• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Manifestasikan saja Kesejahteraan Guru

MAHASISWA BERSUARA: Manifestasikan saja Kesejahteraan Guru

Banyak orang menganggap jika profesi guru ini kuliahnya tidak main-main, tetapi gajinya yang main-main. Tak ada kepastian jenjang karier untuk menjadi guru.

Ika Rizki Refima Putri

Mahasiswa Universitas Negeri Semarang

Teatrikal seorang guru honorer di Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat di Bandung, Kamis (25/11/2021). Guru dari sejumlah forum guru honorer menuntut pemerintah untuk segera mengangkat guru PNS. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

23 Maret 2023


BandungBergerak.id – Sudah bukan rahasia bahwa gaji guru di Indonesia saat ini terbilang sangat rendah. Bahkan di kawasan daerah upah minimum yang tinggi sekalipun, gaji guru honorer hanya sekitar Rp 500 ribu. Dilansir dari Detikfinance tahun 2018, Muhadjir Effendy, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kala itu menjelaskan rendahnya gaji guru honorer lantaran dibiayai menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) oleh sekolah yang mempekerjakan. Guru honorer diangkat oleh kepala sekolah dan tidak terikat dengan instansi manapun.

Lantas bagaimana dengan guru berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS)? Guru berstatus PNS yang sudah bersertifikasi akan mendapat gaji dan tunjangan yang sesuai dengan beban kerja. Perbedaan gaji ini terkadang menimbulkan kecemburuan sosial oleh guru honorer karena beban kerja setara tetapi nasibnya berbeda.

Guru honorer yang mendapat gaji dari dana BOS rupanya mendapat kecaman dari masyarakat yang menganggap bahwa dana ini harusnya digunakan untuk keperluan sekolah yang mendesak, sehingga ketika harus dibagi dengan gaji guru maka penggunaan dana ini tidak akan maksimal. Hal tersebut membuat pemerintah sempat mewacanakan menyelesaikan masalah yang guru honorer dengan menghapus formasi CPNS dan menggantinya dengan pengadaan program Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K). Wacana ini menuai berbagai reaksi sehingga muncul wacana terbaru yaitu penghapusan tenaga honorer pada tahun 2023 ini. Lantas, solusi manakah dari para pengambil kebijakan yang akan membuahkan efektivitas nyata untuk mengatasi persoalan menahun ini?

Akhir-akhir ini muncul pernyataan “jika ingin kaya, maka jangan jadi guru”. Pernyataan tersebut seolah memvalidasi kebijakan-kebijakan dari pemerintah yang hingga kini belum bisa menyejahterakan guru dengan penghasilan yang sesuai.

Pernyataan ini mengakar pada persoalan di mana banyak mahasiswa lulusan sarjana pendidikan yang enggan berprofesi menjadi guru. Bahkan beberapa mahasiswa program studi pendidikan sudah ada yang mengoptimalisasikan jenjang karier sebelum lulus agar tidak menjadi guru, dengan memanfaatkan program magang dan internship di perusahaan yang tidak selinear dengan jurusan agar memiliki pengalaman kerja di bidang yang diinginkan.

Hal tersebut berbuntut pada perkara sekolah-sekolah yang kekurangan guru sehingga ada kepala sekolah terpaksa mengangkat warga setempat yang hanya lulusan SMA untuk mengajar dengan mengabaikan kompetensi guru itu seharusnya lulusan sarjana pendidikan. Akibatnya kemampuan mengajar rendah dan berdampak pada tujuan pembelajaran yang tidak tercapai. Hal tersebut tentunya tidak mencerminkan salah satu tujuan dari SDGs (Sustainable Development Goals) 2030, yaitu pendidikan yang berkualitas.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Sekolahku Sayang, Sekolahku Malang
MAHASISWA BERSUARA: Menukas Politik Identitas, Kritik pada Partai Politik dan Pemuka Agama
MAHASISWA BERSUARA: Mengulas Budaya Menyalahkan Korban yang Mengakar dalam Masyarakat
MAHASISWA BERSUARA: Subsidi Kendaraan Listrik hanya Memindahkan Polusi

Jenjang Karier Menjadi Guru yang Tak Pasti

Jika ditelisik lebih jauh, terdapat banyak alasan yang masuk akal mengapa lulusan sarjana pendidikan memilih berkarier di bidang lain. Banyak orang menganggap jika profesi guru ini kuliahnya tidak main-main tetapi gajinya main-main. Birokrasi yang ruwet dan belum mampu memaksimalkan perannya dalam memastikan jenjang karier guru pun turut menjadi dalih. Dari dahulu format karier guru selalu sama di mana awal mengajar akan menjadi seorang guru honorer, lalu agar mendapat gaji tetap serta tunjangan harus menunggu untuk diangkat menjadi PNS. Pengangkatan ini sangat lama, bisa menunggu lima tahun, sepuluh tahun, bahkan ada yang hampir pensiun pun belum juga diangkat.

Selain kuliahnya yang tidak main-main, beban kerja guru juga tidak main-main. Mereka bekerja setiap saat, dimulai dari malam hari dengan membuat materi dan konsep pembelajaran untuk bahan mengajar esok hari. Pulang mengajar pun mereka masih harus menyempatkan untuk mengoreksi jawaban-jawaban dari ujian para siswa. Di akhir semester, guru masih harus mengolah nilai untuk dimasukkan ke dalam rapor. Lantas apa yang paling berat di antara semua beban tersebut? Mengajari manusia. Bahkan mengajari hewan untuk patuh pun dinilai lebih mudah ketimbang mengajari manusia.

Argumentasi tersebut yang selain mendasari enggannya mahasiswa keguruan untuk berkarier sesuai bidangnya, juga mendasari mengapa orang-orang enggan memilih fakultas keguruan dan ilmu pendidikan saat mendaftar kuliah. Berakibat peminat jurusan di fakultas keguruan rendah dibanding fakultas lainnya. Padahal fakultas keguruan ini yang paling dibutuhkan di masa sekarang dan masa depan mengingat masih banyak daerah pedalaman yang kekurangan guru kompeten untuk mengajar.

Jika hal tersebut terus terjadi setiap tahun, tentunya negara demokratis ini akan kekurangan sosok guru yang kompeten dan profesional. Gugatan-gugatan yang muncul melalui unjuk rasa pun rasanya belum ada tindak lanjut dari pemerintah. Munculnya kritik-kritik yang menuntut kesejahteraan guru ini perlu terus dilakukan agar mendapat perhatian para pengambil kebijakan dan menjadi catatan program kerja yang harus dilaksanakan oleh mereka.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim sudah seringkali berpidato di hari guru dan membahasakan bahwa guru itu profesi mulia. Namun, mengapa sampai sekarang tidak ada langkah konkret dari Mendikbud untuk memuliakan guru?

Akan Berpengaruh pada Kualitas Pendidikan

Perlu diketahui jika tingkat kesejahteraan guru yang rendah akan berimbas pada kualitas pendidikan di Indonesia. Terdapat benang perkaitan antara rendahnya kesejahteraan dengan rendahnya motivasi guru dalam mengajar. Pemerintah memang sudah mulai melek akan hal ini, mereka sudah mulai berupaya meningkatkan kesejahteraan guru, tetapi upaya tersebut belum merata dan belum menyentuh seluruh aspek. Oleh karena itu, perlu dilakukan gebrakan dan desakan yang lebih dalam dengan kolaborasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Selain gaji yang layak, perlu juga diadakannya program selain peningkatan materi yakni dukungan kesejahteraan melalui program peningkatan kompetensi guru. Era ini, guru dituntut untuk terus meningkatkan keterampilannya sesuai IPTEK dan kebutuhan masyarakat. Salah satu upaya penting untuk meningkatkan kompetensi guru adalah melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan (Diklat) (Julifan, 2015). Sudah banyak program Diklat daring bertebaran di internet secara gratis, yang umumnya diadakan oleh perusahaan dan komunitas pemerhati pendidikan. Hal ini bisa dimanfaatkan oleh para tenaga pendidik yang belum bersertifikasi untuk meningkatkan kompetensi mereka dalam mengajar.

Akhir kata, dengan diperhatikannya kesejahteraan guru ini maka kinerja guru akan meningkat dan berdampak baik pada capaian perkembangan peserta didik. Akan banyak pula mahasiswa-mahasiswa jurusan pendidikan dan keguruan yang bersedia berprofesi menjadi guru. Serta meningkat pula peminat fakultas keguruan dan ilmu pendidikan di sejumlah universitas.

 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//