Sinyal Bahaya dari Temuan Kasus Positif Covid-19 di Sekolah Kota Bandung
PTM Terbatas dinilai membahayakan kesehatan dan keselamatan warga pendidikan. Ombudsman Jabar menilai kinerja Satgas Covid-19 di sekolah belum optimal.
Penulis Bani Hakiki22 Oktober 2021
BandungBergerak.id - Pelaksanaan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas di sekolah-sekolah Kota Bandung telah berjalan selama satu bulan lebih. Ombudsman RI Perwakilan Jawa Barat mengungkap ada 50 kasus positif Covid-19 hasil tes acak di Kota Bandung.
Temuan kasus positif selama penyelenggaraan PTM Terbatas dinilai sebagai buah dari lemahnya penerapan protokol kesehatan (prokes). Selain itu, panduan penyelenggaraan PTM Terbatas di masing-masing sekolah, termasuk infrastrukturnya, tidak merata. Orang tua murid pun mendesak pemerintah agar lebih serius dalam memutuskan kebijakan PTM Terbatas.
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Jawa Barat, Dan Satriana menegaskan pemerintah daerah wajib membangun infrastruktur PTM Terbatas secara merata, sehingga tidak terjadi diskriminasi pelayanan pendidikan di masyarakat.
“Pelaksanaan PTM Terbatas di setiap sekolah harus lebih fokus dalam mempersiapkan serta menyediakan sarana dan prasarana di lingkungan sekolah,” tegasnya kepada Bandungbergerak, Kamis (21/10/2021).
Ia melihat, pembentukan dan program kerja Satgas Covid-19 di tingkat satuan pendidikan masih jauh dari yang diharapkan. Hasil pantauan PTMT di lapangan menemukan bahwa kinerja setiap Satgas di sekolah masih belum optimal.
“Kami melihat peran Satgas Covid-19 di sekolah masih belum optimal dalam mengawasi penerapan protokol kesehatan selama kegiatan di sekolah sehingga berpotensi terjadi pelanggaran protokol kesehatan,” imbuh Dan.
Ombudsman Jabar telah menerima sejumlah laporan yang menunjukkan bagaimana potensi pelanggaran protokol kesehatan di lingkungan sekolah. Dampaknya, hingga saat ini ada lebih dari 50 siswa di Kota Bandung yang terdeteksi positif Covid-19 karena kontak erat saat menjalani PTM Terbatas.
Tuntaskan Pagebluk Sepenuhnya
Ombusdman Jabar menilai, kebijakan PTM Terbatas telah merugikan banyak pihak, baik tenaga pendidik, para murid maupun keluarga atau orang tua. Risna Dayanti (39) yang anaknya kini duduk di bangku kelas dua SMP, memandang bahwa terjadinya pelanggaran prokes di sekolah sebagai bentuk ketidakseriusan pemerintah yang tidak bijak dalam mengambil keputusan.
“Menurut saya mah beresin dulu (permasalahan) Covid yang lebih umum, soalnya makin sini makin banyak tuh masyarakat yang memang melanggar prokes. Di sekolah apa lagi, guru-guru gak tentu bisa jamin kesehatan semua murid,” ujarnya.
Ia meminta Pemkot Bandung segera menuntaskan program vaksinasi Covid-19, khususnya bagi anak-anak pelajar yang sudah mulai menjalankan PTM. Risna meminta jaminan agar anaknya aman dan terhindar dari potensi penularan virus infeksius tersebut.
Namun jaminan tersebut tampaknya masih samar. Terlebih temuan Ombudsman Jabar menunjukkan, masih ada pula formulir surat pernyataan izin orang tua murid yang mencantumkan kesediaan untuk membebaskan pihak sekolah dari segala risiko penerapan PTM Terbatas.
Menurut Ombudsman Jabar, setiap satuan pendidikan seharusnya siap menerima berbagai tuntutan, gugatan, tanggung jawab hukum, maupun kerugian lainnya akibat persetujuan mengikuti kegiatan belajar tatap muka.
Baca Juga: Level PPKM Kota Bandung Diturunkan, Penularan Covid-19 Dikhawatirkan Naik
BAYI-BAYI PANDEMI (5): Arsya, Vonis Stunting, dan Pergulatan Keluarganya
BAYI-BAYI PANDEMI (6): Posyandu Terganggu, Buruan Sae Terkendala Lahan
BAYI-BAYI PANDEMI (7): Aqila, Dia yang Lahir di Puncak Gelombang Kedua
Bahaya Klaster Sekolah
Sampai 22 September 2021, organisasi pemantau Covid-19, LaporCovid-19, mengungkap bahwa Kemendikbud telah mencatat terdapat 1.299 klaster pada sekolah tatap muka secara nasional dengan jumlah 7.285 tenaga pendidikan serta 15.655 peserta didik tercatat positif Covid-19.
Selama PTMT berlangsung.3 Klaster paling banyak ditemukan di SMA dan SMP. Adapun DKI Jakarta mencatat 25 klaster dengan total 227 tenaga pendidik dan 241 peserta didik positif selama PTM Terbatas. Data tersebut dibantah oleh Pemprov DKI Jakarta yang menyatakan hanya terdapat 7 sekolah yang terdapat kasus positif pasca-PTM Terbatas 30 Agustus 2021. Sekalipun demikian, Mendikbudristek telah menyatakan tidak akan menunda pelaksanaan PTM Terbatas.
Menanggapi kondisi tersebut, Koalisi Masyarakat Selamatkan Anak Indonesia yang terdiri dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta) dan LaporCovid19 melihat bahwa pelaksanaan PTM Terbatas dalam situasi hari ini akan berpotensi membahayakan kesehatan dan keselamatan peserta didik, tenaga pendidik, serta staf sekolah lainnya karena tidak didasarkan pada data epidemiologis yang sahih, pengaturan yang lemah, serta penegakan protokol kesehatan yang buruk.
Kondisi ini dinilai sebagai bentuk pengabaian negara dalam menjamin perlindungan kesehatan dan keselamatan warga sekolah dalam mendapatkan hak atas pendidikan yang dijamin oleh perundang-undangan dan konstitusi.
Koalisi menilai, PTM meski terbatas, tidak dapat dilaksanakan secara terburu-buru hanya karena desakan orang tua murid atau kekhawatiran adanya learning loss yang sejatinya juga dipengaruhi gagalnya pemerintah menjamin kesetaraan akses dalam PJJ ataupun demi pelaksanaan asesmen nasional.
Pemerintah perlu menunda pelaksanaan PTMT dan membuat roadmap yang lebih komprehensif dan mendalam dengan meletakkan kesehatan siswa dan seluruh tenaga kependidikan sebagai pertimbangan mendasarnya, di atas pertimbangan keluh kesah orang tua. Baru kemudian membangunnya dalam kerangka pencegahan terjadinya efek yang lebih buruk terhadap learning loss di masa pandemi. Sehingga disrupsi pendidikan selama pandemi Covid-19 bisa diantisipasi dengan baik.
“Tentunya, ini perlu dibarengi dengan pengelolaan data epidemiologi yang adekuat dan transparan, persyaratan pemenuhan pelaksanaan vaksinasi, dan tingkat angka rasio positif berbasis molekular yang terkendali sesuai-kebijakan WHO,” demikian mengutip pernyataan koalisi dari Kertas Posisi yang dipublikasikan LaporCovid-19.