• Kolom
  • RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #9: Penangkapan Tiga Serangkai dan Pembubaran Indische Partij

RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #9: Penangkapan Tiga Serangkai dan Pembubaran Indische Partij

Artikel “Als ik eens Nederlander was” dan versi terjemahannya “Djika saja Nederlander” karya Suwardi Suryaningrat memancing sikap keras Belanda pada Indische Partij.

Hafidz Azhar

Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung

Selebaran pertama yang dikeluarkan oleh Comite Boemi Poetra berisi tulisan Suwardi Suryaningrat “Djika saja Nederlander”, versi terjemahan dari artikel berbahasa Belanda “Als ik eens Nederlander was”. (Dokumentasi Hafidz Azhar)

19 Februari 2023


BandungBergerak.id – Keberadaan Indische Partij pada pertengahan tahun 1913 semakin terancam, setelah pemerintah kolonial tidak memberikan status hukum kepada partai politik yang dibentuk oleh Douwes Dekker itu. Setiap pertemuan yang digelar oleh berbagai afdeeling mendapat pengawasan ketat, bahkan tak jarang para pejabat setempat turun secara langsung untuk melarang kegiatan yang digelar oleh Indische Partij. Selain melarang pertemuan yang diadakan oleh afdeeling Bandung, pemerintah kolonial juga tidak mengizinkan adanya pertemuan yang digelar oleh pengurus Indische Partij afdeeling Batavia beberapa hari setelah munculnya keputusan dari pemerintah Hindia Belanda terkait tujuan Indische Partij yang dinilai mengganggu ketertiban umum.

Surat kabar Sumatra post 8 Maret 1913 mengabarkan bahwa pengurus afdeeling Batavia batal menggelar pertemuan di gedung Loji karena adanya pelarangan dari polisi. Di samping itu, pemerintah Hindia Belanda juga menyatakan tidak akan memberikan ruang untuk pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh afdeeling Batavia, terutama yang berlangsung di gedung Loji.

Di sisi lain posisi Indische Partij yang sedang mendapat pengawasan dari pemerintah kolonial dibarengi dengan pembentukan Comite Boemi Poetra oleh Tjipto Mangoenkoesoemo dan beberapa tokoh lainnya dari Sarekat Islam. Komite ini dibentuk di Bandung pada bulan Juli 1913 sebagai respons terhadap Peringatan Seratus Tahun Kemerdekaan Belanda (Onze Verbanning: Publicatie der Officieele Bescheiden, 1913). Konon, acara peringatan itu dinilai melukai hati masyarakat Bumiputra, terutama bagi Tjipto Mangoenkoesoemo sebagai petinggi Indische Partij sekaligus inisiator Comite Boemi Poetra, sehingga muncullah suatu gagasan dari komite itu, yakni untuk menarik perhatian umum yang berisi kritik terhadap pemerintah Hindia Belanda.

Pemaksaan untuk merayakan Peringatan Seratus Tahun Kemerdekaan Belanda itu bukan hanya ditunjukkan dalam bentuk keterlibatan pada acara yang berlangsung di bulan November, tetapi juga berupa penarikan dana secara langsung oleh para pejabat Hindia Belanda terhadap penduduk Bumiputera. Di Bogor, misalnya, Asisten Residen memosisikan dirinya sebagai ketua panitia pengumpulan uang, sedangkan di Malang para pejabat administrasi mengatur sedemikian rupa agar sokongan uang diperoleh dari penduduk Bumiputera dengan bantuan pejabat Eropa dan pejabat Bumiputera. Bahkan di tempat lain uang hasil pemungutan yang diambil dari para penduduk telah terkumpul cukup banyak di tangan para pejabat (Onze Verbanning: Publicatie der Officieele Bescheiden, 1913).

Demikianlah acara peringatan itu menimbulkan kontroversi, sehingga Suwardi Suryaningrat menulis artikel yang berjudul Als ik eens Nederlander was (Seandainya aku orang Belanda), sebagai reaksi terhadap ketimpangan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Tulisan tersebut mula-mula ditulis dengan menggunakan bahasa Belanda. Kemudian rengrengan Comite Boemi Poetra menerjemahkan tulisan itu ke dalam bahasa Melayu dan menyebarkan dalam bentuk selebaran. Bahkan selebaran tersebut dikirim ke redaksi koran-koran di Pulau Jawa secara terang-terangan. Setelah itu ada juga yang memuat ulang tulisan Suwardi tersebut dengan lengkap sebagaimana ditunjukkan oleh surat kabar De Expres, meski oleh koran lain hanya menampilkan ulasannya saja (Harahap dan Dewantara, 1980: 17-18).

Selebaran yang dikeluarkan oleh Comite Boemi Poetra itu di dalamnya tertulis keterangan Surat Ederan No. 1, dengan judul Als ik eens Nederlander was yang telah diterjemahkan menjadi Djika saja Nederlander oleh Suwardi Suryaningrat. Malah dalam selebaran tersebut juga mencantumkan tulisan berbahasa Belanda Als ik eens Nederlander was yang diakhiri oleh informasi dari Comite Boemi Poetra sekaligus menyebutkan dua tujuan utama wadah yang didirikan oleh Tjipto Mangoenkoesoemo itu. Antara lain, pertama, “Hendak berdaja oepaja akan mendapat ditjaboetnja artikel 111 R.R. ja’ni larangan negri tentang hal politiek.” Kedua, “Hendak berdaja oepaja akan mendapatkan parlement Hindia, ja’ni: Madjelis Oetoesan Ra’jat.”

Bukan hanya itu, Comite Boemi Poetra juga berencana untuk menerbitkan kembali pamflet dengan jumlah yang banyak. Pamflet itu tentu saja berisi pergerakan dari Comite Boemi Poetra yang memfokuskan pada kritik terhadap pemerintah kolonial. Di samping itu, Comite Boemi Poetra juga akan mengeluarkan 5.000 buku secara gratis, meskipun ada juga buku yang diberi harga f 0,25, bila buku tersebut dicetak dalam bentuk menarik.

Sebagai bagian dari Comite Boemi Poetra, A.H. Wignjadisastra juga memanfaatkan selebaran itu untuk mengiklankan surat kabar Kaoem Moeda yang baru terbit. Selain menampilkan harga untuk setiap pembelian Kaoem Moeda, koran yang dipimpin oleh A.H. Wignjadisastra itu akan memuat setiap uang derma yang diberikan kepada Comite Boemi Poetra. Bahkan dalam selebaran itu pula, A.H. Wignjadisastra selaku direktur Naamlooze Vennootschap (Perseroan Terbatas) Kaoem Moeda meminta dukungan para pembaca untuk koran yang dikeluarkan di Bandung itu. Dalam selebaran itu dinyatakan: “Mintalah pertjontoan atau berlangganan kepada N.V. Dagblad Kaoem Moeda di Bandoeng. Dioesahakan oleh Anak negeri! Tolonglah”.

Baca Juga: RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #8: Pemerintah Kolonial Menolak Badan Hukum
RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #7: Pertemuan di Bandung (Bagian III)
RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #6: Pertemuan di Bandung (Bagian II)
RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #5: Pertemuan di Bandung (Bagian I)

Penangkapan dan Pengawasan

Sementara itu, tulisan provokatif dari Suwardi yang berjudul Als ik eens Nederlander was itu memunculkan reaksi dari pihak kolonial. Pada 20 Juli 1913, pamflet yang dikeluarkan oleh Comite Boemi Poetra tersebut akhirnya disita oleh Kejaksaan. Lalu Tjipto dan Abdoel Moeis diperintahkan untuk menghadap Mr. Monstanto selaku Jaksa Tinggi yang didatangkan khusus dari Batavia ke Bandung. Di sana Tjipto bersama Abdoel Moeis diperiksa dan diinterogasi oleh Kejaksaan, sementara pada kasus yang sama pemerikasaan terhadap Suwardi dilakukan di rumah asisten residen Bandung (Onze Verbanning: Publicatie der Officieele Bescheiden, 1913).

Dalam proses pemeriksaan Suwardi, jaksa penuntut umum ingin mengetahui motif dicetaknya pamflet yang telah menyebar ke berbagai redaksi surat kabar itu. Jika terdapat unsur untuk menghasut atau mengadu domba masyarakat Hindia Belanda, maka pihak Kejaksaan menganggap hal itu suatu kesalahan sebagaimana tercantum dalam artikel no. 26 tentang Undang-undang Percetakan Pers. Akan tetapi Suwardi membantah sangkaan tersebut, malah dirinya mengakui bahwa tulisan yang berjudul Als ik eens Nederlander was itu ia sendiri yang menulisnya (Onze Verbanning: Publicatie der Officieele Bescheiden, 1913).

Di samping itu dalam pemeriksaan Tjipto jaksa penuntut umum menanyakan siapa saja agen yang menyebarkan pamflet tersebut dan menanyakan di mana tempat tinggal mereka. Meski demikian Tjipto berjanji untuk tidak menyebutkan nama-nama dan tempat tinggal orang-orang yang menyebarkan pamflet itu, sekalipun ia mendapat ancaman hukuman penjara bila bersikukuh tidak memberi tahu kepada pihak kejaksaan yang menginterogasinya itu (Harahap dan Dewantara, 1980: 19).

Pada tanggal 21 Juli 1913, Tjipto, Suwardi dan Abdoel Moeis dipanggil kembali untuk menghadap kejaksaan. Tetapi dari pemeriksaan ini tidak ada pandangan baru, sehingga ketiganya berhasil lolos dari interogasi. Kendati demikian, tulisan susulan dari Tjipto dan Suwardi membuat Comite Boemi Poetra harus berhadapan kembali dengan pemeriksaan. Tulisan itu masing-masing berjudul, Kracht of Vrees (Kekuatan atau Ketakutan) yang ditulis oleh Tjipto, serta Een voor Allen, Allen voor Een (Satu untuk Semua, Semua untuk Satu) yang ditulis oleh Suwardi (Harahap dan Dewantara, 1980: 21).

Akibat tulisan itu pemerintah langsung menangkap empat tokoh utama dari pergerakan Comite Boemi Poetra, yakni Tjipto Mangoenkoesoemo, Suwardi Suryaningrat, Abdoel Moeis dan A.H. Wignjadisastra. Pada tanggal 28 Juli 1913 aparat dari batalion infanteri meringkus Tjipto dan Suwardi. Selain itu kantor Indische Partij sekaligus markas Comite Boemi Poetra diblokir oleh aparat. Penangkapan itu dianggap tidak berdasarkan jalur instruksi pihak kejaksaan, karena aparat pemerintahan di Bandung sewenang-wenang menangkap empat orang tersebut tanpa sepengetahuan pihak Kejaksaan (Harahap dan Dewantara, 1980:22, Dewantara, 1979:61).

Hal serupa terjadi kepada Douwes Dekker. Sepulangnya dari Belanda pada 1 Agustus 1913 untuk mengampanyekan Indische Partij, Douwes Dekker segera ditangkap tanpa alasan yang jelas. Kala itu ia baru tiba di Tanjung Priok dan harus menghadap Kejaksaan Tinggi Batavia. Dari situ Douwes Dekker terpaksa mendekam di penjara selama dua minggu karena dinilai telah melakukan pelanggaran pers (Onze Verbanning: Publicatie der Officieele Bescheiden, 1913). Saat para tokoh Comite Boemi Poetra ditangkap akibat tulisan susulan, Dowes Dekker kemudian menulis sebuah artikel dalam harian De Express dengan judul Onze helden Soewardi en Soetjipto Mangoenkoesoemo (Pahlawan-pahlawan kita Suwardi dan Sucipto Mangoenkoesoemo). Dari tulisan ini pula Douwes Dekker harus menyusul kedua teman seperjuangannya itu di penjara (Dewantara, 1979:61-62).

Masa-masa sulit itu terpaksa harus dijalani oleh Tjipto dan Suwardi Suryaningrat. Tjipto sendiri dijadikan musuh utama setelah pemerintah Hindia Belanda memberi tahu kepada para pejabat daerah di Jawa bahwa Tjipto merupakan orang yang paling berbahaya. Sedangkan Suwardi dalam kondisi sakit ginjal yang cukup parah disertai demam dengan mencapai 40-41 derajat. Bahkan ketika dokter meminta agar Suwardi dirawat inap di rumah sakit, pemerintah menolak permintaan itu karena Suwardi sedang dalam masa penahanan (Onze Verbanning: Publicatie der Officieele Bescheiden, 1913).

Usai pengawasan dan penahanan sementara, Tjipto Mangoenkoesoemo, Douwes Dekker dan Suwardi Suryaningrat mendapat hukuman untuk diasingkan ke luar Jawa yang diperkuat oleh keinginan Residen Bandung, meskipun ada instruksi dari Pemerintah Hindia Belanda agar ketiga tokoh itu dibebaskan. Pada 18 Agustus 1913 pengadilan memutuskan bahwa tokoh Tiga Serangkai itu masing-masing diasingkan ke Pulau Bangka, Banda Neira dan Kupang. Tetapi atas permintaan ketiga tokoh tersebut pengadilan mengubah putusannya untuk diasingkan ke Belanda (Dewantara, 1979: 66-67). Bersamaan Dengan hukuman Tjipto, Douwes Dekker dan Suwardi Suryaningrat, pergerakan Indische Partij berada pada babak akhir. Pembubaran pun dilakukan oleh pemerintah kolonial, karena di samping tidak memperoleh status hukum, Indische Partij mempunyai hubungan yang erat dalam kasus yang menjerat Tjipto Mangoenkoesoemo dan kawan-kawan.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//