• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Sekolahku Sayang, Sekolahku Malang

MAHASISWA BERSUARA: Sekolahku Sayang, Sekolahku Malang

Sekolah merupakan satu-satunya harapan bagi orang tua untuk menggantungkan nasib anaknya di dunia pendidikan, agar menjadi anak yang cerdas dan berkualitas.

Ahmad Muttawakkil

Mahasiswa Program Studi Perbankan Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN KH. Abdurrahman Wahid Pekalongan

Keterbatasan dan ragam permasalahan yang dihadapi sekolah tidak merenggut kebahagian menuntut ilmu dari wajah para murid SDN 5 Cikidang, Lembang. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

22 Maret 2023


BandungBergerak.id – Pendidikan merupakan aspek dasar kehidupan yang esensial bagi manusia sebagaimana dikatakan bahwa pendidikan ialah pembuka jendela dunia. Berbicara mengenai pendidikan tentunya tidak terlepas dari kegiatan belajar mengajar di sekolah. Para orang tua yang menginginkan generasi penerusnya menjadi orang hebat berbondong-bondong memilih tempat belajar yang terbaik bagi putra putrinya. Sekolah bagi sebagian orang tua mungkin adalah tempat bagi mereka menggantungkan nasib anaknya agar memperoleh masa depan yang gemilang.

Sekolah sangat penting dan tidak bisa lepas dari kehidupan. Karena dengan bersekolah, kita bisa menjadi manusia yang berkualitas dan bahkan bisa mengangkat derajat bangsa di mata dunia. Sehingga sekolah sangat diharapkan untuk bisa meningkatkan sumber daya manusia. Tetapi harapan tersebut nampaknya akan sulit diwujudkan ketika ternyata sekolah menjadi tempat yang paling menyeramkan bagi anaknya. Bagaimana tidak, jika ternyata di sekolah anaknya tidak mendapatkan ilmu pengetahuan yang cukup bahkan pelajaran moral pun sangat minim mereka dapatkan.

Di sekolah siswa berharap bisa mengembangkan ide dan juga kreativitasnya. Namun yang terjadi di sekolah mungkin tidaklah sesuai dengan yang siswa harapkan. Sebagian besar guru mengajar dengan asal-asalan dan bermalas-malasan. Mereka menganggap siswa hanyalah gelas kosong yang harus di isi dengan penuh. Sehingga guru mengajar hanya duduk dengan sesekali berdiri dan menyampaikan ceramah-ceramahnya. Atau lebih parahnya lagi ketika guru hanya menyuruh siswa mendiktekan saja yang ada di buku, sedangkan sang guru hanya duduk dan sibuk bermain HP.

Hal monoton tersebutlah yang menjadikan siswa merasa bosan bahkan mengantuk ketika pembelajaran berlangsung. Hal tersebut pula yang menyebabkan matinya ide dan kreativitas siswa. Praktek pembelajaran seperti itulah yang kemudian menjadi sebuah pembodohan bagi siswa.

Peristiwa tersebut diperparah ketika guru Bimbingan Konseling (BK) juga asal-asalan ketika di sekolah. Guru BK hanya duduk diam di ruangannya bermain HP sembari menunggu ada siswa yang melakukan kesalahan, lalu menghukumnya. Hukuman yang diberikan juga tidak masuk akal, atau malah mendapatkan kekerasan fisik dari guru BK tersebut. Hukuman yang diterima dengan tidak membolehkan siswa masuk kelas membuat siswa tidak bisa mendapat materi pelajaran yang menjadi haknya. Seharusnya dengan kemampuan membaca cara kerja otak siswa, guru BK seharusnya bisa mengarahkan siswanya belajar seusai dengan kemampuan berpikir siswa. Guru BK seharusnya bisa menjadi orang tua kedua, dengan mendengarkan keluh kesah dan memberikan saran, bukan malah menjadi seseorang guru yang paling menakutkan.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Menukas Politik Identitas, Kritik pada Partai Politik dan Pemuka Agama
MAHASISWA BERSUARA: Mengulas Budaya Menyalahkan Korban yang Mengakar dalam Masyarakat
MAHASISWA BERSUARA: Subsidi Kendaraan Listrik hanya Memindahkan Polusi
MAHASISWA BERSUARA: Indeks Persepsi Korupsi dan Politik Demokrasi Indonesia yang Terkartelisasi

Sekolah yang Tidak Baik-baik saja

Nampaknya keadaan di sekolah sekarang juga sedang kacau balau. Jika melihat realita adanya kasus pelecehan seksual yang di lakukan oleh guru. Banyak juga guru yang tersandung pidana karena memukul siswa. Keadaan tersebut semakin diperparah ketika sekarang siswa sudah berani melawan guru. Bahkan ketika tidak di hukum pun para siswa juga sering membantah perkataan gurunya. Mungkin jika masih hidup bapak pendidikan kita, Ki Hajar Dewantoro akan menangis karena teorinya tentang pendidikan sama sekali tidak berjalan. Sekarang sangat jauh berkebalikan dengan semboyan ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.

Sekolah memang bisa menjadi tempat yang menyeramkan bagi siswa. Bagaimana tidak menyeramkan jika ternyata siswa di jadikan kelinci percobaan untuk menemukan kurikulum yang tepat. Bahkan belum tamat sekolah, kurikulum sudah tergantikan, sehingga para siswa mengalami kebingungan mengenai sistem pembelajaran mereka. Mirisnya lagi ketika perubahan kurikulum ini dijadikan ladang bisnis oleh pihak tertentu. Para siswa diwajibkan membeli buku yang sudah disiapkan untuk mengikuti kurikulum yang ada.

Mahalnya biaya pendidikan di Indonesia tidak hanya ketika siswa diwajibkan membeli buku, tetapi semakin komplit ketika hendak masuk sekolah siswa juga diwajibkan membayar uang pembangunan, uang SPP, seragam, sepatu, tas, dan yang lainnya. Bila melihat realita pendidikan di negara kita, biayanya memang setinggi langit. Yang membuat masyarakat mengalami kesulitan mengakses pendidikan, sehingga manisnya bangku sekolah tidak bisa dinikmati oleh semua lapisan masyarakat.

Anak-anak yang pintar dan cerdas yang berasal dari keluarga kurang mampu hanya bisa berangan. Kebijakan pemerintah mengenai Bantuan Operasional Sekolah (BOS) ternyata tidak begitu sukses berjalan. Dana BOS sebagai bagian dari Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS BBM) tidak seharusnya diklaim sebagai upaya negara untuk membantu meringankan biaya pendidikan. Akibatnya, mereka yang miskin semakin tidak mampu untuk membayar sekolah karena kenaikan harga barang dan bahan pokok.

Bukan hanya biaya sekolah yang mahal, pemerintah juga kurang memerhatikan pemerataan sekolah di daerah-daerah pelosok yang jauh dari perkotaan. Ketika siswa yang bersemangat mencari ilmu terhalang karena jauhnya jarak yang mereka tempuh ke sekolah. Bahkan akses jalan mereka menuju sekolah saja sangat sulit. Sebagian dari mereka yang tinggal di pelosok desa harus melewati hutan dan menyeberang sungai yang besar. Tidak ada sekolah yang letaknya dekat dengan rumah. Sekalipun ada, paling juga hanya beberapa ruangan saja, satu ruangan digunakan untuk dua kelas dan sisanya belajar di ruangan terbuka. Miris sekali, ketika melihat di tempat lain pembangunan jalan tol yang begitu megahnya seperti mengalahkan pentingnya pemerataan pembangunan sekolah di pelosok-pelosok daerah. 

Sekolah yang Menjadi Harapan

Sekolah merupakan satu-satunya harapan bagi orang tua untuk menggantungkan nasib anaknya di dunia pendidikan. Di sekolahlah tempat anaknya dididik agar menjadi anak yang cerdas dan berkualitas.

Sudah saatnya semua pihak bekerja sama demi menyelamatkan pendidikan di Indonesia dan membuat Ki Hajar Dewantara kembali tersenyum. Pemerintah harus mulai fokus kembali menata dunia pendidikan, dengan pembangunan gedung-gedung sekolah yang baru dan pemerataan sekolah di daerah terpencil. Pemerintah juga harus serius menyediakan sekolah gratis, membantu pembelian seragam dan lainnya. Masyarakat juga harus ikut andil dalam dunia pendidikan, dengan tidak melepas tanggung jawabnya ke sekolah dan tetap mengawasi anaknya serta mengajarkan anaknya pendidikan moral ketika di rumah. Pihak sekolah juga harus memperbaiki kualitas gurunya, dengan terus mengawasi setiap pembelajaran yang berlangsung. Siswa sebagai pelaku utama juga harus meningkatkan semangat dalam mencari ilmu dan mendengarkan apa yang di katakan gurunya. Dengan begitu, bukan tidak mungkin dunia pendidikan di Indonesia bisa lebih maju dan bisa bersaing di dunia Internasional.

 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//