• Kolom
  • RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #10: Berada di Tanah Pengasingan

RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #10: Berada di Tanah Pengasingan

Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, Suwardi Suryaningrat dan istrinya, Sutartinah, menjalani pengasingan di negeri Belanda. Masih aktif dalam kegiatan politik.

Hafidz Azhar

Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung

Tulisan Suwardi Suryadiningrat yang ditulis di atas kapal Bulow saat menuju tanah pengasingan di negeri Belanda. (Foto: Dokumentasi Hafidz Azhar)

1 Maret 2023


BandungBergerak.id – Setelah mendapat hukuman untuk diasingkan ke Belanda, Douwes Dekker dkk. berangkat menuju Tanah Eropa. Dalam pengasingan ini Douwes Dekker tidak saja ditemani oleh dua kawannya sebagai sesama tokoh pergerakan, tetapi juga ditemani oleh Sutartinah atau yang lebih dikenal dengan Nyi Hajar Dewantara, istri dari Suwardi Suryaningrat. Untuk menempuh perjalanannya ke Belanda mereka berempat mendapat uang sokongan dari rakyat Bumiputera yang diwadahi oleh Tado Fonds.

Tado sendiri merupakan kepanjangan dari Tot Aan de Onafhankelikjheid (Sampai Kemerdekaan Tercapai), yakni semacam komite untuk mengumpulkan dan mengelola dana bantuan untuk biaya hidup dan perjalanan Douwes Dekker dkk. selama di pengasingan. Alasan mendasar pemberian uang sokongan itu oleh Tado Fonds, karena masyarakat Bumiputera merasa bangga atas sikap kepahlawanan yang ditunjukkan Douwes Dekker, Tijpto dan Suwardi Suryaningrat dalam menentang tirani kaum kolonial. Bahkan TADO sendiri kerap diartikan menjadi Tot Aanmoediging der Opstadeligen (Sebagai Hati dan Pendorong Semangat para Pemberontak) yang mengacu kepada tokoh-tokoh Tiga Serangkai itu (Harahap dan Dewantara, 1980:147).

Pada tanggal 13 September 1913 keempat orang tersebut berangkat ke Belanda menggunakan kapal Bulow. Dalam perjalanannya, Suwardi mempersiapkan sebuah tulisan yang berjudul Vrijheidsherdenking en Vrijheidsberooving (Memuji Kemerdekaan dan Merampas Kemerdekaan) untuk dikirimkan pada surat kabar De Expres di Bandung. Dalam catatannya itu juga Suwardi menyindir kaum kolonial yang tetap akan melangsungkan acara Peringatan Seratus Tahun Kemerdekaan Belanda, bahwa perayaan itu akan diselimuti rasa ketakutan di tengah suasana keceriaan. Melalui catatan itu Suwardi mengungkapkan:

“Sungguh orang-orang itu akan tampak mengerikan di belakang lehernya dan gatal di telinganya, kalau nanti mereka bersulang dalam kesenangan. Bahkan beberapa dari mereka akan memerah seperti kalkun di dalam pesta karena merasa malu, beberapa orang akan tinggal di rumah karena takut ada bom atau senjata lainnya yang sebetulnya itu hanya pikirannya saja (Mijmeringen van Indiers over Hollands feestvierjdij in de kolonie).”

Sesampainya di Belanda, Douwes Dekker dkk. bertemu dengan kaum pergerakan yang berasal dari Hindia Belanda. Sebut saja Indische Vereeniging atau Perhimpunan Indonesia. Konon, Indische Vereeniging berdiri pada bulan Oktober 1908. Perkumpulan ini merupakan wadah untuk mahasiswa Indonesia yang sedang melakukan studi di Belanda. Kabar mengenai perjuangan Douwes Dekker dkk. memang telah didapat oleh kalangan mahasiswa itu dari koran-koran yang sampai ke Belanda, sehingga mereka menyimpan simpatik yang terdalam bagi Douwes Dekker, Tjipto, Suwardi dan istrinya, Sutartinah yang harus menjalani masa-masa pengasingan (Harahap dan Dewantara, 1980:150).

Selama di Belanda, Suwardi dan Tjipto aktif dalam kegiatan politik radikal. Tjipto sendiri menjadi redaktur De Indier, sementara Suwardi hanya menulis dua artikel dalam koran itu.

Meski demikian pada tahun-tahun selanjutnya Suwardi juga menjadi redaktur Hindia Poetra, media milik Indische Vereeniging. Surat kabar itu mula-mula hanya menampilkan seputar komite Indische Vereeniging, berbagai kutipan dari koran-koran Pribumi, tinjauan buku dan cerita bersambung, yang berkebalikan dengan De Indier sebagai koran politik radikal. Dengan kata lain, Hindia Poetra sekadar menyuguhkan isu-isu kebudayaan dan sosial Indonesia, sehingga nantinya pada edisi kedua bulan April 1916, seorang Belanda bernama Frans Berding mempertanyakan arah Hindia Poetra yang dimuat juga dalam koran itu dengan judul, Mengapa Tidak Konfrontasi? (Scherer, 1975:93-94).

Selain itu, Sociaal Demokratische Arbeiders-Partij (SDAP) atau Partai Buruh Sosial Demokrat juga menyambut hangat tokoh Tiga Serangkai itu di Belanda. Bahkan berita serta komentar Douwes Dekker dkk. memenuhi satu halaman koran milik SDAP, Het Volk. Rasa simpatik SDAP terhadap Douwes Dekker dkk ditunjukkan dengan cara lain. Setelah menggelar rapat umum, rengrengan SDAP berencana untuk membahas pengasingan itu di Parlemen, tetapi Menteri Jajahan masih bersikukuh mempertahankan keputusan tersebut, kendati bersedia untuk memulangkan Douwes Dekker, Tjipto, dan Suwardi asalkan mereka bisa mengubah sikapnya (Simbolon, 1995:258).

Pada tahun 1914, Suwardi pernah ditawari pengampunan hukuman oleh Pemerintah Hindia Belanda. Suwardi bersama istrinya dapat bebas dari jeratan pengasingan jika Suwardi mau bekerja sebagai guru pemerintah di Pulau Bangka. Tawaran tersebut dengan tegas ditolak oleh Suwardi seraya menyatakan bahwa dirinya ingin kembali ke Indonesia sebagai kaum merdeka yang pulang membawa kemenangan (Harahap dan Dewantara, 1980:156).

Selain tawaran pembebasan hukuman, ada juga beberapa tawaran berupa uang. Salah satunya dari Abendanon kepada Sutartinah. Waktu itu Abdendanon sengaja mendatangi Sutartinah saat sedang mengajar di taman kanak-kanak di Weimaar, Den Haag. Profesi ini diperoleh Sutartinah setelah ia berupaya mencari pekerjaan untuk menambah uang pemasukan sehari-hari. Akan tetapi, tawaran dari Abendanon tersebut ditolak oleh Sutartinah. Di samping itu, Douwes Dekker dan Suwardi juga memperoleh tawaran bantuan uang dari van Deventer yang datang bersama seorang petinggi SDAP, namun keduanya menolak tawaran itu (Dewantara, 1979:73-74).

Baca Juga: RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #9: Penangkapan Tiga Serangkai dan Pembubaran Indische Partij
RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #8: Pemerintah Kolonial Menolak Badan Hukum
RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #6: Pertemuan di Bandung (Bagian II)
RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #5: Pertemuan di Bandung (Bagian I)

Dituduh Sebagai Mata-mata Jepang

Baik Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo bersama Suwardi dan istrinya, Sutartinah, menjalani masa-masa pengasingan dengan berbagai tantangan. Di Belanda, mereka memperoleh satu apartemen di lantai teratas karena harganya paling murah. Di sana, Douwes Dekker dkk bertugas secara bergiliran untuk urusan rumah maupun soal pekerjaan. Tantangan pun muncul, di antaranya saat Douwes Dekker, Tjipto dan Suwardi diundang untuk mengisi ceramah di Berlin, Jerman. Acara itu dihadiri oleh sekitar 500 orang yang terdiri dari kalangan mahasiswa, dosen bahkan dari kalangan pers dan aparat polisi (Dewantara, 1979:88-89).

Keesokan harinya, Tjipto dan Suwardi mendapat pengawasan dari agen rahasia Jerman, sejak keduanya tengah berada di dalam kereta saat perjalanan pulang menuju Belanda. Setelah beberapa waktu kemudian, pengawasan yang dilakukan agen rahasia itu ternyata menimbulkan kekeliruan, dengan menuduh Tjipto dan Suwardi sebagai orang Jepang. Tuduhan ini ditunjukkan usai keduanya melakukan percakapan menggunakan Bahasa Jawa. Alhasil kedua tokoh itu menjadi korban salah tangkap oleh agen rahasia Jerman, bertepatan dengan ketegangan yang terjadi antara pihak Jerman dengan Jepang (Dewantara, 1979:89), sehingga kecurigaan terhadap Tjipto Mangoengkoesoemo dan Suwardi Suryaningat itu merupakan bagian dari pengawasan yang dilancarkan oleh Jerman terhadap pihak Jepang.

Tentu saja kedua tokoh tersebut tidak tinggal diam. Namun upaya klarifikasi yang dilakukan oleh para tokoh Tiga Serangkai itu terbilang sia-sia. Ketika mereka memberikan identitas, pihak Jerman masih menganggap bahwa identitas tersebut palsu. Akhirnya, Sutartinah meminta bantuan kepada salah seorang mahasiswa Jerman sekaligus sahabat Douwes Dekker. Kemudian Sutartinah juga meminta pertolongan kepada Menteri Luar Negeri Belanda dan pelukis terdekat Ratu Wilhelmina, Chrislebeau, tentang peristiwa itu. Dari sini Pemerintah Belanda turun tangan, lalu diadakan komunikasi antara Den Haag dengan Berlin sampai dibebaskannya tokoh-tokoh Tiga Serangkai itu (Dewantara, 1979:90).

Pada tahun 1914 Tjipto pulang ke Tanah Air karena menderita sakit sesak dan gangguan saraf yang lumpuh. Tjipto mulai berangkat pada 22 Agustus dari Belanda menuju Indonesia dengan ditemani oleh istrinya, Vogel (Simbolon, 1995:258). Sementara Douwes Dekker, Suwardi dan Sutartinah masih berada di negeri pengasingan sampai akhirnya pulang ke Tanah Air pada dekade 1920-an untuk mengabdi pada pendidikan dan kembali dalam dunia pergerakan.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//