RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #14: Tjipto Mangoenkoesoemo Masuk Volksraad
Kiprah Tjipto Mangoenkoesoemo dalam Volksraad berakhir tahun 1920, karena tekanan dari para pejabat. Dibuang, lalu pindah ke Bandung sebagai penduduk bumiputera.
Hafidz Azhar
Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung
28 Maret 2023
BandungBergerak.id - Ditunjuknya Tjipto Mangoenkoesoemo sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat) mula-mula mendapat dukungan yang kuat dari para pengurus Insulinde saat kongres ketujuh berlangsung di Bandung. Mereka menekankan perubahan mental Tjipto yang pantas untuk masuk ke dalam jajaran Volksraad (De Preangerbode 4 April 1918). Lalu pada bulan Mei 1918, Tjipto bersama empat orang dari kalangan Bumiputera lainnya terpilih menjadi anggota Volksraad atas pemilihan yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, J.P. Graaf van Limburg Stirum. Keempat orang tersebut, yakni Pangeran Mangkunegara Prang Wedana, Tjokroaminoto yang mewakili Centraal Sarekat Islam, M.Ng. Dwidjosewojo dari Budi Utomo, dan M. Tajeb dari Aceh, sementara Tjipto mewakili perkumpulan Insulinde (Shiraishi, 2005:129).
Pada tahun 1916, Gubernur Jenderal van Limburg Stirum mengajukan kepada parlemen Belanda untuk segera mensahkan pembentukan Volksraad. Tidak lama dari situ, pada bulan Desember 1916 parlemen Belanda resmi mensahkan pembentukan Volksraad (Shiraishi, 2005:129). Selanjutnya pada tahun 1917 Undang-undang tentang pendirian Volksraad mulai diberlakukan pada tanggal 1 Agustus, bertepatan dengan Keputusan Kerajaan Belanda tanggal 30 Maret 1917 no. 60, 70, dan 71, yang berisi tiga ketetapan. Antara lain, pertama, ketentuan-ketentuan tentang susunan Volksraad; pemberhentian anggota secara periodik, dan hal lainnya. Kedua, ketentuan tentang pemilihan anggota Volksraad dan hal lainnya. Ketiga, tata tertib rapat-rapat Volksraad (Tien Jaar Volksraad Arbeid 1918-1928, hlm. 21).
Menurut catatan Takashi Shiraishi bahwa Volksraad mempunyai tugas sebagai badan penasihat tanpa kekuasaan legislatif, interpelasi dan penyelidikan parlementer. Anggotanya berjumlah 38 orang, yang sebagiannya ditunjuk oleh dewan kotapraja dan keresidenan, sedangkan sebagiannya lagi dipilih oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Dari ketiga puluh delapan orang itu, lima belas orang dibatasi yang berasal dari kalangan Bumiputera, sepuluh orang lain dipilih dan sisanya diangkat oleh Gubernur Jendral (Shiraishi, 2005:128).
Sementara itu dalam Tien Jaar Volksraad Arbeid 1918-1928 tercatat bahwa seluruh anggota Volksraad mula-mula ditetapkan sebanyak 39 orang. Dengan jumlah ini, konon, dapat mewakili 38 provinsi di Hindia Belanda, sedangkan satu orang lagi diangkat oleh raja sebagai ketua. Selain itu, dari 39 orang, 19 orang harus dipilih oleh dewan lokal, sementara 10 orang dari kalangan bumiputera, dan 9 orang dari kalangan Eropa serta orang timur asing. Secara teknis pemilihan ini dihasikan dengan membentuk sebuah wadah pemilihan.
Pada teknis yang lainnya, 19 orang ditunjuk oleh Gubernur Jenderal, 5 orang anggota mesti berasal dari kalangan bumiputera, dan 14 orang lainnya dari kalangan Eropa dan orang timur asing, sehingga pada konsep pertama susunan Volksraad antara lain: anggota sekaligus ketua diangkat oleh raja; 15 orang dari kalangan bumiputera, 10 orang dipilih dan 5 orang ditunjuk; lalu 23 orang dari kalangan Eropa dan timur asing, dengan 9 orang dipilih dan 14 orang lainnya ditunjuk (Tien Jaar Volksraad Arbeid 1918-1928, hlm. 21-22).
Baca Juga: RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #11: Kembali ke Tanah Air
RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #12: Haji Misbach Bergabung dengan Insulinde
RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #13: Kongres Insulinde di Bandung
Kritik Tjipto Mangoenkoesoemo
Pada bulan Januari 1918, diadakanlah pemilihan Volksraad. Dari pemilihan itu 10 orang terpilih dari kalangan bumiputera. Mereka antara lain, Abdoel Moeis (Centraal Sarekat Islam), Dr. Radjiman (Budi Utomo), M. Aboekoesan Atmodiro (Budi Utomo), R. Kamil (Budi Utomo), R. Sastrowidjono (Budi Utomo), R.M.T.A. Koesoemo Joedo (Regentenbond), R.A.A. Djajadiningrat (Regentenbond), Abdoel Rivai (Pantai Barat Sumatera), dan Waworoentoe (Menado). Pada bulan selanjutnya, pemilihan Volksraad kembali diselenggarakan. Dari pemilihan ini terpilihlah lima orang dari kalangan bumiputera dan berhasil memasukkan nama Tjipto bersama empat tokoh lainnya. Sehingga pada tanggal 21 Mei 1918, dibuka rapat pertama Volksraad oleh Gubernur Jenderal van Limburg Stirum (Shiraishi, 2005:129).
Masuknya Tjipto Mangoenkoesoemo menjadi anggota Volksraad memang atas penunjukkan Gubernur Jenderal van Limburg Stirum. Akan tetapi bisa saja jika penunjukkan tersebut ditolak oleh Tjipto karena bukan didasarkan atas keinginannya. Yang jelas, bergabungnya Tjipto sebagai anggota Volksraad merupakan kesempatan baginya dalam mengamati ketimpangan-ketimpangan yang ada di Hindia Belanda waktu itu. Sejak tahun 1917, kondisi ekonomi di Hindia Belanda sangat memprihatinkan. Banyak rakyat bumiputera yang kelaparan lantaran kurangnya pasokan kebutuhan makanan yang dimonopoli oleh kepentingan pemerintah kolonial. Misalnya, para penduduk bumiputera yang membutuhkan beras, tetapi pemerintah lebih mengutamakan kalangan pemodal karena banyak menguntungkan, sehingga adanya ketimpangan yang mengakibatkan perseteruan berdarah sebagaimana yang terjadi di Cimareme, Garut dan Toli-toli. Kondisi itulah yang memperkuat keberadaan Tjipto untuk duduk menjadi anggota Volksraad mewakili Insulinde (Balfas, 1957:83-84).
Saat pidatonya yang pertama tanggal 19 Juni 1918, Tjipto mengungkapkan berbagai persoalan sosial seperti perbedaan rasial dalam angkatan darat, perbedaan hak wanita di tanah jajahan, pembahasan tentang hak kewarganegaraan, prasangka atas kaum bumiputera, Tionghoa dan kaum Eropa sampai nasib buruh bumiputera di pabrik-pabrik dibanding mereka yang berasal dari kalangan Eropa. Lalu, pada tanggal 20 Februari 1919 Tjipto berpidato dan meminta kepada pemerintah agar segera bertindak dalam mengatasi kondisi-kondisi yang sulit lantaran kekurangan bahan pangan. Bahkan ia pun mengecam pemerintah karena memberikan kebijakan ekonomi yang tidak jelas. Di antaranya, kurang mempersiapkan keadaan selanjutnya di masa depan, dan pemerintah lebih mementingkan diri sendiri dalam mengelola pajak, padahal banyak menambah beban masyarakat bumiputera (Scherer, 1985:161-163).
Pada 2 Juli 1919, Tjipto dituduh oleh seorang wakil pemerintah yang menjabat sebagai kepala Biro Dinas Intelejen bernama Muurling. Tuduhan itu bersisi bahwa Tjipto dan Insulinde menuai perselisihan di tengah masyarakat desa Nglungge, berupa dorongan supaya penduduk Nglungge tidak mematuhi kewajiban kerja paksa. Tentu saja tuduhan tersebut dibantah oleh Tjipto. Lalu Muurling memberikan selembar surat edaran yang berisi tujuan untuk menghapus kewajiban ronda dan lain-lain. Di dalam surat itu tercantum nama Insulinde di bagian atas, dan juga nama Setijo Merdiko di bagian bawahnya menggunakan bahasa Jawa (Scherer, 1985:178).
Selain itu, dalam surat edaran tersebut dinyatakan bahwa hanya dengan membayar 25 sen untuk masuk perkumpulan ini, maka setiap orang akan diberi kebebasan dari tugas-tugas ronda atau kerja paksa. Sehingga menurut Muurling, hal itu menuntun rakyat untuk melanggar hukum, meskipun Tjipto tetap membantah tuduhan Muurling tersebut, apalagi disematkan juga kepada Insulinde (Scherer, 1985:178).
Akhirnya, buntut dari masalah ini berujung pada pembelaan Tjipto di Volksraad. Mula-mula Muurling mengeluarkan informasi yang kurang tepat berkenaan dengan telegram yang diterima Volksraad. Dalam telegram itu disebutkan bahwa 1.300 orang rakyat sedang melakukan mogok di desa Koewel dan Polanhardjo. Sementara Muurling menyatakan bahwa di sana hanya terdapat 600 orang yang sedang mogok dalam perselisihan antara rakyat dengan pihak pengelola ihwal pelaksanaan buruh dari segi penanaman dan produksi. Muurling pun lalu menghubungkan penolakan rakyat itu dengan informasi sebelumnya yang menyangkut Tjipto, meskipun Tjipto masih keras membantah pernyataan Muurling tentang kasus itu karena dianggapnya tidak tepat (Scherer, 1985:179).
Pada bulan November tahun 1919, Tjipto berpidato dan mengungkapkan kasus itu kembali. Menurutnya, terdapat persekongkolan antara Sunan dan Residen untuk menipu rakyat. Tjipto menambahkan bahwa pinjaman yang diberikan kepada rakyat sebesar f12 dari Sunan mesti dibayar dengan berkerja lama di perkebunan-perkebunan. Bahkan untuk upah harian masing-masing didapat sekitar 32 sampai 33 sen. Dari sini Tjipto menganggap bahwa Sunan dan Residen-lah yang memicu terjadinya pemogokan di perkebunan-perkebunan. Ia juga menolak berbagai tuduhan yang ditujukan kepadanya serta kepada kawan-kawannya di Insulinde yang dinilai telah menghasut pemogokan (Scherer, 1985:179).
Demikianlah kiprah Tjipto dalam Volksraad berakhir pada tahun 1920. Selain mendapat tekanan dari para pejabat, ia juga banyak memberikan gagasan yang pro terhadap penduduk bumiputera dalam pidatonya di Volksraad. Sebelum kariernya di Dewan Rakyat itu berhenti, ia sempat mengajukan usulan untuk mengadakan sebuah komisi yang menyelidiki sistem pertanian di Kasunanan Surakarta, mengingat adanya pembentukan dewan pemerintah kolonial yang mengelola rumah-rumah penduduk dan memiliki kekuasaan atas peraturan kawasan pemukiman (Direktorat Sejarah, 2018:136). Beberapa saat kemudian Tjipto dibuang dari kawasan atau daerah-daerah berbahasa Jawa, lalu pindah ke Bandung sebagai penduduk bumiputera biasa yang telah meninggalkan keanggotaannya di Volksraad (Scherer, 1985:180).