MAHASISWA BERSUARA: Misinterpretasi Ideologi di Indonesia
Di Indonesia justru ideologi diinterpretasikan secara berlawanan. Seakan memunculkan sebuah teori baru sembari melupakan sejarah.
Czar Daffa Al Farisi
Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pendidikan Indonesia
27 Maret 2023
BandungBergerak.id – Saya dapat meyakinkan bagi siapa pun yang membaca esai ini, bahwa akal sehat telah ditembak mati dengan pengesahan RKUHP yang sudah difinalkan tahun 2022 lalu. Khususnya dalam pasal 190 ayat 1 yang berbunyi “Setiap orang yang menyatakan keinginannya di muka umum dengan lisan, tulisan, atau melalui media apa pun untuk meniadakan atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun”. Saya tidak akan membahas misinterpretasi ideologi di Indonesia dalam perspektif hukum, namun saya akan mengorek kebenaran dalam sudut pandang studi ideologi dan filsafat itu sendiri.
Berbicara tentang ideologi secara lebih radix atau mengakar, maka kita akan bertemu dengan sejarah ideologi dari Perancis dan Jerman. Asal-usul kata ideologi sendiri digunakan pertama kali oleh de Tracy dalam Revolusi Perancis, dan diteruskan oleh Karl Marx dan pengikutnya, hingga dapat dilacak ke para filsuf reaksioner Marxis (Non Marxis) (Andrew Heywood, Ideologi Politik, 1st ed.,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016). De Tracy memandang ideologi sebagai ilmu tentang ideologi, Karl Marx memandang ideologi secara negatif sebagai delusi dan masifikasi, sementara para filsuf non Marxist salah satunya Karl Mannheim memandang ideologi sebagai nilai relatif bukan absolut sebuah bangsa (Karl Mannheim, Ideologi Dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran Dan Politik, 1st ed., Yogyakarta: Kanisius, 1991).
Pandangan tentang ideologi dalam sejarah keilmuan internasional dibagi menjadi dua, konsepsi netral dan kritis (John Thompson, Analisis Ideologi Dunia, 1st ed., Yogyakarta: IRCiSoD, 2014). Dalam konsepsi netral ideologi dipandang sebagai suatu sistem berpikir yang benar-benar netral atau non normatif, sementara dalam konsepsi kritis yang diajukan oleh para filsuf kontemporer saat ini, ideologi selalu dipandang dalam sebuah paradigma negatif. Karena pada akhirnya, negara-negara yang memiliki ideologi dasar, termasuk sesuatu yang dijadikan dasar negaranya hanyalah negara berideologi fasisme dan komunisme (Bertrand Russel, Kekuasaan?: Sebuah Analisis Sosial Dan Politik, 2nd ed., Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2019). Tidak ada negara selain negara fasis dan komunis yang benar-benar percaya diri untuk menjadikan satu ideologi sebagai sebuah dasar negara.
Dalam teorema atau konsepsi kritis tentang ideologi, ideologi dipandang sebagai suatu delusi atau kesadaran palsu. Ideologi dianggap sebagai tirai kesadaran itu sendiri. Marx dan Kierkegaard menjadi pioneer utama dalam penentangan terhadap ideology (Henry Aiken, Abad Ideologi, 2nd ed., Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2020). Marx secara lebih lengkap memandang ideologi sebagai sebuah kemewahan, yang menjadi dan menciptakan sekat-sekat antar kelas. Ideologi menurut Marx adalah sebuah tabir penghalang antara kelas penindas dan kelas yang ditindas. Dengan adanya ideologi menjadikan orang-orang yang tertindas menjadi tertidur lelap dalam ketertindasannya, menjadikan kelas penindas mendapat legitimasi kekuasaan tanpa mendapatkan perlawanan. Sementara Kierkegaard sebagai filsuf eksistensialis memandang ideologi sebagai sebuah pencederaan terhadap kemanusiaan itu sendiri. Manusia harus otonom, berani memilih kebebasannya sendiri, dan bertanggung jawab terhadap dirinya, bukan terhadap ideologi.
Di Indonesia justru ideologi diinterpretasikan secara berlawanan. Seakan memunculkan sebuah teori baru sembari melupakan sejarah. Indonesia sedemikian membenci Marxisme, hingga kemunculan paham ideologi Marxisme-Leninisme (Komunis Ortodoks) menjadi sebuah ancaman besar terhadap Pancasila. Dikatakan bahwa Pancasila adalah ideologi bangsa, dasar negara yang digali dari nilai-nilai luhur bangsa yang sudah tertanam kuat sejak dahulu kala. Justru, pandangan positif terhadap ideologi seperti yang para ahli Pancasila di Indonesia jabarkan justru sangat berbanding lurus dengan pendapat filsuf-filsuf penerus Marx (Neo Marxist) seperti Antonio Gramsci misalnya.
Para filsuf Neo Marxis menganggap ideologi sebagai sebuah instrumen penting pemersatu kebudayaan. Antonio Gramsci menganggap ideologi sebagai sebuah hal vital, ideologi menjadi pemersatu budaya, dan dengan ideologi itulah sebuah bangsa dapat tumbuh (Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks, 1st ed., New York: International Publisher, 1971). Ironi, Pancasila sering kali dianggap sebagai sebuah ideologi bangsa. Sambil lalu bangsa ini fanatik terhadap apa yang seharusnya tidak bisa difanatikkan. Karena menyebut sesuatu sebagai ideologi, apalagi di tingkat negara berarti menegaskan diri untuk membeku dalam alur pemikiran teratur dan sistematis. Iklim negara yang demikian tidak akan cocok bagi kesadaran sehat manusia. Padahal, di lain sisi, Pancasila juga membenci ideologi Marxisme-Leninisme, sementara teori dan akar pemikiran yang begitu menjunjung tinggi ideologi negara hanya ada dalam Marxisme-Leninisme dan produk turunannya (Neo Marxis) walaupun lebih lunak.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Permasalahan Pendidikan di Indonesia
MAHASISWA BERSUARA: Sedikit Menguliti Fakta di Balik Pendidikan Indonesia
MAHASISWA BERSUARA: Insan Pembangunan yang Tak Kunjung Harmonis
MAHASISWA BERSUARA: Manifestasikan saja Kesejahteraan Guru
Dilema Ideologi
Jika masih tidak percaya, saya akan membuktikannya dengan membandingkan pendapat Althusser dan para filsuf Sekolah Frankfurt. Althusser cukup lunak terhadap pandangannya tentang ideologi. Ia berpandangan bahwa ideologi bergerak dalam aparatus negara. Ideologi ada di mana-mana, dan keluarga menjadi sebuah lembaga pembentuk ideologi terbesar saat ini. Tetapi sekali lagi, negara haruslah dimaknai sebagai negara (Louis Althusser, Ideologi Dan Aparatus Ideologi Negara, 1st ed., indoPROGRES, 2015). Karena memang hanya dengan demikian negara dan ideologi dapat dimaknai tanpa penggunaan negatif. Sudah sewajarnya ideologi eksis dalam kehidupan manusia (Louis Althusser, Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies, 3rd ed., Yogyakarta: Jalasutra, 2010). Bahwa Althusser tidak memandang ideologi memang sebaiknya ada, tetapi karena manusia selalu menggunakan kacamata ideologi dalam memandang realitas.
Berbeda dengan Habermas, ia menerangkan apa yang disebut dengan sebuah kritik ideologi. Karena memang latar belakang Jurgen Habermas sebagai filsuf teori kritis Sekolah Frankfurt, ia tidak percaya bahwa ideologi memang ada dan eksis secara esensial dalam diri manusia. Sering kali ideologi hanya dijadikan sebagai sebuah alat kekuasaan untuk melanggengkan status quo, tidak lebih, baik itu dipandang dalam segi negatif maupun positif. Tetapi yang benar dan utama adalah sifat dari ideologi, yakni mendistorsi realitas (Fransisco Hardiman, Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jurgen Habermas, 1st ed., Yogyakarta: Baik Yogyakarta, 2004). Dalam teori kritis, tentang akal budi yang subjektif sebenarnya sudah begitu sering untuk dibahas. Dan manusia sebagai insan yang memiliki akal budi tidak akan bisa lepas dari kesubjektifikannya, ideologi adalah salah satu dari hasil subjektivitas manusia (Sindhunata, Teori Kritis Sekolah Frankfurt?: Dilema Usaha Manusia Rasional Max Horkheimer & Theodor W. Adorno, 1st ed., Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2019).
Namun, apa yang diajarkan dalam sekolah-sekolah di Indonesia , Ideologi seakan diajarkan sebagai sebuah euforia utopia saja. Tanpa diterangkan lebih jelas dampak negatif dan positif dari memiliki ideologi, apalagi di tingkat negara. Seakan-akan ada sebuah raja yang entah duduk di mana yang menjadi sebuah role model ideologi Pancasila. Dan dengan itu negara melakukan labeling terhadap manusia maupun organisasi-organisasi yang anti terhadap ideologi negara. Tanpa mau mengakui bahwa negara yang berideologi berarti mendekati bentuk lama negara fasis dan komunis. Misinterpretasi Pancasila sebagai ideologi negara sudah sulit untuk diluruskan. Seperti hanya tinggal menunggu waktu untuk jatuh pada bentuk komunisme maupun fasisme baru. Namun, saya tidak ingin terlalu skeptis.
Memang, mahasiswa adalah anomali dari penyelenggaraan demokrasi di Indonesia. Terkadang mahasiswa dapat menjadi kuda troya yang ditumpangi musuh, membiaskan akal sehat itu sendiri. Tetapi sering kali mahasiswa juga menjadi anomali yang mendorong pecahnya status quo yang merongrong demokrasi. Mahasiswa adalah kekuatan politik paling independen dan yang paling dekat dengan akal sehat dewasa ini. Seakan dalam tangan mahasiswa bergantung masa depan Indonesia. Berhenti berpikirnya mahasiswa, atau dieksekusinya mahasiswa, berarti kematian dari akal sehat di Indonesia.