• Kolom
  • RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #13: Kongres Insulinde di Bandung

RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #13: Kongres Insulinde di Bandung

Saat pidato di Bandung, Tjipto Mangoenkoesomo menjelaskan semangat Indische Partij melawan kolonial. Tekanan pemerintah kolonial membuat Indische Partij dibubarkan.

Hafidz Azhar

Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung

Koran De Indier edisi 10 April 1918 melaporkan hasil kegiatan Kngres Insulinde ketujuh yang digelar di Bandung. (Dokumentasi dari penulis)

20 Maret 2023


BandungBergerak.idKongres Insulinde yang ketujuh berlangsung di Bandung dari tanggal 29 sampai 31 Maret 1918. Ratusan orang menghadiri acara itu yang terdiri dari berbagai afdeeling dan perwakilan organisasi lain. Hadir juga para pejabat yang dikawal oleh aparat polisi. Sayangnya, pada acara kongres ketujuh ini ketua pengurus besar Insulinde, G.L. Topee, tidak hadir karena sakit, lalu digantikan oleh Tjipto Mangoennkoesoemo untuk memimpin pertemuan besar tersebut (De Locomotief 1 April 1918).

Sebelumnya, tanggal 13 Maret 1918 koran resmi Insulinde, De Indier, mengumumkan akan mengadakan kongres yang ketujuh di Bandung. Dalam koran itu disebutkan bahwa dari tanggal 29 sampai 31 Maret akan berlangsung kongres kaum Hindia yang juga menyertakan berbagai agenda acara. Pada tanggal 29 Maret akan digelar rapat pengurus Insulinde bersama dengan organisasi lainnya di gedung Mardika Pasar Baru. Lalu pada tanggal 30 Maret pembukaan kongres Insulinde ketujuh digelar di gedung Bioskop Elita. Kemudian acara berpindah tempat ke gedung Mardika untuk melanjutkan kongres yang berisi berbagai pembahasan. Setelah itu pada 31 maret kegiatan kongres akan ditutup di gedung Bioskop Elita yang diakhiri dengan pertunjukan dari Tajoeban dan Soiree Dansante di gedung Mardika Pasar Baru, Kebon Jati.

Masih pada edisi yang sama, De Indier mencatat rangkaian acara yang lebih rinci dari tanggal 30 sampai 31 Maret. Selama dua hari itu kongres akan diisi dengan 15 agenda. Antara lain pembacaan keputusan dari pengurus besar Insulinde; pidato pembukaan dari ketua kongres; pembacaan hasil kongres Insulinde keenam; persetetujuan laporan tahunan dari kesekretariatan; persetujuan laporan tahunan keuangan; pembacaan laporan dari komisi verifikasi; penunjukkan komisi verifikasi tahun 1918; pembacaan laporan tahunan dana Tot Aanmoediging der Opstadeligen (TADO); persetujuan anggaran untuk tahun 1918; persetujuan pengangkatan pengurus eksekutif; pembahasan peraturan dana TADO; laporan proposal yang masuk; diskusi dan presentasi yang disampaikan oleh G. de Raad tentang persoalan pendidikan di Hindia Belanda; tindak lanjut laporan dari panitia untuk penelitian aspek mental di desa-desa; serta hal-hal lain yang akan dibahas dalam kongres.

Acara pun dimulai. Sebagai pengganti ketua Insulinde, Tjipto menyampaikan pidato untuk pembukaan kongres. Seraya mendengarkan pidato hadirin dapat melihat gambar dan patung Douwes Dekker yang terpampang di bagian paling depan. Sedangkan di bagian belakang terdapat potret pangeran Diponegoro (De Preangerbode 2 April 1918).

Dalam pidato itu mula-mula Tjipto meminta kepada para delegasi agar menyetujui kongres yang diputuskan di Bandung. Lalu menarik keputusan sebelumnya, yakni kongres yang akan digelar di Semarang. Setelah itu ia menjelaskan, semangat Indische Partij dalam melawan rezim yang sama telah menggambarkan perkembangan Insulinde secara kualitas maupun kuantitas. Bahkan ia pun menyadari sejak tahun 1913 Indische Partij dilanda banyak kesulitan, terutama pada tahun 1913. Dengan menunjukkan kekesalannya Tjipto menyebut bahwa tindakan keras pemerintah kolonial menimbulkan ketakutan di antara para anggota Indische Partij, sehingga banyak dari mereka yang keluar meninggalkan bendera Indische Partij. Dalam konteks ini Tjipto pun menilai bahwa mereka yang keluar layak disebut sebagai pengecut karena mencari perlindungan di tempat yang lebih aman. Kondisi ini bagi Tjipto sangat menyedihkan, lantaran berkebalikan saat Indische Partij (IP) pertama kali muncul.  Ketika itu para anggota IP begitu berapi-api dan rela melakukan sumpah setia dengan prinsip “berani karena benar”. Tetapi setelah timbulnya tekanan dari pemerintah kolonial, mereka mulai menunjukkan kepanikan yang berlebihan (De Preangerbode 2 April 1918), sampai akhirnya IP pun dibubarkan.

Tjipto menambahkan, sampai tahun 1915 kepanikan masih terasa di antara mereka yang takut menghadapi pemerintah kolonial. Namun ketika berlangsung kongres di tahun itu muncul kembali keberanian yang tidak diketahui dari sebagian anggota. Sekitar 30 hingga 40 orang Hindia dapat memenuhi panggilan pengurus pusat untuk berkumpul dalam pertemuan tahunan. Akhirnya, berkat upaya yang dilakukan Topee, Darna, Teuween dan Van de Kasteele, Insulinde sudah menghasilkan perkembangan signifikan di tahun berikutnya, terutama di Semarang yang mencapai hingga ratusan orang anggota (De Preangerbode 2 April 1918).

Baca Juga: RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #10: Berada di Tanah Pengasingan
RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #11: Kembali ke Tanah Air
RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #12: Haji Misbach Bergabung dengan Insulinde

Suwardi Suryaningrat dan Douwes Dekker

Pada kongres selanjutnya, yakni tahun 1917, Insulinde telah memperlihatkan anggota yang lebih banyak dari sebelumnya. Tjipto Mangoenkoesoemo memperkirakan bahwa ribuan orang telah memenuhi pertemuan itu. Dalam siatuasi tersebut Tjipto merasa senang jika perkembangan anggota Insulinde bukan hanya ditunjukkan berupa kuantitas, tetapi juga kualitas. Ia juga menyebut bahwa banyaknya anggota yang terlibat dalam kongres di Semarang waktu itu tidak terlepas dari bantuan dua penasihat Insulinde dalam aspek hukum dan medis, yaitu Mr. Jeekel dan Dr. Angenent (De Preangerbode 2 April 1918).

Sementara itu Tjipto Mangoenkoesoemo juga mengajak hadirin untuk mengenang Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) yang belum bisa kembali ke Hindia Belanda dan juga mengenang Douwes Dekker yang kala itu sedang menjadi buronan pemerintah Inggris. Di tengah-tengah penjelasan mengenai perkembangan yang tumbuh dalam Insulinde, seketika Tjipto mengalihkan rasa senangnya untuk mengingat nasib Suwardi dan Douwes Dekker. Meski redaktur koran De Locomotief, Hazam, menyindir Douwes Dekker karena telah melakukan bunuh diri politik, Tjipto berusaha meyakinkan semua orang yang hadir dalam kongres itu bahwa Douwes Dekker masih teguh dalam idelalismenya. Serangan untuk menjatuhkan Douwes Dekker, menurut Tjipto, jangan mudah dipercaya, sehingga ia meminta hadirin untuk tetap mengenangnya dalam lingkaran persahabatan (De Locomotief 1 April 1918, De Preangerbode 2 April 1918).

Dalam pidato itu Tjipto juga menyatakan, Insulinde telah menemukan lawan yang layak dari rezim yang lama. Mereka adalah sekumpulan orang fundamental dari partai konservatif yang bersikukuh berada di posisi perang melawan kubu Tjipto dkk. Meskipun dalam pidato tersebut Tjipto yakin akan menaklukkan mereka, karena memiliki semboyan Rawe-rawe rantas, malang-malang putung (De Preangerbode 2 April 1918).

Di samping itu pidato Tjipto itu mengarah pada pembahasan tentang krisis ekonomi yang terjadi di Hindia. Menurutnya kondisi masyarakat Hindia waktu itu lebih menunjukkan rasa sedih daripada senang. Hal itu diperkuat dengan banyaknya laporan yang masuk terkait kelaparan karena kelangkaan pangan, sehingga menurut Tjipto pihaknya akan segera memberikan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan (De Preangerbode 2 April 1918).

Dalam penjelasan pidato terakhirnya, Tjipto membicarakan tentang para perwakilan di Volksraad. Nama-nama seperti Dr. Abdul Rivai, Ismail, Teuween dan Cramer dari SDAP akan tampil di dalam dewan rakyat tersebut bersama 34 orang lainnya. Meski hanya lima orang menjadi perwakilan, bagi Tjipto jumlah itu merupakan kekuatan yang jangan terlalu diremehkan. Selain keputusan di Volksraad yang tidak mengikat, Tjipto dan kawan-kawan akan berusaha untuk melakukan yang terbaik. Lalu dapat mengubah pemerintahan di parlemen dengan menampung dan mengirim suara yang menentukan dari Den Haag ke Batavia (De Preangerbode 2 April 1918).

Usai Tjipto berpidato, giliran P.J. Gerke yang memberikan pembahasan tentang Anggaran untuk Hindia. Kemudian acara pun diselingi dengan istirahat. Di sela-sela itu, hadirin menghimpun dana sokongan. Dengan mengenakan topi berwarna bendera Indische Partij, putri dari seorang tokoh bernama Rijken berhasil memperoleh uang sebanyak f 57 untuk segera diberikan kepada orang yang sangat membutuhkan (De Preangerbode 2 April 1918).

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//