas khusus untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus.
Nida juga mengungkapkan data dari Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemendikbud Ristek, baru 125 PTN yang membentuk Satgas PPKS, yang terdiri dari 76 PTN akademik dan 48 PTN vokasi. Meski begitu, pembentukan satgas ini masih memiliki kekurangan dan kelemahan sehingga memerlukan peran mahasiswa untuk mendukung. Ia juga menyebutkan, seharusnya kampus membentuk satgas PPKS bukan karena alasan akreditasi kampus.
“Tapi memang harus disadari dengan kesadaran bahwa kekerasan berbasis gender dan seksual itu tidak boleh terjadi di lingkungan kampus. Kampus harus jadi ruang aman,” ungkapnya.
Nida menambahkan kampus harus menjadi ruang aman dan inklusif. Di mana tidak terjadi diskriminasi terhadap kebebasan berekspresi dari identitas gender. Serta tidak ada lagi kampus yang melakukan represi terhadap perjuangan gerakan anti kekerasan seksual. Sebab seharusnya kampus fokus terhadap penyelesaian kasus kekerasan seksual dengan menggunakan perspektif korban.
Menuju Peringatan IWD 2023
International Women’s Day (IWD) selalu diperingati pada 8 Maret. Hari Perempuan ini bermula saat aksi yang dilakukan oleh kaum wanita di New York pada tahun 1909. Pada peringatan IWD 2023 ini, sejumlah lembaga sipil dan kolektif mengajak seluruh masyarakat kota Bandung untuk berpartisipasi pada kegiatan rangkaian peringatan IWD. Puncaknya merupakan aksi yang akan dilakukan pada hari H.
Adapun lembaga sipil yang tergabung pada komite aksi International Womens Day yang merupakan gabungan dari Agrarian Resource Center (ARC) adalah sebagai berikut: Lembaga Pengkajian dan Pengabdian Masyarakat Demokratis Unpad (LPPMD), Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK), Women Studies Center (WSC), Serikat Buruh Militan (Sebumi), Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN), Srikandi Pasundan, Suara Perempuan Bandung (SPB), Gender Research Student Center (GREAT UPI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Forum Dago Melawan dan Tamansari Melawan.
Aksi yang akan dilakukan pada 8 Maret 2023 di Bandung ini mengangkat tema seputar perlindungan, inklusivitas, dan aksesibilitas. Aksi nanti juga akan diisi dengan Juru Bahasa Isyarat dan dikemas inklusif untuk semua. kalangan.