• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Sedikit Menguliti Fakta di Balik Pendidikan Indonesia

MAHASISWA BERSUARA: Sedikit Menguliti Fakta di Balik Pendidikan Indonesia

Banyak guru yang mengeluhkan kurangnya waktu untuk mengerjakan segala macam pekerjaan administrasi yang ada, menjadikan guru kurang maksimal mengajar dalam kelas.

Annisaa Nurhidayah Rohmah

Mahasiswa Pendidikan Bahasa Jawa Universitas Sebelas Maret Surakarta

Seorang guru mengajar di sesi pertama pembelajaran tatap muka terbatas (PTMT) di SD Negeri Patrakomala, Kota Bandung, Senin (13/12/2021). Keterbatasan tekonologi membuat tidak sedikti sekolah belum mampu menyelenggarakan sistem kelas campuran (hibrida) sehingga guru harus bekerja dua kali lebih berat. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

25 Maret 2023


BandungBergerak.id – Bicara pendidikan memang topik yang tiada habisnya dibahas. Pendidikan bisa saja sensitif untuk sebagian orang, utamanya terlebih bagi mereka yang merasakan ketidakadilan dalam dunia pendidikan terkhusus Indonesia. Ambil saja salah satu permasalahan yaitu tidak meratanya fasilitas sekolah yang ada. Isu ini kerap sekali diangkat di layar televisi Indonesia sebagai kritikan keras atas pengelolaan alokasi dana pendidikan yang mencapai 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Kemenkeu, 2022).

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melalui lamanya menyebutkan total anggaran dana untuk biaya pendidikan Indonesia pada 2022 sebesar Rp. 541, 7 triliun yang mana selanjutnya dirincikan untuk biaya bantuan pendidikan, tunjangan guru non PNS, hingga program Merdeka Belajar. Dapat kita lihat besarnya dana untuk memajukan pendidikan sebenarnya tidak tanggung-tanggung. Bahkan disebutkan dalam laman Kementerian Keuangan bahwa anggaran tersebut naik sebesar Rp. 608, 3 triliun pada 2023.

Tentu mendengar fakta tersebut harusnya pembangunan sarana prasarana dalam dunia pendidikan sedikit lebih maju dari tahun ke tahun. Akan tetapi dalam praktiknya, masih banyak ditemui hambatan belajar siswa-siswi yang disebabkan karena fasilitas yang kurang memadai.

Salah satu contohnya dalam tayangan NET News yang dimuat ulang dalam kanal Youtube yang berjudul “Ironi Dunia Pendidikan, Sarana dan Prasarana yang Masih Kurang”. Tayangan tersebut menunjukkan sebuah SD di Cianjur yang kekurangan bangku, bangunan tembok di beberapa sudut yang retak, serta atap yang akan rubuh. Pertanyaan saya, dari sekian ratus triliun anggaran pendidikan, apakah masih kurang alokasinya untuk perbaikan fasilitas SD tersebut?

Saya pikir perlu adanya pengawasan ketat dan laporan publik terhadap alokasi dana pendidikan. Perlu adanya audit rutin terhadap jalannya pengoperasionalan dana tersebut. Utamanya pada 2023 ini yang alokasi anggarannya tidak main-main. Terlebih bila dipikir, anggaran sebegitu besarnya seharusnya bisa membiayai renovasi SD tersebut. Miris sekali di tengah era revolusi 4.0 ini masih ada bangunan sekolah yang tidak layak pakai. Hal ini tampaknya menjadi PR besar bagi kementerian untuk lebih menyejahterakan siswa dengan mengecek seluruh sekolah dan membuat laporan final apa saja yang secepatnya harus diperbarui demi kenyamanan siswa dalam belajar.

SD tersebut adalah satu dari beberapa contoh nyata ketimpangan pendidikan di Indonesia dalam kasus nyata. Masih ada kasus-kasus lain yang tidak kalah menarik untuk menjadi bahan diskusi.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Insan Pembangunan yang Tak Kunjung Harmonis
MAHASISWA BERSUARA: Manifestasikan saja Kesejahteraan Guru
MAHASISWA BERSUARA: Sekolahku Sayang, Sekolahku Malang
MAHASISWA BERSUARA: Menukas Politik Identitas, Kritik pada Partai Politik dan Pemuka Agama

Ketika Sertifikasi dan Profesi Hanya Sebatas Kata

Problematika pelik lainnya adalah kualitas guru pendidikan formal yang dinilai kurang profesional. Tak sedikit komentar para siswa yang mengatakan banyak guru tidak profesional dalam menjalankan tugas mengajar. Siswa mengeluhkan tentang sepenting apa guru di sekolah jika pekerjaannya hanya masuk kelas lalu memberikan tugas di LKS dan kemudian keluar lagi. Hai, kami siswa dan kami perlu untuk diterangkan suatu materi oleh anda tetapi kelakuan anda sepertinya tidak sesuai ekspektasi.

Sebenarnya apa yang sedang terjadi dengan para guru di Indonesia? Seharusnya mereka adalah garda terdepan dalam pembentukan kualitas calon-calon penerus kejayaan bangsa. Apakah sepantasnya bersikap seperti itu? Kalau begitu, bolehkah saya meragukan pendidikannya? Padahal dalam bangku perkuliahan pasti diajarkan juga mata kuliah pendidikan profesi yang membahas keprofesionalan guru dalam mengajar, mengabdi, dan mengayomi siswa.

Komentar lain pun sama, mengeluhkan kinerja guru zaman sekarang utamanya pada sertifikasi. Kebanyakan mereka ingin menemukan suatu jawaban bahwa sebenarnya sertifikasi guru itu memang diperuntukkan untuk peningkatan kualitas atau hanya sebatas demi kenaikan gaji?

Dilansir dari Tempo.co, Sri Mulyani mengatakan bahwa besarnya sertifikasi yang didapatkan guru tidak sebanding dengan kualitas pendidik tersebut. Menurutnya sertifikasi ini hanya dijadikan sebagai batu loncatan kenaikan gaji yang tidak dibarengi dengan tanggung jawab terhadap kualitas mengajar.

Saya pernah mendengar dari salah satu guru yang saya kenal, ada oknum nakal yang dengan sengaja memanfaatkan sertifikasi untuk menambah income-nya per bulan. Big salary with high certification but no quality. Ironi yang manis.

Guru adalah Budak Modern Berkedok Pengabdian

Tapi oh tampaknya ada sesuatu yang mungkin mendasari mereka melakukan hal tidak sepatutnya tersebut. Bisa jadi dikarenakan gaji guru yang tidak pantas untuk ukuran seorang pendidik dengan beban kerja yang seabrek.

Tentulah anda yang bukan dari ranah pendidikan sepertinya mengklaim tugas guru sebatas mengajar, menilai, serta memberi PR untuk siswa. Tentu tidak, kawan.

Sampai saat ini banyak guru yang mengeluhkan kurangnya waktu untuk mengerjakan segala macam tetek bengek administrasi yang ada. Dikutip dari gurusiana.id, para guru setidaknya mengerjakan sebanyak 27 macam administrasi seperti program tahunan, silabus, rencana pembelajaran, agenda mengajar, kisi-kisi soal, kartu soal, daftar nilai, analisis butir soal, dan sebagainya.

Pastilah dengan beban kerja yang sebegitunya banyaknya, tak ayal mereka kerap mencuri waktu demi selesainya segala tugas yang ada di depan mata. Dampak negatifnya bisa menjadikan seorang guru kurang maksimal dalam mengajar di dalam kelas.

Mengutip dari CNN Indonesia, Presiden Jokowi mengatakan bahwa guru dinilai terlalu sibuk dalam mengurus persoalan administrasi dan berakhir pada tidak fokusnya pendidik dalam kegiatan di kelas. Sebab itulah ia berpesan untuk menggaris bawahi hal tersebut.

Sampai di sini, bagaimana tanggapan anda terhadap guru yang mengejar sertifikasi untuk kenaikan gaji di tengah beban kerja yang seabrek? Apakah ada baiknya pemerintah mengubah grand design pendidikan Indonesia? Kita tunggu saja program kerja Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi di era kabinet baru mendatang.

Begitulah secuil problematika pendidikan yang ada di Indonesia. Sebenarnya masih banyak permasalahan yang ingin saya sampaikan melalui untaian selembar kertas ini. Namun agaknya terlalu panjang jika kita menyebutkan semuanya mulai dari kualitas siswa, wali murid yang acuh terhadap anaknya, biaya pendidikan, supply demand guru yang berlebih, kampus FKIP gurem, kurikulum pendidikan,kualitas mahasiswa pendidikan, dan masih banyak lagi.

Terakhir saya sampaikan bahwa sebenarnya tulisan ini hanya sebagai pemantik belaka agar anak muda utamanya mahasiswa pendidikan terus berkarya dan berpikir akan dikemanakan pendidikan Indonesia. Semoga dengan ini kita dapat bersinergi bersama mengubah ekosistem pendidikan dengan menciptakan iklim pembelajaran yang sebaik mungkin. Salam Edukasi.

Eduation is the Transmission of Civilization – Will Durant.

 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//