RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #11: Kembali ke Tanah Air
Tjipto Mangoenkoesoemo lebih dulu kembali ke tanah air. Menyusul Douwes Dekker dan Suwardi Suryaningrat. Tiga Serangkai kembali ke dunia politik bersama Insulinde.
Hafidz Azhar
Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung
7 Maret 2023
BandungBergerak.id – Setelah Tjipto Mangoenkoesoemo pulang ke Hindia Belanda pada 22 Agustus 1914, kali ini giliran Douwes Dekker dan Suwardi Suryaningrat kembali ke Tanah Air pasca pemerintah kolonial mencabut hukuman bagi para tahanan pengasingan itu. Keputusan ini didorong pula dalam rapat Tweede Kamer (Parlemen Belanda) berkat upaya yang dilakukan oleh kaum progresif. Dalam rapat tersebut memang hadir beberapa kubu. Antara lain, perwakilan dari kelompok yang membela pemerintah kolonial, kaum sosialis, kaum demokrat dan berbagai kelompok progresif lainnya yang mengecam Pemerintah Kolonial di Hindia Belanda atas perlakuan kepada Tiga Serangkai itu. Untuk membebaskan jeratan hukuman terhadap Douwes Dekker dkk. terjadilah voting, dengan kemenangan yang diperoleh kaum progresif. Imbas dari kemenangan ini membuat Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van Limburg Stirum, mencabut hukuman terhadap Tjipto, Douwes Dekker dan Suwardi sebagai tahanan pengasingan (Dewantara, 1979:95), sehingga ketiganya dapat terjun kembali dalam dunia pergerakan.
Meski pada tahun 1918 pembebasan telah diberikan, Suwardi dan Sutartinah masih tinggal di Hindia Belanda karena harus bekerja dan mengumpulkan uang untuk bahan perbekalan. Malah sempat beredar kabar mengenai penundaan kembalinya Suwardi bersama sang istri ke Tanah Air. Kabar itu berisi bahwa Suwardi tidak ingin menandatangani keputusan pemerintah kolonial. Konon, hal ini mengacu juga pada janji Suwardi. Dalam salah satu laporan surat kabar disebutkan jika Suwardi tidak akan kembali dalam dunia politik (Dewantara, 1979:98).
Isu yang beredar itu kemudian dibantah oleh istrinya, Sutartinah. Melalui kiriman surat kepada adiknya, Sutartinah menulis jika dirinya bersama sang suami mesti membereskan beberapa perkerjaan seraya menghimpun biaya untuk kembali ke Tanah Air.
“Kami sedang menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang akan kami tinggalkan sambil mengumpulkan biaya yang kami perlukan karena kami tidak ingin pulang dengan sia-sia” (Dewantara, 1979:98).
Pada tanggal 26 Juli 1919 Suwardi dengan ditemani istrinya, Sutartinah, pulang ke Tanah Air dan tiba di Pelabuhah Tanjung Priok pada awal September 1919. B.S. Dewantara mencatat bahwa kedatangan Suwardi bersama istrinya di Batavia pada tanggal 5 September, sedangkan koran Het Nieuws van den dag tanggal 3 September 1919 melaporkan jika Suwardi tiba di Pelabuhan Tanjung Priok tanggal 2 September 1919. Kedatangan dua orang tokoh ini disambut oleh pengurus Insulinde dan dihadiri langsung oleh ketua Insulinde Batavia bernama Dahler.
Kedatangan Douwes Dekker ke Tanah Air berlainan dengan Suwardi. Sebelum tiba di Hindia Belanda ia terlibat dalam berbagai penyamaran dan pemberontakan.
Mula-mula Douwes Dekker pergi ke Berlin. Di sana ia bertemu dengan kelompok bawah tanah bernama Gahdr. Dengan diorganisasi oleh kalangan muda dari India, kelompok tersebut bertujuan untuk mengadakan pemberontakan di India, Bengalen, dan Birma, Myanmar, untuk menghadapi kolonial Inggris. Dari pertemuan itu Douwes Dekker menjadi anggota kelompok pemberontak tersebut, karena dianggap mempunyai nasib yang sama sebagai kaum yang dijajah. Dari sinilah keterlibatan Douwes Dekker dimulai, hingga akhirnya ia sampai di India dan Hongkong, sedangkan di Hongkong Douwes Dekker tertangkap oleh pemerintah Inggris untuk selanjutnya dibawa ke Singapura dan dijatuhi hukuman mati. Untungnya, nasib baik masih memihak Douwes Dekker, setelah Inggris meminta izin kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mengembalikannya ke Tanah Air supaya tidak lagi membuat kekhawatiran sebagai kaum pemberontak (I.N., 1985:44-46).
Terkait pembebasan Tiga Serangkai, M. Balfas mencatat bahwa Suwardi dan Douwes Dekker dicabut hukuman pengasingannya pada bulan Agustus 1917, sementara Tjipto dibebaskan sebagai tahanan pada bulan Juli 1914 (Balfas, 1957:59). Tiga tokoh tersebut memang tidak beriringan untuk kembali terjun ke lapangan politik atau pendidikan.
Baca Juga: RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #10: Berada di Tanah Pengasingan
RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #9: Penangkapan Tiga Serangkai dan Pembubaran Indische Partij
RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #8: Pemerintah Kolonial Menolak Badan Hukum
RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #7: Pertemuan di Bandung (Bagian III)
Bergerak Bersama Insulinde
Sebelum Douwes Dekker dan Suwardi berada di Hindia Belanda, Tjipto telah lebih dulu bergerak dalam Insulinde. Organisasi ini merupakan wadah dalam menampung para anggota Indische Partij yang telah dibubarkan, karena, diakui atau tidak, Insulinde masih sebagai akar dari kemunculannya Indische Partij yang dibentuk oleh Douwes Dekker.
Sebagaimana keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 11 Maret 1913, Indische Partij (IP) dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Dengan kondisi seperti ini para anggota Indische Partij terpaksa harus bersembunyi ke dalam Insulinde, meskipun pada tanggal 21-23 Maret Indische Partij masih bisa menyelenggarakan kongres di Semarang. Kongres ini dipimpin langsung oleh ketua pusat Indische Partij, Douwes Dekker, bahkan dihadiri sekitar 1.000 orang yang terdiri dari berbagai perwakilan cabang. Akan tetapi tidak lama setelah itu, partai ini harus benar-benar lenyap dari tanah Hindia Belanda. Tepat pada tanggal 31 Maret 1913, Indische Partij resmi dibubarkan (Balfas, 1957:46-47).
Sementara itu, kehadiran Tjipto dalam tubuh Insulinde bukan saja dianggap sebagai batu loncatan, tetapi juga dapat membuat dirinya terus bergerak di ranah politik. Pada tahun 1914 Tjpto mulai menjadi pengurus pusat Insulinde dan menakhodai beberapa media milik Insulinde. Sebut saja seperti Goentoer, Goentoer Bergerak, Modjopahit, De Voorpost, dan De Indier. Ia juga menggabungkan diri ke dalam Indische Journalistenbond (Perhimpunan Jurnalis Hindia) yang baru didirikan oleh Marco (Scherer, 1985:159, Simbolon, 1995:260).
Selain itu Tjipto pun banyak bersinggungan dengan Sneevliet, orang yang membentuk Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) di Surabaya pada tahun yang sama. Lalu pada tahun 1916, Sneevliet berusaha untuk menjalin kerja sama dengan Insulinde di bawah pengawasan Tjipto. Tetapi upaya yang dilakukan Sneevliet tampaknya tidak terwujud. Pada akhirnya Sneevliet memutuskan untuk berhenti dalam rencana itu, karena menurutnya, Tjipto tidak mempunyai prinsip pengabdian yang militan terhadap kaum proletar. Tentu saja rencana Sneevliet itu gagal menjadikan Insulinde sebagai organisasi revolusioner di tangan Tjipto. Sebab, bagi Tjipto, tidak ada alasan untuk perjuangan kelas proletar melawan kapitalisme di dalam pergerakan nasional, saat penduduk Hindia sedang ditindas oleh penguasa asing (Scherer, 1985:158).
Jumlah anggota Insulinde dari tahun ke tahun memang mengalami perkembangan. Kendati anggotanya terdiri dari Indo-Eropa, organisasi ini diminati juga oleh kalangan Jawa terkemuka. Puncaknya pada tahun 1917, Insulinde mempunyai anggota sekitar 6.000 orang. Termasuk di dalamnya penduduk Bumiputera yang kebanyakan tinggal di kota lalu menjadi pengurus di Semarang sebagai markas pusatnya (Scherer, 1985:158).
Di Surakarta, pertumbuhan Insulinde mendapat perhatian dari kalangan agamawan seperti Haji Misbach. Haji Misbach yang waktu itu banyak menggerakkan kaum buruh dan Sarekat Islam Surakarta, pada masa selanjutnya akan bergabung dengan organisasi Insulinde. Di samping itu, Ny. Vogel juga memimpin Insulinde di Surakarta dan terpaksa membuat Tjipto berpindah ke daerah itu sampai akhirnya ia mendirikan klinik pengobatan di sana. Dengan demikian, pergerakan Insulinde di Surakarta akan tampak berpengaruh terhadap organisasi Bumiputera lainnya, sebelum nantinya Douwes Dekker menghadirkan Nationaal Indische Partij sebagai peralihan organisasi Insulinde di tengah-tengah kemundurannya pada tahun 1919.